
Terakota.id—Trem pengangkut penumpang dan barang memasuki stasiun Tumpang. Masinis menghentikan trem di stasiun, sejumlah penumpang turun. Sedangkan para pedagang arang, ketela, gula, dan kopi mengambil keranjang barang di gerbong barang.
Petugas pengatur perjalanan kereta api mengenakan pet berwarna merah, berdiri di depan stasiun. Bergantian, penumpang naik gerbong penumpang. Beberapa menit berikutnya, petugas memberikan tanda kepada masinis, trem segera berangkat.
Itulah secuil kenangan yang membekas dalam memori Soelistjawati, istri mendiang Sujatno, kepala stasiun Tumpang. Sujatno, kata Soelisjawati terus berpindah tugas dari Singosari, Sedayu, Gondanglegi, Tumpang, Kota Lama, Jagalan hingga Kantor Inspeksi Malang.

“Dulu trem berangkat empat kali sehari. Ada empat hingga lima rangkaian gerbong, tiga diantaranya gerbong penumpang, sisanya untuk mengangkut barang,” ujar Soelistjawati kepada terakota.id.
Soelistjawati menunjukkan batu bara atau biasa disebut stongkul, salah satu bahan bakar kereta upa. Sisa stongkul ditemukan tetangganya yang menggali tanah di belakang stasiun.
Dilansir heritage.kai.id, trem sebagai kendaraan bermesiun uap menggunakan bahan bakar berupa kayu bakar untuk mendidihkan air. Uap air hasil pembakaran menggerakkan piston kereta. Lokomotif membutuhkan sebanyak 2.850 liter air.
“Sepur kluthuk (trem) menggunakan kayu bakar ukuran setengah meteran. Baranya menggunakan areng stengkul (batu bara). Satu kilometer perjalanan menghabiskan 5 kilo stongkul dan 10 lonjor kayu,” kata Soelistjawati menjelaskan.

Soelistjawati kini tinggal bersama anak cucunya di rumah dinas tinggalan suaminya, tepat di depan bekas Stasiun Trem Tumpang. Rumah bercat hijau bergaya kolonial itu tampak terawat. Dinding rumah terpajang sejumlah foto Sujatno saat menjabat kepala stasiun. Acapkali pecinta kereta api dan penjelajah sejarah mampir ke rumah Soelistjawati.
“Sayang kini seragam Bapak sudah tidak ada. Dulu 2012 diambil untuk arsip museum di Jakarta,” kata Soelistjawati.
Gedung stasiun trem Tumpang merupakan bangunan yang masih tersisa hingga saat ini. Stasiun Tumpang dibuka 27 April 1901. Menghubungkan Stasiun Tumpang menuju Stasiun Singosari sepanjang 23 kilometer. Konon jalur ini merupakan jalur trem terpanjang di Malang. Tahun 1968 Stasiun Trem Tumpang ditutup karena bencana alam.
Kini bangunan bekas stasiun dimanfaatkan warga sekitar untuk membuka warung. Loket tiket masih utuh, bertuliskan “Loket Kartjis/Bagasi” sesuai dengan ejaan lama.

Tak banyak benda bersejarah yang tersisa. Bahkan bangunan bekas kantor pusat trem di Jagalan kini telah raib. Pemerhati sejarah kereta api dan cagar budaya Tjahjana Indra Kusuma menjelaskan kemungkinan kantor pusat stasiun trem di Jagalan Kota Malang.
“Disinyalir di perempatan Jalan Irian Jaya dan Halmahera itu ada sekumpulan rumah staf direksi dari Malang Stoomtram Maatschappij, N.V. (MS),” katanya. Sementara tepat di pojok diduga sebagai kantor MS.
Railfans Malang menelusuri jejak trem sejak 2009. Trem uap lazim menghela satu rangkaian yang terdiri atas satu unit gerbong barang dan dua unit kereta penumpang. Jika rangkaian lebih panjang harus dihela dua lokomotif bersamaan (traksi ganda). Sebab, rata-rata lokomotif trem berdaya kecil di bawah 500 HP.
Sedangkan bahan bakar batubara tidak pernah dicampur dengan kayu untuk menjalankam lokomotif. Lazimnya hanya menggunakan salah satu, batubara atau kayu. Peneliti kereta Railfans Malang Endiarto Wijaya menjelaskan jalur trem Tumpang-Singosari sebenarnya tidak bisa dianggap terpanjang karena trem dari Tumpang. Lantaran mesti singgah di Blimbing dan tidak bisa langsung ke Singosari.
“Jika dihitung total, tentu jurusan Malang-Kepanjen lebih panjang karena jaraknya 40 kilometer dibanding Malang – Dampit yang 38 kilometer,” katanya. Tapi keduanya singgah dulu di Gondanglegi.
