Terakota.id – Maya Setya Sari, Warda Siwana Hikmah dan Qorinah Nadifah duduk bersila di lantai. Ketiganya memegang alat tulis. Mereka menghadap ke tiga keramik yang terpajang di gedung Dewan Kesenian Kota Malang (DKM). Ketiga siswi SMA Negeri 7 Kota Malang mencatat detil keramik berbentuk dasar kendi itu ke buku masing – masing.
Sore itu, banyak pelajar berkunjung di gedung DKM. Aktivitas mereka serupa, mempelajari lebih dari 40 keramik berbentuk dasar kendi karya keramikus Ponimin. Ponimin tengah menggelar pameran tunggal di gedung DKM mulai 28-31 Oktober 2017.
“Ini apresiasi seni untuk mata pelajaran seni dan kebudayaan,” kata Maya, Minggu 29 Oktober 2017. Maya dan para pelajar menggali teknik pembuatan, desain, konsep sampai nilai yang diusung Ponimin pada setiap karyanya. Mereka tak segan bertanya langsung kepada Ponimin yang tengah berada di dalam ruangan.
Pameran tunggal karya Ponimin bertema ‘Kendi Patirtan Kehidupan’. Perupa keramik sekaligus Dosen Seni Desain Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang ini menonjolkan figur manusia dan binatang menempel pada setiap karyanya. Corak deformatif figurative menjadi pilihan setiap karyanya.
“Narasi simbolik. Cerita tentang kehidupan manusia dan alam sekitar dengan bahasa simbol,” kata Ponimin.
Ia membuat keramik dengan teknik pinching atau pijat dan tempel dengan dua kali proses pembakaran. Seluruh bahan baku didapat dari lingkungan sekitar. Tanah liat diambil dari Bantur, Kabupaten Malang, kaolin dari Bangka, clay dari Sumberpucung, Malang dan pasir putih dari Situbondo. Sedangkan glasir pelapis tubuh keramik memanfaatkan limbah botol kaca kemasan.
“Kalau membuatnya mudah, paling sulit adalah mencari ide untuk konsep keramik,” ujarnya.
Relief Garudeya di Candi Kidal Sebagai Inspirasi
Tema ‘Kendi Patirtan Kehidupan’ bersumber dari relief Garudeya, salah satu relief di Candi Kidal. Dalam relief tergambar seekor garuda menyangga kendi berisi air suci (Tirta amerta). Menurut mitos, relief ini menceritakan tentang seorang anak yang berusaha menyelamatkan ibunya dari perbudakan. Air suci dalam kendi dipercaya sebagai simbol kehidupan.
“Ada banyak kebudayaan kita yang bisa menjadi sumber inspirasi dalam berkreasi,” kata Ponimin.
Mayoritas keramik berbentuk dasar kendi juga sebagai bentuk keprihatinan karena semakin tergerusnya budaya lokal seperti kendi itu. Masyarakat Indonesia kalah dengan Tionghoa maupun Jepang yang masih merawat budaya minum teh dengan teko. Tradisi itu secara tak langsung turut melestarikan seni kerajinan keramik.
Ponimin menambahkan, Indonesia memiliki budaya lokal ngunjuk tuyo wening atau minum air bening dengan kendi sebagai wadahnya. Tapi, tradisi itu kalah dengan gaya kehidupan modern yang meminum air dari gelas atau wadah berbahan plastik dan kaca.
“Padahal minum dari kendi itu lebih menyehatkan. Kendi punya pori – pori yang bisa menyerap racun, menghigieniskan air tanpa perlu dimasak,” tuturnya.
Keramik karya Ponimin yang dipamerkan banyak berjudul air dan kehidupan. Beberapa judul keramik itu misalnya, ‘Elang Kembar Penjaga Keagungan Patirtan’, ‘Siklus Patirtan Kehidupan’, ‘Menggapai Patirtan Kehidupan’, sampai berjudul ‘Menanti Sumber Patirtan Kehidupan’.
Kendi dan Makna Kehidupan
Kurator pameran tunggal yang juga Ketua Jurusan Seni dan Desain Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang, Haryanto mengatakan, kendi sebuah artefak budaya nusantara yang sudah ada sejak zaman prasejarah dan direkam dalam relief sejumlah candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kendi hingga kini masih diproduksi perajin gerabah.
“Ponimin tampak terobsesi dengan kesederhanaan bentuk dan fungsi kendi, sehingga tergoda mengeksplorasi bentuk dan menafsirkan makna kendi dengan situasi kekinian,” kata Hariyanto dalam pengantar kuratorialnya.
Kendi buatan perajin di nusantara ini pada umumnya bentuknya relatif sama, berleher dan bermoncong. Fungsi praktisnya sebagai tempat air minum, sedangkan fungsi simboliknya sebagai wadah air suci untuk upacara keagamaan hingga peralatan seni tari.
Bentuk dasar kendi karya Ponimin dinamis, tak tampak seperti kendi pada umumnya. Tapi ada makna filosofis di setiap karya – karya itu. Misalnya, karya berjudul ‘Kendi Spiral Kehidupan’, ‘Kendi Padi’, dan ‘Berbaris di Pancuran Kehidupan’ memiliki bentuk yang masih dekat dengan dengan bentul asal kendi. Hiasan di tiap kendi berupa lilitan garis, tempelan motif hias padi dan figur katak berbaris di atas corong kendi.
“Maknanya adalah, jika manusia ingin menggapai kehidupan harus diperjuangkan dari bawah dan dengan kesabaran,” ujar Hariyanto.
Ia menambahkan, Indonesia belum memiliki tradisi keramik sekuat Tiongkok dan Jepang. Industri keramik Indonesia dalam konteks ekspresi seni masih sedikit jumlahnya. Masih banyak yang hanya berorientasi pada kerajinan gerabah atau industri keramik sanitair dan lantai. Namun, melalui pameran tunggal bertajuk ‘Kendi Air Kehidupan, Dalam Geliat Tanah Liat Keasi Artistik’ ini membuktikan seni keramik sebagai seni kuno masih bisa bertahan hidup.
Melalui kendi – kendi yang disajikan oleh keramikus Ponimin itu pula harus menyadarkan kita untuk kembali menoleh ke nilai – nilai timur. Di mana kita harus berdamai dengan alam. Kendi menyimpan air suci, air kehidupan yang mesti dibaca sebagai kandungan ibu pertiwi Indonesia kaya raya sumber daya alam yang harus dijaga dan dilestarikan.
Redaktur Pelaksana