Ilustrasi : Bos Animation
Iklan terakota

Terakota.id–Akhir-akhir ini isu agama muncul kembali sebagai bagian dari komoditas yang laris-manis dijual ke publik. Sentimen negatif dengan kedok agama mengalami pelonjakan seiring dengan menguatnya kelompok-kelompok intoleran yang mendapatkan tempat lebih luas karena difasilitasi oleh oknum-oknum yang ingin mengais keuntungan di balik kekacauan.

Persekusi terhadap minoritas sampai pada perebutan pengaruh politik kekuasaan dengan menunggang agama menjadi topik yang tak pernah kering dari perbincangan, baik di media masa, media sosial, bahkan di tongkrongan kedai-kedai kopi. Agama menjadi sebuah kendaraan dengan tempat duduk yang empuk dan memiliki laju yang sangat cepat.

Perkara yang semula barangkali tidak ada sangkut pautnya dengan agama, begitu diseret dan dipoles pada wilayah ini, maka dalam sekejap api menyala dengan cepatnya. Terjadilah polarisasi, antara kaum beriman dan kaum kafir, antara jalan lurus dan jalan sesat. Upaya mencari titik temu semakin buntu, karena masing-masing memandang dari sudut yang saling berlawanan.

Memoles agama di ranah publik demi keuntungan kekuasaan dan kekayaan material tampaknya bukan hanya topik menarik di abad 21. Topik ini ternyata telah muncul jauh sebelum negara yang bernama Republik Indonesia ini lahir. Kesalehan palsu selalu menjadi topik dari zaman ke zaman. Para nabi dan resi selalu mengangkat persoalan ini sebagai bagian dari upaya perlawanan terhadap kebobrokan masyarakat zamannya.

Tanah Nusantara adalah lahan subur bagi persemaian nilai-nilai luhur dari mana pun berasal, baik dari dunia timur, maupun dari dunia barat. Dulu bangsa kita dikenal sebagai bangsa yang sangat terbuka. Tidak hanya menerima realitas perbedaan semata, namun lebih jauh dari itu, dengan semangat gotong-royongnya telah terbukti menjadi identitas yang berhasil menjebol tembok ego kelompok.

Contoh-contoh kerakusan materi dengan mengatasnamakan agama ternyata tidak hanya ditampilkan dalam teks-teks suci agama-agama besar saja. Naskah-naskah kuno yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara turut mewarnai pembentukan kepribadian Nusantara yang dikenal halus, santun, dan toleran. Dengan dongeng-dongeng yang seringkali diwarnai dengan anekdot-anekdot yang segar, sang penulis menitipkan pesan moral agar senantiasa hidup selaras dengan alam dan seluruh makhluk ciptaan-Nya.

Salah satu dongeng binatang yang disajikan oleh Kidung Tantri Kediri, misalnya, adalah contoh kesalihan palsu yang ingin dikritik oleh penulisnya. Diceritakan bahwa seekor burung baka ingin menghabiskan ikan-ikan se-telaga. Dia menyusun akal licik dengan meniru penampilan seorang biksu yang sempurna dan sabar. Dengan penampilan burung baka yang seolah-olah selalu bermeditasi itu, semua ikan di telaga tidak merasa takut, dan bahkan menganggap burung baka tersebut sebagai sahabatnya.

Pada saat ikan-ikan itu tengah dan terlena dengan kesalehan palsu dari burung baka, maka burung baka segera melancarkan aksi jahatnya. Burung baka mengatakan kepada ikan-ikan bahwa ia mendengar kabar angin akan datangnya para nelayan yang ingin menangkap mereka. Ikan-ikan itu meminta pertolongan kepada burung baka. Dengan dalih akan dipindahkan ke tempat yang aman, ikan-ikan itu diterbangkannya ke puncak gunung Mahendra. Di atas batu datar ikan-ikan itu dikerat habis oleh burung baka.

Seekor kepiting memohon kepada burung baka untuk ikut diterbangkan ke gunung Mahendra. Semula burung baka menolaknya, karena melihat supitnya yang tajam dan bergerigi, ia sudah sangat ketakutan. Atas desakan kepiting, akhirnya burung baka menerbangkannya menuju gunung Mahendra.

Kepiting menaruh rasa curiga terhadap burung baka yang tubuhnya semakin gemuk dan kuat, padahal jika ia benar-benar melakukan laku sebagai resi mestinya makin langsing. Ketika sampai di puncak gunung, kepiting melihat batu datar yang dipenuhi dengan tulang-belulang ikan, si kepiting langsung menyupit leher burung baka, seketika itu putus dan mati.

Penulis kidung ini menarik hikmat dari cerita itu sebagai nahan lingning titinggi makata ring sang tuma tumuli mangga teki wekasan sang tuma parasraya tan dwa kahadang malih sang nata aguling rahina mahw amrem sira katon pweki pupu sang nrepati paripurna denikang titinggi sanyasambeknyeng dalem twas. Artinya, barangsiapa yang berbuat egois, mengakibatkan kengerian sesama yang hidup maka akan segera menjumpai kesialan dan akan berakhir dengan kematian.

Kisah burung baka dan ikan-ikan adalah satu dari sekian banyak sindiran halus dalam Kidung Tantri Kediri. Jika burung baka itu hidup di abad ke-21, maka mungkin ia adalah politisi dari partai yang bernafaskan agama, namun justru sebagai pelopor dalam tindak kejahatan korupsi. Atau bahkan ia adalah seorang politisi yang rajin menjual jabatan di lingkungan institusi yang berbasis agama. Fakta membuktikan bahwa justru tindak pencurian uang rakyat ini malah marak dilakukan di institusi tersebut.

Kidung Tantri Kediri, kisahnya diawali dari Sri Baginda Eswaryapala, seorang raja dari negeri Pataliputra yang melihat perkawinan antar sudra. Dalam benak sang raja, tidak ada kebahagiaan melebihi sebuah perkawinan. Terobsesi akan kebahagiaan yang mutlak, sang raja menginginkan menikah tiap hari. Para mantri melaksanakan segala perintah raja. Tiap hari mereka mencari gadis untuk dikawinkan dengan sang raja, sampai-sampai suatu ketika habislah gadis-gadis cantik di negeri itu.

Dalam kondisi terdesak, Patih Niti Bandeswara menikahkan putrinya yang bernama Ni Dyah Tantri dengan sang raja. Ia dikenal sangat cantik dan pandai dalam ilmu sastra, serta sebagai seorang anak yang berbudi luhur. Anak yang berbakti menjadi dambaan orangtuanya.

Keluruhan budi pekerti seorang anak dilukiskan penulisnya dalam amsal yang sangat indah: Iwa lwir alas ageng kinalagyan wreksa sawit yan suganda sekarnyanedeng mrik sahananing alas pada kinahananing suganda mangkaneng suputra lamun susila beda lawan kuputra lwir wana ageng kinalagyan ing wreksaking atawi sawit juga ya. Begitulah seperti hutan besar yang ditumbuhi pohon sawit yang wangi bunganya. Apabila sedang berbunga, maka menyebarlah harumnya ke seluruh hutan. Sama dengan keadaan bau harum itulah seorang anak baik, apalagi jika bersusila sifatnya. Berbeda dengan anak jahat bagaikan hutan besar yang dihuni pohon kering, meski pohon sawit juga.

Kehidupan pasangan Sri Baginda Eswaryapala dan Ni Dyah Tantri selalu diliputi dengan kebahagiaan. Tiap hari mereka saling memuji. Mempelai laki-laki memuji mempelai perempuan. Mempelai perempuan memuji mempelai laki-laki. Sebagai perempuan yang kaya akan pengetahuan, mahir dalam bersajak, dan sempurna dalam kebajikan, Ni Dyah Tantri dipuja laksana Dewi Saraswati.

Bagai Raja Salomo memuji-muji Gadis Sulam dalam Kidung Agung, Sri Baginda Eswaryapala selalu mengungkapkan kekagumannya kepada Ni Dyah Tantri: Maskw ibu sang dewaning Arnawasuda nirmala tan pahinganing sarwa guna putusning sudewi saksat paramartaning sabumi ideping kami lumiyat tumon ing warnanira prajna wicaksanulus. Kekasihku yang tersayang, Dewi Laut yang bersih dan murni, kau tidak ada tandingannya, memiliki sifat baik. Kau sempurna seperti permasuri seakan-akan yang paling unggul sedunia. Begitulah pikirku melihat penampilanmu: pandai, bijaksana, dan sempurna.

Saat malam pertama, di sela-sela mereka bercumbu-rayu, dan menumpahkan rasa saling menyayangi, saling memuja dengan kata-kata pujian yang indah, Ni Dyah Tantri menuturkan pelbagai cerita binatang dan dongeng-dongeng yang mengandung kebijaksanaan. Terpesona dengan cerita istrinya, sang raja menghentikan kebiasaannya untuk menikah tiap hari. Begitulah, dari malam ke malam Ni Dyah Tantri mendongeng untuk sang raja, suaminya.

Kidung Tantri Kediri adalah gubahan dari teks Tantri Kamandaka. Tantri Kamandaka, kata Romo Zoetmulder dalam Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, adalah kumpulan dongeng dan fabel yang bersumber pada Pancatantra, sebuah karya India. Dari bahasa yang dipakai, Tantri Kamandaka diperkirakan ditulis pada zaman akhir Hindu-Jawa.

Dalam disertasinya di Universitas Leiden, Kidung Tantri Kediri, Kajian Filosofis Sebuah Teks dalam Bahasa Jawa, Revo Arka Giri Soekatno (2013) menyatakan bahwa Pancatantra awalnya diperkirakan digubah di Kashmir, India utara pada abad pertama Masehi oleh seorang brahmana Wisnusarman (Visnusarman) yang mengajari pangeran dungu, putra Prabu Amarasakti mengenai kebijaksanaan duniawi dan kehidupan.

Pancatantra menyebar luas ke seluruh dunia. Tidak hanya ke dunia timur saja, namun juga ke dunia barat. Salah satu naskah karya sastra kuno ini, kata Soekatno, diperkirakan sebagai karya yang paling banyak diterjemahkan selain Alkitab. Dalam bahasa Parsi disebut dengan Karataka wa Damanaka, sementara gubahan dalam bahasa Arab disebut dengan Kalilaq wa Damanaq (Hikayat Kalilah dan Daminah).

Sebagian besar naskah Kidung Tantri Kediri diperkirakan digubah di Karangasem atau di Klungkung antara tahun 1551 dan 1699. Saat itu adalah masa keemasan sastra Jawa-Bali di keraton Gelgel dan Klungkung, Bali.

Jauh sebelum era demokrasi dengan gembar-gembor penegakan hukum untuk semua rakyat, kidung ini telah mengingatkan tentang sulitnya mencari keadilan lantaran kelaliman penegak hukum: Tinon de bagawan Basubagan gumawe sangsipteki ika sang pragiwaka paksa pati papa pinanggih. Ini disaksikan oleh bagawan Basubagan yang membuat seloka: “Seorang hakim yang berpihak akan menjumpai musibah.”

Nyanyian-nyanyian Mazmur tidak hanya terdengar syahdu di sinagog-sinagog Yahudi, namun juga menggema di seluruh pelosok dunia, dalam anega-ragam budaya, menyuarakan kemurnian hati nurani. Di mana pun tempatnya Sang Maha Bijak selalu berkarya dengan menurunkan orang-orang yang memiliki totalitas mendarmabaktikan seluruh hidupnya untuk turut mempercantik dunia.

Karya Sang Maha Indah di Nusantara diwujudkan dalam rangkaian kata-kata yang penuh hikmat yang dipatrikan dalam hati para resi dan para empu, yang juga abadi hingga kini. Terbukti bahwa Hikmat-Nya tidak menjadi monopoli sebuah bangsa saja, bukan hanya untuk Arab, bukan hanya untuk Cina, bukan hanya untuk India. Dia hadir di semua tempat, termasuk di Nusantara kita.

Hikmat berseru nyaring di jalan-jalan, di lapangan-lapangan ia memperdengarkan suaranya, di atas tembok-tembok ia berseru-seru, di depan pintu-pintu gerbang kota ia mengucapkan kata-katanya (Amsal 1:20-21).