
Oleh: Talbyahya Herdy Putra, Atha Nursasi & Wahyu Eka Styawan (Aliansi Malang Raya)
Terakota.ID–Seperti yang ditulis sebelumnya, wujud ruang di Kota Malang kini semakin memperlihatkan kontradiksi yang semakin mengerucut. Kaum miskin dan kondisi ekologi menjadi korban dari keberpihakan Pemerintah Kota Malang kepada kepentingan ekonomi dari swasta. Tidak saja dari kebijakannya, bahkan pernyataan-pernyataan pejabat pemerintahan sudah sangat jelas menggambarkannya.
“Tidak ada evaluasi [terkait izin pembangunan oleh pengembang], saya kira sudah tertib. Perumahan yang didirikan di tanah kavling oleh individu itu yang harus diawasi.” Pernyataan Walikota kepada jurnalis liputan6.com terkait alih fungsi sempadan sungai sebagai penyebab banjir.
Pernyataan Walikota Malang itu terkesan begitu tergesa-gesa. Secara sepihak ia mengatakan bahwa tidak ada pengembang yang tidak tertib. Pada pernyataan itu pula Walikota cenderung menyalahkan individu yang mendirikan perumahan di sekitar sempadan sungai. Sepertinya, individu yang mendirikan perumahan yang dimaksud oleh Walikota adalah rumah-rumah kampung warga biasa yang berdiri di sekitar sungai. Jika ia merujuk pada pola permukiman seperti perumahan yang dibangun oleh individu, maka rasanya tidak mungkin. Dalam soal ini, pernyataan Walikota benar. Banyak permukiman warga yang berdiri di sekitaran sungai, dan hal ini sebenarnya dilarang.
Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007, sempadan sungai termasuk dalam bagian kawasan perlindungan setempat. Pemerintah Kota Malang pun juga memasukkan sempadan sungai menjadi bagian dari Kawasan Lindung Setempat melalui Perda No. 4 Tahun 2011 Pasal 42. Sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan, kanal, saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai.
Selain sebagai kawasan lindung, berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Kota, sempadan sungai juga termasuk kedalam RTH Fungsi Tertentu. Hal ini semakin memperkuat posisinya sebagai elemen ekologis yang menjaga ruang dari bencana-bencana seperti banjir.
Ayat (4) Pasal 42 Perda No. 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah di Kota Malang berbunyi, “Mencegah dan menangkal pembangunan di sepanjang sempadan sungai untuk kebutuhan sosial, ekonomi dan pembangunan fisik lainnya, kecuali pembangunan yang digunakan untuk maksud dan tujuan perlindungan dan pengelolaan sungai”. Berdasarkan aturan ini, jelas memang pembangunan permukiman oleh warga di sekitar sempadan sungai adalah pelanggaran. Tetapi, melihat menyalahkan warga secara sepihak tanpa memandang latar sosio-ekonomi mereka akan menjatuhkan kita ke dalam jurang positivisme hukum.
Ruang Kota Malang untuk Siapa?
Seringkali yang disorot oleh pemerintah Kota Malang dan juga mungkin sebagian khalayak, salah satu penyebab kacaunya tata ruang adalah permukiman “kumuh” yang berada di sekitar sempadan sungai. Perlu diketahui, banyak di antara pemukim tersebut orang-orang dengan kondisi ekonomi ke bawah. Mereka tidak mampu membeli tanah atau menyewa rumah di kawasan kota. Kata “kumuh” sendiri adalah konstruksi pemerintah untuk melabeli warga perkampungan yang dari latar belakang ekonomi lemah sebagai subjek untuk ditata dan ditertibkan. Penggunaan kata “kumuh” tidak lepas dari sejarah perampasan ruang, terutama untuk melekatkan problem perkotaan semuanya ditimpalkan ke orang-orang miskin, sebuah generalisasi yang tidak adil.[1]
Penggunaan kata kumuh juga menjadi sorotan, seketika dalam praktik dalam penggusuran dan perampasan yang menjadi subjek adalah orang yang tinggal di sekitar area tersebut. Sebagaimana kritik Gilbert (2007) pada penggunaan kata “slum/kumuh” di Millenium Development Goals (MDGs) yang mendorong munculnya stereotip bahwa “kumuh” akan mendorong peminggiran orang-orang miskin dan menganggap mereka sebagai biang dari bencana.[2] Hal ini dapat dilihat bahwa program-program penataan selalu menyasar untuk kawasan yang dianggap “kumuh” tak terkecuali Kota Malang. Kawasan Kayutangan, Muharto dan kawasan pinggir lainnya adalah subjek “penataan.”

Tetapi tidak pernah berpikir bahwa, apakah keberadaan mereka di wilayah pinggiran dan pada akhirnya memenuhi ruang-ruang tersebut benar-benar keinginan mereka? Faktor ketimpangan menjadi dasar utama untuk melihat bagaimana ruang tersebut dipenuhi oleh kelompok menengah ke bawah. Berdasarkan pengamatan dan wawancara dengan warga di kawasan pinggiran sepanjang Muharto misalnya, ada dua penyebab mereka menempati wilayah tersebut. Pertama, karena akses ke tempat kerja lebih dekat dan masih murah, sementara mereka berpindah ke Kota Malang disebabkan oleh faktor ekonomi, terutama di desa sudah tidak ada lagi ruang tersisa. Kedua, mereka yang tersisih dari pusat Kota Malang, sehingga mau tidak mau menempati ruang pinggiran, karena yang tersisa dan masih terjangkau adalah kawasan tersebut.
Maka melihat problem perkotaan terutama persoalan tata ruang tidak boleh sembarangan, harus berhati-hati dan tentu wajib membacanya dalam kerangka sosio-ekonomi. Sejak awal mereka menempati ruang tersebut bukan karena kemauannya, tapi sebuah keterpaksaan. Tetapi coba bandingkan perlakuan pemerintah Kota Malang dengan sektor-sektor elit dan usaha besar. Tentu tidak pernah dilihat sebagai kesalahan, bahkan dibenarkan. Hal ini beranjak dari fakta lapangan, ketika apartement dan perumahan elit menempati ruang terbuka hijau serta tempat resapan dan tangkapan air, apakah pernah ditindak? Atau disalahkan keberadaanya? Tentu tidak akan pernah. Maka yang jadi pertanyaan besar kami adalah ruang Kota Malang untuk siapa?
Aturan Tidak Jelas dan Penuh Kepentingan
Pembangunan kawasan di ruang terbuka hijau dan wilayah sempadan sungai sejak awal tidak ada aturan teknis. Merujuk pada Perda No. 4 Tahun 2011 Kota Malang tidak mengatur secara terperinci terkait berapa besaran jarak minimum bangunan yang berdiri di sekitar sempadan sungai. Pada Pasal 42 ayat 8 mengatakan bahwa ketentuan garis sempadan sungai akan diatur lebih lanjut oleh aturan lain. Aturan khusus tentang ini dimasukkan kedalam Perda No. 1 Tahun 2012 tentang Bangunan Gedung Pasal 26 sampai Pasal 28. Dalam Perda tersebut, garis sempadan sungai dibagi menjadi dua, yaitu sempadan sungai besar dan sempadan sungai kecil. Pembagian ini guna mengatur secara spesifik batasan-batasannya. Untuk garis sempadan sungai besar, batasan kembali dibagi menjadi tiga:
- Bagian yang tidak bertanggul 50 (lima puluh) meter diukur dari tepi sungai pada saat pasang naik (untuk sungai yang tidak melewati permukiman);
- Bagian yang bertanggul dan melewati permukiman, 25 (dua puluh lima) meter diukur dari sebelah luar sepanjang kaki tanggul; dan
- Bagian yang tidak bertanggul yang berbatasan dengan jalan 5 (lima) meter.
Sedangkan, untuk garis sempadan sungai kecil, batasannya meliputi:
- Bagian yang tidak bertanggul 15 (lima belas) meter diukur dari tepi sungai pada saat pasang naik (untuk sungai yang tidak melewati permukiman);
- Bagian yang bertanggul dan melewati permukiman, 7,5 (tujuh setengah) meter diukur dari sebelah luar sepanjang kaki tanggul; dan
- Bagian yang tidak bertanggul yang berbatasan dengan jalan 5 (lima) meter.
Berdasarkan aturan ini, tidak tepat jika pemerintah Kota Malang mengatakan bahwa tidak ada pengembang yang melanggar, justru yang menyebabkan bencana adalah masyarakat. Memang, jika dilihat perizinannya, tidak ada yang tidak berizin. Berdasarkan aturan tata ruang pun, semua pengembang berdiri sesuai dengan kawasan peruntukannya. Tetapi, jika diukur secara langsung, masih banyak yang tidak sesuai dengan aturannya. Lantas penyataan yang menyudutkan masyarakat dan secara konotatif merujuk pada warga kota menegah ke bawah, merupakan bentuk keberpihakan pemerintah pada kelas sosial atas atau bahasa mereka adalah “penyumbang ekonomi.”
Kami perlu menunjukkan bahwa siapa sebenarnya yang memakan ruang terbuka dan menyebabkan meningkatnya resiko bencana. Sebagai contoh pelanggaran, terdapat salah satu apartemen baru di sekitaran Tlogomas yang juga berdempetan dengan jembatan Tunggulmas. Berdasarkan Perda No. 5 Tahun 2015 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Bagian Wilayah Perkotaan Malang Utara (RDTRK Malang Utara), apartemen tersebut termasuk ke dalam Zona Perumahan. Zona Perumahan adalah bagian dari kawasan budidaya yang difungsikan untuk pengembangan hunian berupa kelompok rumah tinggal yang mewadahi kehidupan dan penghidupan masyarakat, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum.
Gambar 1 Zona bangunan dalam RDTRK Malang Utara. Diambil dari https://si-petarungv2.malangkota.go.id/peta-zonasi
Untuk izin atas tanahnya, apartemen tersebut memiliki izin Hak Guna Bangunan (HGB). Pasal 35 UUPA menyatakan bahwa, “Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun”. Artinya, apartemen ini berdiri diatas tanah milik negara.
Gambar 2 Jenis izin yang dimiliki oleh apartemen. diambil dari https://bhumi.atrbpn.go.id/
Di kasus apartemen ini, jarak antara sempadan gedung dengan sempadan sungai tidak lebih dari 5 m. Hal ini tentu saja termasuk pelanggaran. Padahal, melalui aturan yang sama (Perda No. 5 Tahun 2015 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Bagian Wilayah Perkotaan Malang Utara) Pasal 17 ayat (2), Pemerintah Kota Malang telah mengatur lebar sempadan sungai yaitu sebesar 15 m. Dalam hal ini, terkesan bahwa Pemerintah Kota Malang dengan sedar melanggar aturan yang dibuat sendiri. Padahal sebelumnya Komisi C DPRD Kota Malang telah menyidak apartemen tersebut dan dengan jelas menemukan pelanggaran tersebut. Dengan memberikan izin HGU, serta mengatur peruntukan kawasannya sebagai Zona Perumahan, terlihat jelas di mana posisi keberpihakan Pemerintah Kota Malang.
Selain apartemen itu, masih banyak pelanggaran yang dilakukan oleh pengembang perumahan. Hanya saja, pelanggaran ini justru dilegitimasi oleh kebijakan pemerintah sendiri. Patut dipertanyakan bagaimana proses pembentukan kebijakannya. Dari banyak sekali kasus yang pernah terjadi, pembentukan kebijakan tidak pernah lepas dari pertarungan kepentingan yang meliputi politik transaksional. Penyalahgunaan wewenang pun sangat mungkin terjadi. Tetapi yang disalahkan adalah warga Kota Malang, khususnya mereka golongan menengah ke bawah secara ekonomi.
Melihat problem tata ruang dan secara keseluruhan rekam kejadian bencana yang terjadi, tidak dapat dilepaskan dari persoalan penataan ruang yang hanya memfasilitasi kepentingan kelompok elit. Seringkali bencana adalah akibat dari pembangunan yang maladaptif atau tidak sesuai dengan kondisi ruang tetapi dipaksakan. Hal tersebut sering menambah beban ruang dan menyebabkan yang namanya peningkatan resiko bencana. Tidak hanya di situ persoalan problem ruang juga diakibatkan oleh ketimpangan ekonomi dan marjinalisasi.
Seringkali terlihat permainan bahasa semisal penataan ruang, perbaikan ruang, sebagai mitigasi bencana, selalu menyasar pada perampasan ruang dari mereka yang berpenghasilan rendah ke mereka ke yang berpenghasilan tinggi, alih-alih menata tetapi sebenarnya hal tersebut adalah praktik perampasan ruang dengan dalih menghindari bencana dengan penataan. Tidak ada yang diselesaikan, justru menambah masalah yakni semakin memarjinalkan mereka yang sudah marjinal, atau bahasa mudahnya memiskinkan mereka yang sudah miskin.[3]
Maka membuat kebijakan dan regulasi kota harus benar-benar melihat irisan antar faktor, seperti irisan faktor sosial, ekonomi, budaya dan politik. Karena seharusnya pembuatan kebijakan dan regulasi harus bertumpu pada proses demokratisasi, seperti pelibatan kelompok-kelompok marjinal. Selain mendorong kebijakan yang bertumpu pada proses rekognisi warga kota yang termajinalkan dan mendorong demokrasi ekonomi.[4]
Kesimpulan dan Rekomendasi
Dalam melihat permasalahan banjir yang terjadi secara simultan di Kota Malang, banyak sekali faktor yang menunjukkan keterlibatan peran pemerintah sebagai penyebabnya. Mulai dari perspektif keberlanjutan ekologis yang tidak terlihat, hingga indikasi-indikasi kecurangan berupa korupsi yang masih sangat mungkin terjadi. Yang jelas, akibatnya adalah semakin banyaknya masyarakat dan lingkungan yang menjadi korban. Pemerintah Kota Malang minimal harus mengingat visi pembangunan yang tercantum dalam Rencana Jangka Panjang Daerah (RPJPD), yaitu “Terwujudnya Kota Malang sebagai Kota Pendidikan yang Berkualitas, Berbudaya, Berwawasan Lingkungan Menuju Masyarakat Sejahtera”. Dengan mengambil kebijakan yang tidak tepat guna dan asal-asalan, akan mengantarkan masyarakat dan lingkungan di Kota Malang menuju jurang kehancurannya.
Berdasarkan seluruh muatan catatan, mulai dari Catatan Kritis Bagian I, II, III dan kini yang terakhir, kami memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Kota Malang sebagai berikut:
- Pemerintah Kota Malang harus dan wajib hukumnya mengevaluasi implementasi kebijakan tata ruang secara komprehensif melalui pemetaan tata ruang terhadap sejumlah proyek yang dibangun secara tak beraturan. Selain itu, Pemerintah Kota Malang secara mendesak harus segera menertibkan proyek-proyek tersebut guna mencegah ekspansi proyek infrastruktur yang semakin mempersempit ruang terbuka hijau, daerah resapan dan wilayah sempadan sungai sebagaimana yang marak terjadi. Hal ini penting untuk meminimalisir problem banjir yang akhir-akhir ini semakin mengancam kehidupan masyarakat Kota Malang.
- Pemerintah dan DPRD Kota Malang segera melakukan perlindungan ruang yang belum dialihfungsikan, seperti kawasan sempadan dan ruang hijau seperti kawasan persawahan atau ruang terbuka lainnya dalam sebuah regulasi. Penting juga pemerintah Kota Malang untuk melakukan rehabilitasi Ruang Terbuka Hijau yang telah dialihfungsikan dengan merencanakan penataan ruang jangka panjang, seperti tidak memperpanjang izin unit usaha yang berada di Ruang Terbuka Hijau. Pemerintah Kota Malang harus menghentikan ekspansi ruang melalui moratorium izin pada unit-unit usaha yang akan membangun di kawasan Ruang Terbuka Hijau atau ruang-ruang tersisa.
- Selain itu dalam setiap pembuatan kebijakan dan regulasi terkait tata ruang di Kota Malang, wajib hukumnya pemerintah Kota Malang melibatkan seluruh warga kotanya dan elemen-elemen masyarakat sipil, agar ke depan kebijakan dan regulasi lebih inklusif atau sesuai dengan realitas kehidupan sehari-hari warga kota.
- Bahwa salah satu faktor penyebab yang turut menyokong intensitas serta perluasan daerah banjir Kota Malang adalah proyek drainase yang tidak maksimal, atau sering bermasalah dan berpotensi koruptif. Di mana, proyek drainase yang setiap tahun dianggarkan dan dilaksanakan sama sekali tidak menjawab problem banjir. Bahkan, genangan air dimana-mana setiap kali hujan mengguyur. Padahal, anggaran proyek drainase tidak sedikit. Bahkan cenderung meningkat setiap tahunnya. Oleh karena itu, kami mendesak kepada Walikota dan DPRD untuk segera mengevaluasi seluruh pekerjaan proyek drainase yang ada.
- Mendorong kepada DPRD Kota Malang untuk melaksanakan fungsinya secara maksimal untuk mengevaluasi implementasi kebijakan tata ruang, pembangunan infrastruktur tidak berdasarkan fungsi dan peruntukan ruang, pelaksanaan anggaran proyek drainase yang belum sama sekali mencegah persoalan banjir, serta melakukan penyidakan dan memberikan sanksi terhadap para pihak yang diduga membangkang terhadap aturan tata ruang.
- Menyarankan kepada Pemerintah dan DPRD segera membuka seluruh informasi terkait proses perubahan perda tata ruang dan wilayah yang sedang berlangsung. Selain itu, pemerintah dan DPRD juga harus segera melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses revisi sebagai prasyarat demokrasi yang tidak bisa disepelekan. Sebaliknya jika tidak, patut dicurigai bahwa pemerintah dan DPRD bersepakat untuk mengkhianati masyarakat, serta revisi tersebut semata-mata untuk mengakomodir kepentingan politik-bisnis segelintir penguasa, baik pusat maupun daerah Kota Malang itu sendiri.
Referensi
Gilbert, A. (2007), ‘The return of the slum: Does language matter?’, International Journal of Urban and Regional Research31: 4: pg 697-713
Mayne, A. (2017) Slums: The history of a global injustice London: Reaktion Books
Pelling, M., & Dill, K. (2008). Disaster politics: from social control to human security. Environment, Politics and Development Working Paper Series, 1-24.
Swyngedouw, E., & Heynen, N. C. (2003). Urban political ecology, justice and the politics of scale. Antipode, 35(5), 898-918
[1] Mayne, A. (2017) Slums: The history of a global injustice London: Reaktion Books
[2] Gilbert, A. (2007), ‘The return of the slum: Does language matter?’, International Journal of Urban and Regional Research31: 4: pg 697-713
[3] Pelling, M., & Dill, K. (2008). Disaster politics: from social control to human security. Environment, Politics and Development Working Paper Series, 1-24.
[4] Swyngedouw, E., & Heynen, N. C. (2003). Urban political ecology, justice and the politics of scale. Antipode, 35(5), 898-918.

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi