
Oleh : Luthfi J. Kurniawan*
Terakota.id–Tradisi lebaran setelah Ramadan usai dan memasuki 1 Syawal dalam penanggalan Hijriah, merupakan budaya Jawa yang kemudian menyebar menjadi semacam ritual kebudayaan bangsa secara bersama. Dalam tradisi Jawa ada yang disebut dengan laku papat, yaitu mengerjakan dan memaknai empat hal kehidupan yang diinternalisasikan dalam diri perilaku manusia dalam menyambut berakhirnya ramadan yang dijadikan momentum untuk saling meminta maaf dan saling memaafkan. Yang dimaksud laku papat yaitu lebaran, luberan, leburan, dan laburan.
Lebaran yaitu mempunyai makna telah usainya berpuasa selama satu bulan di bulan Ramadan. Lebaran sebagai penanda telah berakhirnya waktu puasa. Kedua, luberan, yaitu mempunyai makna meluber atau melimpah. Dalam pemahaman semiotik maka luberan diartikan sebagai bagian dari keinginan atau tindakan seseorang untuk dapat berbagi atau bersedekah bagi sesama, tentunya diberikan kepada yang berhak. Dalam hal ini telah diatur sedemikian rupa dalam perspektif agama Islam.
Penandakan dalam hal ini yaitu dilakukannya dengan pemberian atau pendistribusian zakat fitrah. Selanjutnya yaitu leburan. Pemaknaan dari leburan ini yaitu lebur, habis. Maksudnya adalah sikap seseorang yang siap meluruhkan segala hal dengan orang lain. Siap memaafkan dan sanggup meminta maaf dengan lapang dada tak sekedar basa basi sebagai bagian dari ritus silaturahmi lebaran semata.
Dan yang terahir yaitu laburan. Laburan berasal kata dari labur. Dalam tradisi Jawa untuk menjernihkan air di masa lampau yaitu menggunakan kapur. Ini adalah proses pengendapan air dengan media kapur. Maksud dari tindakan ini adalah dimaksudkan untuk kembali jernih, menjaga kesucian manusia lahir dan batin.
Kini, tak sedikit orang dengan beragam fasilitas untuk memahami tradisi dalam lebaran ini telah bergeser menjadi semacam penanda eksistensi semata antara seseorang terhadap eksistensi orang lain. Bahkan tak jarang orang yang telah ditasbihkan menjadi tokoh publikpun juga tak luput meminggirkan kedalaman tradisi lebaran menjadi serangkaian tindakan yang betul-betul menjadi sandaran moralitas publik.
Ragam sampah visual dipinggir jalan yang berwujud baliho dan sejenisnya serta beragam iklan dilayar televisi. Dengan menampilkan permohonan maaf dan sejenisnya kepada publik, telah menunjukkan adanya kedangkalan memaknai ritus kebudayaan berlebaran yang disimbolisasikan dengan ramah tamah, silaturahmi bertatap muka, dan bersalaman.
Pada masa lalu ritual ini telah menjadi “ugeman” atau peodman bagi masyarakat (khususnya) Jawa untuk berperilaku dalam bersilaturahmi. Kemudian perilaku ini telah menjadi batu sandaran dalam membangun dan mengokohkan keadaban publik. Baliho yang dijajakan dipinggir jalan oleh para pemburu jabatan-jabatan publik dan sejenisnya telah berubah menjadi teror bagi publik.
Dikatakan pemburu, karena tidak sedikit para tokoh yang fotonya berderet dipinggir jalan pada waktu sebelumnya tidak atau belum pernah memiliki investasi sosial, namun tahu-tahu foto dirinya telah bertengger dalam ukuran besar di seantero pinggir jalan untuk menyampaikan ucapan mohon maaf sembari meminta dukungan untuk memenangkan kontestasi politik dalam perebutan jabatan publik.
Tradisi lebaran

Sebagai perwujudan maaf dalam suasana berlebaran kini wujud dan bentuknya telah mengalami beragam perubahan. Ada yang diwujudkan dalam bentuk pertemuan keluarga, ada yang dikemas pengajian dan halal bilhalal keluarga ataupun komunitas-komunitas warga serta dalam kelompok-kelompok yang lebih kecilpun juga melakukan kegiatan silaturahmi seperti di perkantoran, rukun tetangga atau rukun warga.
Bahkan tak jarang setiap anggota keluarga bisa mengikuti kegiatan silaturahmi dua, tiga atau empat kali silaturahmi dan halal bi halal. Diselenggarakan oleh komunitas, keluarga, maupun di kantor tempatnya bekerja.
Dalam beberapa penelusuran tentang tradisi lebaran kupat, adalah Sunan Kalijaga yang memulai pertama kali memperkenalkan adanya lebaran. Bahkan ia mengajarkan ada dua kali lebaran yaitu lebaran disaat idul fitri dan lebaran kupat atau sering disebut ketupat adalah seminggu setelah selesainya salat idul fitri.
Lebaran idul fitri adalah momentum silaturahmi dan permohonan saling bermaaf-maafan. Sedangkan lebaran kupat adalah keberlanjutan dalam silaturahmi dengan memaknai bahwa dalam sepekan setelah idul fitri adalah waktu yang baik untuk melakukan silaturahmi kepada semua handai taulan, keluarga dekat maupun yang jauh.
Dalam filosofi Jawa, kupat, kupatan atau ketupat memiliki makna tersendiri yaitu adalah tindakan yang secara terhormat untuk mengakui kesalahan yang telah terjadi. Sedangkan kupat merupakan kependekan dari Ngaku Lepat dan Laku Papat. Ngaku lepat artinya mengakui kesalahan, sedangkan laku papat artinya empat tindakan yaitu lebaran, luberan, leburan, dan laburan.
Tradisi lebaran kupat ini hanya ada di Indonesia yang telah mengalami proses penyesuaian dengan ragam budaya yang ada di Indonesia (pada awalnya–khususnya) di Jawa. Lebaran kupat ini penuh dengan makna dan perumpamaan tentang filosofi Jawan yang diwujudkan dalam bentuk ketupat. Bentuk ketupat yang segi empat dan dibungkus menggunakan janur mempunyai makna bahwa persegiempat adalah diibaratkan seperti hati manusia yang bungkus dengan cahaya.
Saat manusia telah mengakui kesalahannya maka diharapkan telah “putih kembali atau suci kembali”, bahwa relasi antara manusia atau muamalah di antara manusia yang dulunya dianggap mempunyai salah dan dengan bertemu. Kemudian bersalaman meminta maaf maka telah dianggap pengakuan kesalahan dan ketika dimaafkan maka hubungan tersebut menjadi “hubungan baru” yang tanpa kesalahan, karena telah dilebur pada saat permintaan maaf.
Relasi inilah yang diperumpamakan pada bentuk ketupat dan ketika ketupatnya dibelah terlihat putih isinya. Demikian pula dengan ketupat yag dibungkus janur. Kata janur berasal dari bahasa arab yaitu “jaa a al-nur” yang bermakna “telah datang cahaya”. Sedangkan orang Jawa mengartikan janur dengan sebutan “sejatine nur” (cahaya). Oleh karena itu, dalam arti lebih luas yaitu manusia telah dalam keadaan suci setelah mendapatkan pencerahan atau penggemblengan mental-spiritual selama bulan Ramadan.
Realitas yang ada tentang makna lebaran ini merupakan sebuh proses kebudayaan yang panjang untuk menjadi penuntun bagi masyarakat. Agar dalam setiap tindakannya selalu bermuara pada kebaikan antar sesama sebagai bagian dari kewarasan publik yang tentu bersandar pada dimensi kebenaran dan moralitas publik.
Dalam metode semiotika yang diungkapkan oleh Charles Sanders Peirce, bahwa proses pemaknaan “ketupat” dapat dicerna sebagai simbol atau lambang, atau hal yang dapat dinilai sebagai ikon. Ikon merupakan penunjukan langsung atas sesuatu hal. Sedangkan lambang adalah menjadi bagian dari media atau proses pengangkatan ikon kedalam norma-norma keseharian.
Sedangkan simbol merupakan pemaknaan (subyektif) yang reflektif atas lambang yang telah terikat dengan struktur-struktur kebudayaan. Oleh karena itu, tatkala terjadi proses Ikonografis ketupat lalu dimunculkan sebagai romantisme untuk menyambut lebaran. Lebaran tanpa ketupat seolah bukan hari lebaran, karena dianggap sama dengan hari-hari biasa.
Dalam pandangan lain ketupat merupakan simbolisasi dari pergulatan kebudayaan pesisiran yang ditengarai mulai muncul pada awal abad ke 15 dijaman Raden Patah, sebagaimana disampaikan oleh H.J. de Graaf dalam Malay Annal of Semarang and Chrebon (1912) yang dikutip oleh Listya Ayu Saraswati dan P. Ayu Indah Wardhani (2012) yaitu, ketupat merupakan simbol perayaan Hari Raya Islam pada masa pemerintahan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah awal abad ke-15.
Dalam penjelasannya De Graaf menduga kulit ketupat yang terbuat dari janur berfungsi untuk menunjukkan identitas budaya pesisiran yang ditumbuhi banyak pohon kelapa. Bahkan de Graff juga menilai bahwa warna kuning pada janur dimaknai sebagai upaya pembedaan masyarakat pesisir Jawa dengan masyarakat Timur Tengah, yaitu, warna hijau dari Timur Tengah dan warna kuning dari Asia Timur. untuk membedakan warna hijau dari Timur Tengah dan merah dari Asia Timur.
Ketupat yang kemudian menjadi menu khas yang tak terlepas dari perayaan idul fitri dan “bakda kupat”, telah memberikan penilaian tersendiri terkait hubungan antara makanan dan kebudayaan. Claude levi Strauss, menjelaskan hubungan makanan dengan kebudayaan (Mith and meaning; 1978), dapat dijelaskan bahwa tentang kode-kode kebudayaan melalui makanan tertentu yang dipilih oleh sebuah suku atau kelompok masyarakat.
Oleh karena itu, terlepas dari beberapa pendapat tentang asal muasal ketupat, namun demikian makna terdalam dari du bakda yang telah terjadi secara turun temurun semenjak awal abad 15 hingga sekarang telah masuk pada abad ke 21, makna terpenting dari simbolisasi ketupat ini adalah pesan moral yang mengajarkan perilaku manusia untuk selalu menularkan kebajikan dalam seluruh dimensi kehidupannya.
Tidak hanya dalam dimensi kehidupan keagamaan semata namun di luar itu seperti dalam muamalah, siyasah (politik), dan sebagainya musti mengedepankan rasionalitas yang berbasis pada moralitas. Sehingga jika demikian maka makna agama tidak semata menjadi lalu-lintas dogma yang hiruk pikuk dijejalkan dalam setiap perayaan-perayaan agama, namun betul-betul menjadi sandaran berperilaku bagi setiap insan manusia yang tak perlu alergi dengan pola kehidupan yang mengedepanan religiusitasnya.
*Direktur Intrans Publishing, Pegiat Sosial, dan Dosen di Fisip UMM
Pembaca Terakota.id bisa mengirim tulisan reportase, artikel, foto atau video tentang seni, budaya, sejarah dan perjalanan ke email : redaksi@terakota.id. Tulisan yang menarik akan diterbitkan di kanal terasiana.

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi