
Terakota.id–Tahun 70-an di Indonesia sedang digencarkan kebijakan Keluarga Berencana (KB). Untuk mendukung kesuksesan itu, presiden Soeharto dan timnya melakukan apa saja. Maklum saja mumpung sedang berkuasa. Salah satu usahanya dengan menciptakan lirik lagu KB sebagai berikut;
Keluarga Berancana sudah waktunya
Janganah diragukan lagi
Keluarga Berencana besar maknanya
Untuk hari depan nan jaya
Putra-putri yang sehat cerdas dan kuat
‘kan menjadi harapan bangsa
Ayah ibu bahagia rukun rahasia
Rumah tangga tetnetam sentosa.
Lagu yang diciptakan Mochtar Embut itu sangat populer era Orba. Media massa pun seolah wajib memopulerkan lagu tersebut. Setelah Orba runtuh nyaris tidak disuarakan kembali lagunya. Sesekali tetap terdengar pada acara yang berkaitan dengan KB, terutama sekali di acara badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Mengapa harus Orba? Sebagai orang yang dibesarkan dalam suasana politik Orba saya tentu merasakan kesan tersebut. Berbagai kebijakan sering dipaksakan. Ada ancaman bagi yang membangkang, ada “ganjaran” bagi yang patuh. Juga, diselimuti rasa cemas.
Bapak saya Pegawai Negeri SIpil (PNS). Saya tentu ikut merasakan bagaimana suasana kebijakan Orba waktu itu. Semua terkonsentrasi pada negara. Soal KB? Tentu ibu saya juga terkena dampaknya. Pada keluarga PNS wajib melaksanakan KB. Jika tidak, akan kena sanksi. Jika melaksanakan akan mendapatkan “ganjaran”. Termasuk ancaman bahwa pemerintah hanya akan memberikan subsidi maksial 2 anak.
Ibu saya pernah mendapat bibit tunas kelapa karena ikut melaksanakan program KB pemerintah. Hanya itu? Mungkin karena waktu itu saya ikut mengambil bibit kelapa di tetangga desa. Program KB itu kebanyakan hanya untuk masyarakat kebanyakan. Masyarakat yang sudah kaya di elite politik tentu tak tersentuh. Hampir sama dengan kasus-kasus hukum lainnya waktu itu. Para elite politik memanfaatkan kekuasaannya untuk mendapatkan keuntungan.
Tak Elok
Lalu apa yang relevan dengan lagu marks KB di atas? Lagu itu memang untuk KB. Saat ini KB itu tidak lagi kepanjangan dari Keluarga Berencana, tetapi Keluarga Berkuasa. Coba ganti saja lirik lagi itu dengan Keluarga Berkuasa.
KB Orba dengan KB saat ini hampir sama. Keduanya fenomena yang melekat pada kekuasaan. Jika KB Orba itu melekat pada pemerintahan dan kebijakan Orba, untuk KB saat ini melekat atau memanfaatkan kekuasaan politik. Persaman lainnya, memanfaatkan kekuasaan. Saya tentu tidak menyamakan keduanya secara membabi buta. Tidak. Namun dalam beberapa kasus keduanya punya kemiripan, bukan?
Riuh disekitar kita saat pak Jokowi memberikan kesempatan keluarganya untuk terlibat dalam politik (Solo, Medan, Gunung Kidul). Itu belum termasuk putrinya Wapres Ma’ruf Amin dan beberapa pejabat setingkat meteri.
Orang banyak yang bertanya, mengapa hanya Jokowi yang disorot? Sementara ada dinasti lain yang lebih berbahaya dan sudah berkuasa sekian lama? Muncul kecurigaan bahwa yang mengkritik Jokowi itu pada “pembenci” Jokowi. Mereka, dituduh merongrong kekuasaan sah, sampai makar untuk menggulingkan pemerintahan.
Kecurigaaan model itu selalu ada di setiap bentuk pemerintahan manapun. Artinya, ada mereka yang berdiri di belakang pemerintah yang membela habis-habisan, tetapi tetap ada yang mengkritisinya. Mereka yang berdiri di belakang ini tentu kelompok yang “mendapat keuntungan” dari kekuasaan politik yang sedang berkuasa.
Tetapi apakah mereka yang sedang mengkritik itu memang bertujuan mengkritik atau ada tujuan terselubung? Tentu ada pihak-pihak yang ikut “bermain”. Namun memilih untuk mengkritisi setiap kebijakan adalah lebih bijak daripada membabi buta membela karena pamrih keuntungan diri dan kelompoknya.
Pamrih itu hal biasa, tetapi jika menyangkut kekuasaan yang diperoleh dari amanat rakyat, tentu banyak merugikan. Apa alasannya? Karena di setiap bentuk pemerintahan selalu punya kecenderungan menyalahgunakan kekuasaan.
Lalu, apakah mengkritik politik dinasti itu salah? Yang tidak tepat adalah mereka yang membela membabi buta hanya berdasar keuntungan dan pamrih pribadi serta golongan. Mereka yang membela Jokowi habis-habisan karena politik dinasti yang dibangunnya layak untuk dikritisi. Bahkan dalam hal ini, Jokowi sendiri layak untuk dikritisi.
Tanpa kekuasaannya, keluarganya sangat mustahil menjadi kandidat. Apakah tiba-tiba Gibran Rakabuming yang bukan kader partai tulen dan secara profil tidak begitu meyakinkan dengan tiadanya track record mencukupi dalam mengurusi sistem dalam pemerintaan bisa menjadi kandidat tanpa kekuasaan bapaknya? Mustahi bukan?
Membicarakan hak pribadi untuk mendukung keluarganya memang tak salah. Tetapi memberikan kesempatan berkuasa dengan memanfaatkan jabatannya tak elok. Ini bukan soal aturan hukum. Tetapi lebih banyak terkait dengan moral politik.
Mars Keluarga Berkuasa
Mengapa yang sorot keluarga Jokowi jika yang terlibat dalam dinasti politik itu banyak? Ya karena dia sekarang jadi presiden. Pak Harto dulu juga disorot saat anak-anaknya ikut berbisnis. Sebagai orang yang berkuasa waktu itu tentu faktor kekuasaan akan ikut “melicinkan” bisnis anak-anaknya.
Lalu dimana salahnya jika seorang pemegang kekuasaan itu dikritik? Mana yang salah jika ada yang memprotes presiden sedang menjalankan dinasti politik? Ya kalau tidak mau dikritik tak usah menjadi presiden. Jika resah dengan kritikan tidak usah menjadi pendukung loyal dan memmabi buta. Di setiap lembaga apapun, setiap pemimpin harus siap dikritik, bukan? Semakin populer maka akan semakin deras sorotannya.
Mengapa harus cemas? Karena politik dinasti itu punya kecenderungan menyalahgunakan kekuasaan. Penyalahgunaan kekuasaan itu indikasi munculnya korupsi. Korupsi tidak harus diartikan secara artifisial berkaitan dengan uang. Penyalahgunaan kekuasaan itu juga perilaku korupsi. Bahkan ia akan punya dampak lebih besar. Membubuh itu kejam, tetapi fitnah itu lebih kejam karena dampaknya lebih dahsyat. Maka, penyalahgunaan kekuasaan itu bisa dianggap rajanya korupsi.
Tapi mendorong keluarga untuk ikut dalam politik imemang hal lumrah. Ini akan terjadi pada setiap orang pula. Yang tidak tepat adalah memakai kekuasaan untuk ikut membanagun dinasti politik. Dinasti politik itu ancaman pada demokrasi dan penegakan hukum. Sebab, jika ia sudah terbangun akan mempunyai tali temali yang kuat. Susah pula untuk diurai. Maka mumpung belum telanjur, suara-suara yang memprotes politik dinasti perlu diteriakkan lebih keras.
Jangan sampai mars KB diplesetkan menjadi, “Keluarga Berkuasa sudah waktunya. Janganah diragukan lagi. Keluarga Berkuasa besar maknanya. Untuk hari depan nan jaya”. Saya tiba-tiba membayangkan sebuah demonstrasi yang diiringi lagu ini. Sebuah nyanyian satir mengiringi kematian demokrasi.