Ilustrasi : Idiomatrix
Iklan terakota

Terakota.id–Tulisan ini hanya sebuah cerita. Makanya subjektivitas penulis sangat terasa. Namun bukan sembarang cerita. Ia  punya muatan pelajaran, menyadarkan untuk introspeksi, teladan dan menjadi sebuah cermin. Maka, catatan sejarah adalah pijakan kuat melangkah ke depan karena punya pondasi kuat. Ini tentu jika kita mau belajar dari sejarah. Alasannya, dalam sejarah tersimpan pelajaran penting agar sesuatu yang tidak diharapkan tak terulang kembali.

Ceritanya, saat menjadi mahasiswa saya pernah ikut mengelola majalah kampus. Bagi saya ini bukan sembarang majalah kampus biasa. Majalah kampus yang kritis dan kadang dianggap mengganggu kemapanan kampus, juga pemerintah. Namanya majalah Visi, media mahasiswa Fisip Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Saya pernah mencapai jabatan puncak di majalah tersebut (1994), karena tak ada jabatan lain yang lebih tinggi.

Yang menarik justru saat terjadi dinamika – untuk tak menyebutkan ada pergolakan – dalam pengelolaan. Awalnya saya takut masuk majalah itu. Bagaimana tidak? Bagi saya majalah Visi  majalah yang sangat kritis pada pemerintah. Bahkan dihuni oleh reporter  “garis keras” dalam menyuarakan pembelaan pada rakyat.

Tak jarang, isinya mengupas  kebobrokan era Orde Baru (Orba). Sementara saya, mahasiswa yang hanya awalnya memang kuliah semata. Orang tua saya Pegawai Negeri Sipil (PNS). Bisa dibayangkan kan bagaimana “nasib” PNS waktu itu jika berkaitan dengan kekuasaan pemerintah? PNS tentu takut karena ancaman-ancaman pemerintah, termasuk bapak saya. Jadi, saya mengetahui bagaimana perilaku PNS waktu itu, minimal dari bapak saya.

Ketakutan berada dalam titik puncak karena jika berani mengkritik pemerintah, sebagai PNS  akan berurusan dengan kekuasaan. Itu yang saya tahu dan juga tak saya suka. Kenapa pemerintah sedemikian menakutkan? Pikiran sederhana saya waktu itu.

Maka begitu masuk kuliah, secara diam-diam, saya membaca buku-buku kritis. Minimal buku-buku yang berani mengkritik kebijakan yang sengaja dibuat mapan. Saya senang saja membacanya. Maklum sesuatu yang baru dan menantang pikiran saya waktu itu. Sesuatu yang tidak pernah saya dapatkan selama belajar di sekolah.

Namun, saya mahasiswa “pinggiran”. Maksudnya, bukan dari golongan mereka yang “pinter-pinter” saat berbicara  menggebu-gebu. Mereka ini jika berdiskusi bisa berbusa-busa dengan meneriakkan kritik pedas pada pemerintah. Saya tetap menjadi penonton. Jika diskusi hanya diam saja. Juga diam-diam sambil membaca buku-buku “alternatif”. Saya pun pernah dijuluki teman sebagai the man behind the library. Mungkin saking saya seringnya berada di perpustakaan. Maklum saja, beli buku tidak mampu. Jatah bulanan saja hanya 30 ribu/bulan pada tahun 1990.

Rasa Takut Berlebihan

Saya takut masuk majalah fakultas Visi. Takut nanti dicatat “yang berwajib”. Rasa takut karena bapak saya PNS. Waktu itu juga saya takut nanti tidak bisa jadi PNS. Maklum, jadi PNS dambaan banyak orang dan bergengsi bagi masyarakat, apalagi  anak desa seperti saya.  Di desa, PNS sangat dihormati, meski gaji tidak tinggi. Tetapi karena PNS itu  “abdi negara” – meskipun dalam kenyataannya bisa menjadi “begundal negara” – sebagaimana tulisan dalam topi bapak saya.

Namun, roda berputar terbalik. Saya ditawari masuk majalah  Visi oleh seorang senior.  Ceritanya, tulisan saya yang dimuat di harian Jawa Pos (Mei 1991) membuat senior itu tertarik untuk merekrut saya. Tanpa ada proses rekruitmen resmi. Maka, resmilah saya masuk majalah itu dengan jabatan pertama sebagai distributor sebagaimana tercantum dalam susunan redaksi.

Proses terus berlanjut. Baru masuk menjadi reporter sudah punya masalah. Masalah dengan aparat keamanan dan pejabat kampus. Itu gara-gara majalah fakultas memberitakan Golongan Putih (Golput). Tidak tanggung-tanggung ada wawancara  Arief Budiman (dosen UKSW dan tokoh Golput).  Cover majalah kami pun bergambar segi lima warna putih.  Lalu berurusanlah saya dengan pihak kampus.

Namun semua sudah telanjur. Saya tak bisa setengah-setengah di majalah tersebut. Pilihannya; bertahan atau keluar. Saya memutuskan bertahan. Proses berlanjut. Tentu dengan dinamika majalah mahasiswa. Majalah yang tetap kritis. Termasuk kritis pada kebijakan kampus. Pernah majalah fakultas itu mengkritik kebijakan kampus karena mewajibkan mahasiswanya ikut latihan baris sebelum Kuliah Kerja Nyata (KKN). Pelatihnya tentara.  Seperti ada militerisasi di kampus. Berurusanlah kami dengan pihak kampus lagi.

Bahkan majalah kami diawasi intel. Informasi apapun tentang majalah kami selalu diketahui “aparat”. Sampai diskusi yang mengundang tokoh Lembaga Swadaya masyarakat (LSM) saja pernah didatangi intel. Salah satu pimpinan majalah kami juga pernah ditangkap dan diminta “apel” di kantor polisi.

Tetapi majalah kami tetap kritis. Setengah takut, setengah menantang  nyali. Menulis di koran pun saya selalu dibayang-bayangi oleh kekuasaan politik pemerintah. Agak takut juga. Bahkan kekuasaan itu diejawantahkan dalam kebijakan kampus. Tak banyak dosen yang kritis pada kebijakan pemerintah. Saya tentu saja maklum.

Saat  menulis artikel, saya sering membayangkan jangan-jangan nanti saya diciduk “aparat keamanan”. Atau tiba-tiba kos saya didatangi orang berbadan kekar dan berambut cepak. Saya juga pernah ikut demonstrasi beberapa kali terkait kebijakan pemerintah daerah. “Catatan buruk” saya mungkin sudah lengkap menjadi data di “kantor keamanan”.

Tumbang

Maka, betapa takutnya waktu itu untuk kritis. Kekuasan Orba sedang berada di puncak. Semua lini dikuasai. Bahkan, pemerintah itu bisa disebut sebagai bentuk demokrasi terpimpin konstitusional. Mengapa demokrasi? Karena klaimnya negara demokrasi. Minimal ada lembaga-lembaga negara.

Mengapa konstitusional? Karena secara konstitusi memang dibuat sedemikian rupa agar Soeharto (presiden 32 tahun) tetap berkuasa. Bagaimana tidak? DPR dikuasai oleh kalangan pemerintah (Golkar, ABRI, utusan daerah) dan partai lain (PPP dan PDI)  yang “diretui” pemerintah. Siapa yang bisa melawannya? Secara konstitusi sah karena memang mengatur demikian.

Namun dunia ini dinamis.  Tak bisa diatur oleh  nafsu manusia. Akhirnya Orba tumbang oleh gerakan mahasiswa dan beberapa tokoh masyarakat, meskipun ada campur tangan asing dan beberapa anggota dewan.

Waktu Orba ada juga para intelektual kampus yang membela habis-habisan kebijakan pemerintah. Karena memang mereka menggantungkan “periuk nasinya” pada pemerintah. Jangan tanya kalangan  militer, tentu akan loyal. Mereka yang susah diatur kebanyakan  mahasiswa.  Maka  gerakan mahasiswa memberikan andil cukup besar bagi tergulingnya kekuasaan Orba.

Waktu itu berkembang narasi bahwa gerakan mahasiswa ditunggangi dan disusupi.  Adanya tuduhan aktor intelektual juga disuarakan untuk “nggembosi” gerakan mahasiswa.  Belum termasuk dituduh sebagai tindakan subversif. Pokoknya narasi yang dibangun untuk mematahkan semangat perlawanan mahasiswa.

Apakah ada mahasiswa yang ditangkap? Pasti ada. Ditembak pun juga ada. Apakah gerakan mahasiswa berbuntut kerusuhan? Iya jelas. Sebab,  jika tidak rusuh maka tuntutan mahasiswa tidak akan menjadi pertimbangan pemerintah waktu itu. Kerusuhan itu akibat — bukan sebab — kebijakan yang sudah berjalan lama. Lalu muncul tuduhan gerakan mahasiswa (pasti) rusuh. Narasi ini disuarakan oleh mereka yang membela pemerintah. Salah satunya takut terancam kedudukannya. Jadi bisa dibayangkan betapa suasana takut selalu membayangi setiap aktivitas mahasiswa dan apalagi masyarakat umum.

Ada Kemiripan?

Itu sekelumit cerita saya saat menjadi mahasiswa. Titik tekan saya pada kekuasaan pemerintah waktu itu yang sangat kuat (demokrasi terpimpin konstitusional). Rasa takut disebar kemana-mana. Sekali lagi itu cerita pengalaman saya waktu era Orba.

Saya tidak perlu bercerita pada era sekarang ini. Apakah mahasiswa dan kelompok masyarakat umum menjadi cemas atau bahkan takut untuk berbeda pendapat dengan pemerintah? Silakan dijawab sendiri. Adakah tuduhan-tuduhan tertentu yang membuat gerakan dalam masyarakat menjadi lemah? Apakah demonstrasi yang berbuntut kerusuhan akhir-akhir ini diiringi narasi-narasi melemahkan gerakan mahasiswa? Silakan dirasakan sendiri.

Apakah saat ini ada kalangan intelektual yang menjadi “tukang” pembela pemerintah sebagaimana Orba? Apakah pemerintah tidak mendengarkan keluhan, kritikan, masukan masyarakat karena merasa sudah “berkuasa penuh” tanpa  goyah sebagaimana pemerintahan Orba? Apakah pemerintah dan parlemen saling medukung dan saling melengkapi sebagaimana Orba?

Saya tidak berhak untuk menilai. Mungkin saya juga dihinggapi rasa takut sebagaimana pernah saya rasakan  ketika  saat jadi mahasiswa.  Karena  akibatnya  akan  berhadapan dengan alat-alat  negara.  Kalau dahulu saya hanya takut dengan aparat keamanan, tetapi saat ini saya juga takut dengan masyarakat sipil pembela pemerintah, termasuk buzzer. Yang dibutuhkan sekarang  adalah bagaimana lepas dari rasa takut untuk berbeda pendapat. Itu sudah lebih dari cukup.