
Karya : Muhamad Taufik*
Asap rokok berdansa
Sejengkal di atas kepala
Dua bola mata bengis
Mendakwa diri
Yang kebingungan
Dan
Sekali dua mengejek
Cita cita dan nasib manusia
Dan meludahi harapan, dan
Angan-angan.
1996…
Aku lahir di kota yang panas;
Di mana orang-orang hidup
Seperti pizza dan barbeque
Lengkap dengan saos masa depan
Dan kedzaliman kaum tiran
Yah… kami bukanlah penjudi ulung!
Kami nelayan dan perahu yang terdampar!
Kami hidup dipecundangi nasib dan keserakahan!
Nyanyian ombak membawa perahu
Berdansa bersama camar-camar putih
Dan bangkai seekor paus
Di suatu tempat nan jauh;
Jauh dari pesona gunung kapur
Jauh lenyap dalam auman cerobong pabrik semen
Jauh… jauh… dan jauh!
Dan…
Kami pun mengarungi perjudian baru
Tak lagi bersama debu dan abu
Nasib dan cita-cita berkecamuk
Melawan kilang minyak dan lambaian daun sawit,
Menawarkan dua pilihan;
Kematian atau pembalasan!
Derap kaki kami disambut;
Karpet merah berlumuran darah,
Lelehan darah, sungai menjadi darah
Dan kolonisasi isu nasional,
Bertopeng perang saudara!
Memilukan benak Taufik kecil,
Tubuh mungilnya berdiri di antara dua tubuh renta,
Dua tangan saling berpegang
Menjadi saksi kebisuan.
Kesangsian Transmigran:
Darah, tubuh, kepala dan denyut nadi
Bersatu bersama tanah merah
Jalan merah, dan mata memerah!
Oh Tuhan!
Ini tempat perjudian macam apa?
Yang tak pernah kami lihat!
Tak pernah kami rasakan!
Tak pernah ada di tempat kami berasal!
Gumam dalam hati tak pernah putus
Nasib dan cita-cita melengus
Menjadi pedang terhunus
Hingga lenyap dan hangus!
Sampit, Desember 2020
*Pegiat sastra tinggal di Jalan Pendawa 2 Nomor 49 Kabupaten Kotawaringin Timur, Sampit, Kalimantan Tengah
**Penulis juara 2 Lomba Cipta Puisi yang diselenggarakan Terakota.id

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi
nicee artikel
thank you for nice information