
Oleh : Abdurrachman Sofyan*
Terakota.id—Kemarahan tidak pernah muncul dari ruang kosong. Ia juga tidak pernah menyeruak tanpa sebab. Selalu ada konteks di baliknya, sering ada pemantik sebagai pemulanya dan tidak sedikit yang kalap dalam nuansanya. Sebagian orang suka mengompori keadaan, sebagian yang lain bersembunyi di balik dinding sembari memantau keadaan dan hanya sedikit yang berjiwa tenang mendinginkan ataupun meredakan.
Betapa jengah saya melihat kekerasan sekelompok manusia satu terhadap manusia lain, golongan satu terhadap golongan lain dan sepasang kekasih yang saling menyakiti satu sama lain di media sosial. Dipamerkan ke khalayak ramai, ditonton ribuan orang, disebarkan berulang-ulang dan dikomentari berjama’ah. Mungkin, Anda dan saya mulai terbiasa dengan kekerasan.
Kemudian, pucuk dari kemarahan ialah kubangan kesia-siaan, penyesalan dengan apa yang diperbuat dan kerugian materiil dan nonmeteri. Sesekali meminta maaf karena perbuatan dan bagi yang kehilangan nyawa karena kemarahan, kata maaf tak dapat mengidupkan insan.
Betapa kita melihat kemarahan tanpa tudung, tanpa tirai penyekat dan tanpa pernah tahu kapan persaksian itu berakhir. Diam-diam Anda dan saya mulai akrab dengan kekerasan.
Sekarang bayangkan, manusia mana yang tidak terpancing amarahnya ketika puluhan perempuan pekerja es krim pabrikan mesti menelan pil pahit keguguran akibat bekerja di luar standar operasional prosedur? Lalu bayangkan, bagaimana tidak terletup kemarahan ketika Pemerintah pusat kota/kabupaten semestinya berpikir keras untuk mengatasi banjir namun televisi kita menyodorkan empire abal-abal? Kemudian bayangkan, kerongkongan manusia mana yang tidak terpaksa menghujat saat kita dipaksa menerima teori konspirasi baru yang menyatakan bahwa kehamilan bisa dipicu dari berenang bersama antar lawan jenis.
Tahan, tolong tahan amarah Anda saat mengetahui kasus terakhir. Saya paham, bahwa pendapat itu lebih menyakitkan dari sekadar igauan bahwa penemu teori gravitasi ialah Dokter Terawan.
Sejenak saja saya mengajak Anda bertanya tentang mengapa ketololan di luar rata-rata itu bisa muncul telanjang di hadapan kita? Apakah jangan-jangan kita sudah betul-betul menjadi konsumen produk ketololan di luar rata-rata itu? Jika benar bahwa ternyata kita lah si pemarah itu dan kita juga lah si konsumennya maka bisa jadi kita pula lah pelaku kekerasan itu.
Betapa bahan bakar kemarahan itu bisa kita temui di mana pun. Di balik mahalnya risiko pekerja pabrik es krim dan kemurahan harga jualnya, dari dalam gorong-gorong ibukota yang disumbat puluhan karung pasir, dari balik drama empire abal-abal yang tak masuk di akal dan dari dalam kerongkongan pejabat publik yang dulu teriak “yo ayo pilih saya” namun sekarang bilang “yo nggak tau, kok tanya saya.” Sialnya, ketololan itu sudah disajikan dengan telanjang di depan mata.
Sebagai warga Negara yang sekaligus konsumen berita buruk maka sudah sewajarnya untuk siap sedia menerima apa-apa saja yang disuguhkan para produsen. Peduli amat dengan tekanan psikis perempuan pekerja korban kerja rodi, nasib kerugian warga miskin di belakang perumahan elit karena banjir dan korban bualan bujuk rayu emipre abal-abal. Karena netizen hanyalah konsumen dan media sosial sebagai arenanya.
Sekarang, Anda dan saya kini mulai menyadari ketelanjangan itu dan kemudian mengingat-ingat berita buruk apalagi yang telah dikonsumsi kemarin lusa, hari kemarin dan hari ini. Lalu merangkainya menjadi komponen narasi besar dan merangkumnya menjadi pesona Indonesia.
Ya, kita mulai mengingatnya. Mulai bertanya-tanya untuk memastikan apakah ada satu atau dua kabar buruk yang anda lewatkan. Hingga tidak satu pun kabar baik yang berhasil kita ingat.
Apakah itu sebuah dosa? Tidak, itu bukan dosa. Itulah yang sering sekali para juru warta sebut dengan “bad news, is good news.” Lalu, apakah itu dosa para pewarta kita? Oh, tidak. Sebagai pekerja pada industri media, mereka hanya mencoba bertahan hidup di tengah ketakberpemilikan alat produksi. Pewarta hanya mengonversi kerjanya menjadi rupiah dan dari situlah mereka hidup. Itulah mengapa dari pikiran Rosihan Anwar lah kita bisa tahu betapa pewarta juga berhak sejahtera.
Namun apalah daya, bagaikan sudah jatuh tertimpa tower. Arena media sosial lebih dari itu. Sekalas Professor ilmu jurnalistik sekalipun tidak pernah menyarankan para mahasiswanya untuk merekam aksi gantung diri seseorang sementara ia mampu untuk mencegahnya. Sementara media sosial punya hukumnya sendiri.
Ada udara yang tidak sehat di balik ruang produksi amarah setiap dari kita. Jumlah cadangan tenaga kerja berlimpah membuat korporasi bisa semena-mena kepada pekerjanya. Tingginya angka konsumsi kelas menengah dan elit memberikan keuntungan berlipat bagi developer penyedia hunian bebas banjir niscaya kepentigannya mutlak menjadi utama. Diisinya kursi-kursi jabatan publik atas bekal pesanan elit partai politik menuai kontroversi yang tidak berkesudahan membuat kita bertanya sebenarnya mereka sedang mewakili siapa. Kegilaan atas mimpi kejayaan masa imperium seolah lebih utama dipertontonkan ketimbang perampasan ruang hidup yang kian menggila.
Mungkin, Anda dan saya saat ini sudah mulai sesak dengan kemarahan. Namun, jika kemarahan itu telah berhasil dikualifikasi maka kita akan menemukan sumbernya.
Kemarahan Anda dan saya terhadap satu hal bisa saja memiliki ekspresi yang sama di sosial media. Namun, belum tentu sama pada aspek sumbernya.
Kemarahan Anda terhadap mahalnya satu produk ketampanan atau kecantikan juga belum tentu bisa merepresentasikan kemarahan peradaban, bukan! Tapi bisa saja hal itu menjadi kemarahan peradaban jika dari balik setiap produksi terdapat ongkos eksplotasi pekerja murah tanpa perlindungan.
Pada zaman yunani kuno, romawi kuno dan peradaban bangsa Persia semua produk kesenian bisa dipamerkan dan bahkan menjadi simbol majunya suatu peradaban, tapi kini pada saat peradaban digital menjadi anak zaman mengapa malah terlalu banyak ketololoan yang dipamerkan secara telanjang? Pantas saja jika peradaban kita penuh amarah.
*Pegiat literasi komunitas Kalimetro dan ayah dari Dipa Nusa Amartya

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi