Hampir 90 persen warga Desa Ngawipurbo Kecamatan Ngawi Kabupaten Ngawi adalah perajin keripik tempe. (Terakota/Eko Widianto).
Iklan terakota

Terakota.id–Usai salat subuh, Dani Anggoro langsung bergegas memacu sepeda motor menjemput Rohana yang bekerja menggoreng keripik tempe. Sesampai di rumah, Dani bersama delapan pegawainya bergegas bekerja. Secara rutin ia bekerja memproduksi keripik tempe. Mereka berbagi tugas.

Ada yang bertugas membuat tempe mulai merebus kedelai, memecah biji kedelai, memisah kedelai dari kulitnya, merebus dan menaburinya dengan ragi. Dua orang lagi bertugas memotong tipis-tipis keripik tempe. Serta empat orang lainnya bertugas menggoreng keripik dan membungkusanya dalam kemasan plastik. “Semua bekerja bersama,” katanya.

Saat lebaran permintaan keripik tempe meningkat dua kali lipat. Jika sebelumnya setiap hari produksinya tak lebih dari 30 kilogram, kini meningkat menjadi 60 kilogram. Permintaan meningkat, kerjapun semakin giat. Setiap hari para pegawainya harus bekerja selama 12 jam mulai pukul 03.00 WIB hingga 15.00 WIB.

Keripik tempe yang diproduksi dikemas dalam plastik dipasarkan ke Bojonegoro, Madiun, dan Yogyakarta. (Terakota/Eko Widianto).

Hampir 90 persen warga Desa Ngawipurbo Kecamatan Ngawi Kabupaten Ngawi adalah perajin keripik tempe. Produksi tempenya beragam antara tujuh hingga 60 kilogram. Keripik tempe yang diproduksi Dani bermerk Dhimas, sesuai dengan nama anak pertamanya.

Hingga kini, Dani memasarkan keripik tempe produksinya ke Bojonegoro, Madiun dan Yogyakarta. Khusus pesanan pengusaha Yogyakarta, setiap pekan memasok sekitar 300 kilogram. “Kabarnya dipasarkan lagi ke Jakarta,” katanya.

Bahkan, pengusaha Yogyakarta juga mencetak kemasan sendiri sesuai permintaan pasar. Pernah, keripik tempe produksi Dani di Ngawi, dibungkus dalam kemasan keripik tempe Malang. “Kita yang bikin, daerah lain yang dapat nama,” keluhnya.

Ia bersama perajin keripik tempe di Ngawipurbo berkeinginan memasarkan keripik tempenya ke sejumlah pasar modern dan swalayan. Namun, kesulitan modal yang menjadi kendala bagi para perajin untuk melebarkan daerah pemasaran.

Dinas Perindustrian dan perdagangan setempat, kata Dani, sempat memberikan sosialisasi dan pembinaan mengenai usaha mikro dan kecil. Petugas sempat berjanji akan memberikan bantuan pelatihan, peralatan produksi keripik tempe hingga pinjaman modal.

“Belum ada pinjaman modal dari pemerintah, beberapa kali didata tapi modal tak kunjung sampai,” tutur Dani.

Sejak harga kedelai dan minyak goreng melonjak tajam, Dani mengaku keuntungannya sangat tipis. Hingga sebagian perajin bangkrut dan terancam gulung tikar. Kini, sejumlah perajin mulai berusaha untuk bangkit menyusul semakin stabilnya harga kedelai.

Sejumlah perajin keripik tempe yang tergabung dalam Himpunan Perajin Tempe Ngawi, setahun lalu sempat mendapat tawaran ekspor ke Singapora dan Arab Saudi. Namun, hingga kini belum ada tindaklanjutnya. “Kami bekerjasama dengan perusahaan eksportir.”

Dani dan perajin lainnya berharap, campur tangan pemerintah bisa menyelamatkan industri keripik tempe yang menjadi penopang hidup ribuan jiwa di Ngawi. Mereka berharap Ngawi tetap dikenal sebagai sentra perajin keripik tempe.

 

Tinggalkan Komentar

Silakan tulis komentar anda
Silakan tulis nama anda di sini