Ilustrasi : KRJogja
Iklan terakota

Terakota.id–Hari ini adalah hari Kamis. Dalam situasi normal, rasanya tidak ada yang istimewa dengan hari Kamis, kecuali saya selalu hadir mengisi kolom di media ini.  Kebetulan saya juga tidak lahir pada hari Kamis. Kata mendiang Ibu dan Bapak, saya lahir pada hari Minggu dini hari, hari pertama dalam perhitungan waktu warisan bangsa Ibrani. Orang Ibrani membagi waktu dalam tujuh hari, dari Yom Echad sampai Yom Sabbath.

Serat Pararaton mencatat bahwa hari Kamis memiliki arti yang sangat penting, sebab hari itu adalah hari naas bagi Ken Arok. Pada hari Kamis-lah, Ken Arok dibunuh dengan menggunakan keris buatan Empu Gandring. Kematian Ken Arok secara otomatis mengakhiri kekuasaannya. Ken Arok, sang tokoh legendaris yang menjadi inspirasi banyak tokoh politik ini mati dalam rangkaian estafet pembunuhan atas nama balas dendam politik:

Duk sira kacurna wrehaspati ing landep masanira anadhah sande jabung, sampun ing surup amasang sande. Sampuning lina Sang Amurwabumi, malayu wong Bathil angungsi ring Anusapati.  Terjemahan Agung Kriswanto: Saat pembunuhan terjadi pada hari Kamis, wuku landep, menjelang petang saat memasang pelita. Sang Amurwabumi mati, dan orang Batil berlari berlindung kepada sang Anusapati.

Entah kebetulan atau tidak, Pak Harto juga lengser pada hari Kamis. Setelah sekian lama gelombang demontrasi dan kerusuhan yang memakan korban harta benda dan nyawa, Pak Harto menyatakan lengser dari kedudukannya sebagai Presiden Republik Indonesia: “Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini, pada hari ini Kamis, 21 Mei 1998.”

Saya tidak hendak membincang tentang lengsernya Pak Harto, karena peringatan reformasi masih cukup lama, dua bulan lagi. Saya hanya sekadar menyentil dua peristiwa yang kebetulan terjadi pada hari Kamis. Siapa tahu ada orang yang bisa othak-athik gathuk tentang dua peristiwa yang memiliki jarak waktu yang sangat  jauh itu.

Tidak ada catatan siapa penulis Serat Pararaton. Belum dapat dipastikan pula apakah tokoh Ken Arok itu adalah tokoh sejarah ataukah tokoh fiktif. Ken Arok lahir di sebelah timur gunung Kawi. Tempat di mana Ken Endok, ibunda Ken Arok dibuahi Dewa Brahma dan kelahiran Ken Arok, diperkirakan terbentang di antara Dau dan Dinoyo, Malang, Jawa Timur. Secara kebetulan, di tempat ini pula sekarang saya tinggal bersama keluarga dan menulis artikel ini.

Sekali pun saya lahir di lereng selatan gunung Kawi, namun tidak ada catatan dari nenek moyang saya, apakah saya memiliki hubungan kekerabatan dengan Ken Arok atau hanya sekadar mambu-mambu sedulur. Yang jelas nenek moyang saya dari pihak Ibu sudah menghuni lereng gunung Kawi sejak beratus-ratus tahun yang lalu.

Keris yang akhirnya menjadi senjata makan tuan ini sebagaimana diceritakan Serat Pararaton tersebut adalah senjata yang belum sempurna. Sang Empu sebenarnya menjanjikan  bahwa keris ini pembuatannya memerlukan waktu satu tahun, namun Ken Arok, sang pemesan, tidak sabar. Keris tersebut diambil paksa dari sang pembuat, sekali pun masih setengah jadi. Empu Gandring pun terbunuh di tangan Ken Arok dengan keris itu demi menghilangkan jejak.

Cerita dalam Serat Pararaton memiliki relevansi dengan aneka peristiwa yang terjadi di hadapan kita saat ini. Salah seorang pengarang yang terinspirasi oleh penyalahgunaan keris buatan Empu Gandring adalah Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, S.J.

Pastor Yesuit yang akrab dipanggil dengan Romo Sindhu ini menuangkan refleksi peristiwa politik Singasari dalam konteks kekinian. Pada bagian pertama kumpulan sajaknya Air Kejujuran (Gramedia, 2019), yang diberi judul “Wangkingan Kebo Ijo”, Romo Sindhu banyak bicara tentang keris. Dalam Serat Pararaton, Kebo Ijo adalah tumbal politik untuk memuluskan perebutan kekuasaan. Kebo Ijo adalah korban ambisi dan kelicikan Ken Arok.

Sajak terakhir dalam bagian ini berjudul “Jula-juli Keris”. Jula-juli adalah kidungan Jawa Timur-an dalam bentuk pari’an (pantun). Oleh karenanya sajak ini ditulis dalam bahasa Jawa.  Dalam sajak ini Romo Sindhu menyindir kondisi Indonesia terkini: Saiki dulur jamane demokrasi/Tapi penggedhene isih kaya jaman Singasari/Mula sing dipikir mek kuasane/supaya lestari karo tambah gedhe. Terjemahan bebas: Sekarang ini adalah zaman demokrasi/Tetapi masih seperti zaman Singasari/Maka yang dipikir hanya kekuasaannya/supaya abadi dan tambah besar.

Dalam sejarah Indonesia modern pun, perebutan kekuasaan nyaris tidak pernah berlangsung dengan damai. Justru pada saat kita berada pada era multi-partai, kita menyaksikan setiap pergantian kepemimpinan selalu diwarnai dengan suhu yang menghangat, dan bahkan dalam beberapa kasus akan berlanjut dengan makin besarnya bara api yang membakar dan menghancurkan tatanan yang dibangun bersama.

Konflik tidak hanya terjadi menjelang dan pasca pemilu, namun konflik turut mewarnai perebutan kepemimpinan dalam partai politik. Konflik juga banyak melanda dunia pendidikan, yang merupakan gudangnya intelektual dan tempat di mana digodognya anak manusia penerus peradaban bangsa.

Di banyak lembaga pendidikan, tiap kali pergantian kepemimpinan selalu diwarnai konflik, beberapa di antaranya berlangsung dalam masa puluhan tahun tanpa penyelesaian, dan berakhir dengan kebangkrutan. Aroma sisa-sisa pemilihan presiden tahun 2019 juga masih pekat dan menyengat. Polarisasi dalam masyarakat kita belum mengalami penurunan dengan persentase yang dikehendaki, dan masih terbawa dan dipoles tiap kali ada momen yang tepat untuk ditebarkannya kembali.

Yang menarik dari cerita tentang Ken Arok adalah tentang keris, yang memang langsung dikaitkan dengan perebutan kekuasaan. Di tengah perbincangan kami tentang keris, seorang teman Kristiani menyeletuk bahwa ia hanya memiliki satu keris, yakni Keristus (Yun: Christos).

Lantas dia bercerita panjang lebar bahwa ayahnya “memelihara” keris atas warisan kakeknya. Kakeknya atas warisan kakek buyutnya, dan seterusnya, sampai tidak tahu lagi sudah berapa generasi keluarga itu memelihara keris di rumahnya.

Sebagai orang Jawa yang diwarisi keris dan tetap setia nguri-uri budaya leluhur, saat ini teman saya tersebut juga masih menyimpan benda itu di dalam rumahnya. Penghargaannya terhadap keris bagi dia tidak dapat diartikan sebagai bentuk pemujaan terhadapnya, sekaligus tidak menghalangi penghargaannya terhadap Kristus, panutan hidupnya. Sebagaimana saya membeli dan berburu sekian banyak kitab suci agama-agama di dunia, bukan berarti saya adalah pemeluk agama tersebut.

Lalu apa hubungan antara Kristus dan Serat Pararaton? Dalam bahasa Arab, Kristus disebut dengan Al-Masih, dan Ha-Mashiach dalam bahasa Ibrani. Mula-mula kekristenan adalah salah satu sekte dalam agama Yahudi. Sekte ini menerima Yesus, yang lahir di Nazareth sebagai Al-Masih. Kedatangan Al-Masih telah dinubuatkan oleh para nabi dalam Perjanjian Lama.

Dari sumber-sumber agama Yahudi-lah paham Mesianik muncul. Namun demikian paham ini tidak hanya ada dalam agama-agama Abrahamik (Yahudi, Kristen, dan Islam) saja, tetapi hampir ada di seluruh agama-agama di dunia. Orang Jawa telah lama mengenal konsep Ratu Adil. Konsep tentang Ratu Adil memiliki persamaan dengan paham Mesianik dalam agama-agama besar. Sebagaimana konsep Hindu tentang Kalki Awatara, Ratu Adil yang ditunggu-tunggu itu adalah titisan Dewa Wisnu.

Ken Arok diklaim sebagai anak Brahma, sekaligus titisan Wisnu: Ngong anjanma manusa maring Jawa, kita tumutereng mami. Araningong Angrok. (Aku menjelma menjadi manusia di Jawa dan ketahuilah olehmu bahwa namaku Angrok). Ken Arok juga manifestasi Dewa Guru (Siwa): Ndi kang yogya prabhuha ring nusa Jawa. Patakoning watek hyang kabeh. Sumahur Sanghyang Guru. Wruhanta kabe watek dewata, ana si yuga mami manusa wijiling wong Pangkur. Ika angukuhi bhumi Jawa. (“Siapa yang menjadi raja di tanah Jawa?” demikian pertanyaan seluruh para dewa. Dewa Guru menjawab, “Ketahuilah para dewa. Adalah anakku, seorang manusia yang lahir dari orang orang Pangkur. Dialah nanti yang akan menguasai tanah Jawa.”)

Mesianik Jawa lebih kental bernuansa politis daripada sekadar gerakan rohani. Banyak orang Jawa mengharapkan yang memimpin Indonesia kelak adalah Ratu Adil. Harapan ini setidaknya digantungkan tiap kali akan dilaksanakannya pemilihan umum. Gerakan-gerakan Mesianik agama-agama Abrahamik lebih bersifat gerakan reformasi akhlak dibandingkan gerakan politik dan kekuasaan. Kedatangan Yesus, misalnya, tidak hendak merebut kekuasaan politik, namun murni gerakan moral-spiritual.

Sebagian paham Mesianik yang berlatar politik adalah ekspresi gerakan dari masyarakat yang hidupnya tertindas. Ken Arok adalah simbol perlawanan dari rakyat jelata terhadap penguasanya, dan diharapkan membawa kesejahteraan dan harapan baru.  Maka, hanya dengan kekuatan para dewalah segala kekuatan dunia bisa ditakhlukkan.

Tatkala orang-orang Kebalon, termasuk guru dan resi keluar sambil membawa senjata dan hendak membunuh Ken Arok, maka: Mogha angrungu ujar ing akasa. Ayo dera pateni wong iku. Sang tyaga yuga mami rare iku. Tangeh gawene ing madhyapada (Tiba-tiba terdengar suara dari angkasa, “Jangan kalian bunuh orang itu hai pertapa. Anak itu adalah anakku dan dia mempunyai pekerjaan besar di dunia ini).

Membaca Serat Pararaton serasa membaca kitab-kitab Ibrani. Dalam Serat Pararaton, tidak hanya mengandung silsilah para tokoh, tetapi juga diwarnai dengan adegan penuh darah. Sampai saat ini belum ada informasi bahwa penulis Serat Pararaton telah bersentuhan dengan kitab suci Ibrani. Atau mungkin hanya suatu kebetulan saja bahwa gaya penulisan kedua teks yang berbeda latar waktu, tempat, dan budaya ini memiliki beberapa kemiripan satu sama lainnya.

Tidak ada yang lebih istimewa dari Serat Pararaton dibandingkan dengan cerita tentang keris. Keris bagi masyarakat kita adalah simbol kegagahan dan kekuasaan, sebagaimana ditulis Romo Sindhu dalam “Batik Keris”: Keris adalah kejantanan adalah kekuasaan./Adalah pohon kehidupan/yang batangnya bertangkai-tangkai rindang /hijau penuh daun-daun.

Dengan kekayaan dan kepandaiannya memainkan kata, keris di tangan Romo Sindhu menjadi beragam warna, kadang sakral, tetapi kadang justru kehilangan kesaktiannya, lantaran dihadirkan dalam humor yang segar: Tapi di tangan seorang perempuan/keris hanyalah mainan./Bila keris dipegang tangan perempuan/hanya sejenak ia kuat dan tegang./Sebentar kemudian ia lesu/batang kehidupannya mengering layu/tangkai-tangkainya lunglai/dan daun-daunnya berguguran jatuh melerai.

Keris buatan Empu Gandring yang telah memakan korban adalah keris setengah jadi. Dalam konteks politik kekinian, betapa bahayanya pemahaman dan pelaksanaan demokrasi yang setengah-setengah. Pseudo-demokrasi adalah benda berbahaya dalam kehidupan bernegara. Bila kekuasaan maujud dalam bentuk undang-undang, maka betapa bahayanya bila ia dirancang secara serampangan tanpa memikirkan dampaknya di masyarakat.

Keris itu menjadi alat balas dendam, yang korbannya tidak hanya mereka yang terlibat langsung dalam dosa perebutan kekuasaan, namun termasuk di dalamnya adalah mereka-mereka yang tidak tahu menahu tentang problema politik yang sedang terjadi. Selalu ada saja “Kebo Ijo” yang dijadikan tumbal.

Setidaknya saat ini Undang-undang ITE telah menjadi keris Empu Gandring, yang di samping sebagai alat balas dendam, juga telah menelan korban orang-orang yang tak berdosa. Seandainya Serat Pararaton adalah murni karya fiksi, maka kita pun berhutang budi pada karya ini, karena naskah ini adalah potret politik di tanah air, bahkan masih relevan sampai hari ini.

Keris adalah warisan leluhur yang layak untuk dilestarikan. Tahun 2005 yang lalu, Unesco mengukuhkan keris Indonesia sebagai warisan budaya dunia non-bendawi. Namun jauh lebih penting dari itu semua, sebagaimana dikatakan oleh Romo Sindhu adalah: Seperti keris pusaka./Hati yang bermata/hati yang bertelinga./Itulah keris pusaka/di batin manusia.

Di saat sepi kita menyucikan hati, seperti Kanjeng Nabi dulu “dibedah dan dicuci” hatinya sebelum mi’raj. Tak pernah lupa, hari ini adalah hari Kamis. Sejenak kita menoleh 14 abad silam. Kita kenang peristiwa itu dengan merawat pusaka kita, keris di batin kita masing-masing.