Keheningan di Ujung Ramadan

Sekali lagi, lebaran telah melambai-lambai di halaman rumah kita. Idul Fitri, hari kemenangan bagi ia yang berjibaku menghayati Ramadhan, tinggal menunggu bedug ditabuh. Lalu, turut berduka (ditinggal Ramadhan) atau bahagiakah (bertemu hari kemenangan Idul Fitri) kita? Entahlah. Mari bertanya pada keheningan batin masing-masing.

prepegan-megengan-rona-tradisi-luhur-jelang-ramadan
Pawai keliling kampung digelar menjelang puasa maupun pada malam menjelang idul fitri. (Foto : Arifahwulansari.com).
Iklan terakota

Terakota.idLebaran telah melambai-lambai di halaman rumah kita. Idul Fitri kemungkinan besar akan jatuh tanggal 5 Juni, lusa nanti. Artinya, bulan Ramadan segera pergi meninggalkan kita. Kita tengah berada di ujung Ramadan. Bulan Ramadan adalah bulan tempaan. Selama satu bulan setiap mukmin diwajibkan untuk berpuasa. Mulai terbit fajar hingga terbenamnya matahari, setiap yang berpuasa (shoim) diharuskan mengikuti aturan main yang telah disyariatkan.

Puasa itu berat. Pasti. Hanya orang-orang terpilih yang menjalani puasa dengan ringan dan riang. Bagaimana tidak? Selama satu bulan kita diharuskan untuk merasakan lapar dan dahaga. Kita juga dituntut mengekang keliaran syahwat, nafsu amarah, dan hasrat untuk berbohong juga bergunjing. Bahkan, sesuatu yang jelas-jelas halal harus dibatasi tatkala berpuasa. Kelon dengan istri, salah satunya.

Puasa diperintahkan bukan untuk menebus ilmu kanuragan atau kesaktian. Ada banyak laku puasa yang jamak kita temui. Seseorang berpuasa mutih 40 hari agar kebal senjata tajam. Banyak pula yang berpuasa ngrowot, tidak makan nasi dan semua jenis makanan yang terbuat dari beras, selama 41 hari agar bisa menguasai ilmu atau ajian tertentu. Ada pula yang puasa ngidang, hanya boleh makan buah-buahan, untuk mentirakati ilmu tertentu.

Puasa Ramadan tidak begitu. Justru, puncak ketercapaian puasa Ramadhan hanya satu kata. Ringan diucapkan dan dituliskan, namun berat bobotnya. Yakni Takwa. Sebagaimana termaktub dalam Surat al-Baqarah ayat 183. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan bagimu ibadah puasa, sebagaimana diwajibkan bagi orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa.”

Secara etimologis takwa berarti menjaga, menaati, memerhatikan, dan melindungi. Lalu, secara teologis dapat berarti kesadaran penuh akan keberadaan dan kehadiran Allah SWT diikuti dengan sikap menjalani segala perintah dan menjauhi semua larangan-Nya. Saking pentingnya, pesan untuk bertakwa menjadi salah satu rukun dalam khutbah Jum’at. Ia diulang-ulang oleh khotib setiap kali berdiri di mimbar. Setiap itu pula kita duduk mendengarkannya. Karena, mustahil kita menginterupsi khotib untuk tidak menyampaikannya.

Takwa juga menjadi tolok ukur kemuliaan hamba dihadapan Allah. Di mata Allah, semua umat manusia setara. Ukuran kemuliaan tidak melekat pada pangkat, harta, maupun keelokan rupa. Melainkan pada derajat ketakwaan (QS. Al Hujurat: 13). Dalam surat At-thalaq ayat 2-3 atau kita juga mengenalnya sebagai ayat seribu dinar, Allah menjanjikan jalan keluar dan gelontoran rizki dari arah yang tak terduga-duga bagi orang yang bertakwa. Begitulah takwa, enteng diucapkan dan mudah dituliskan, namun berat dipraktikkan dan berat bobot kemuliaannya.

Saban tahun puasa Ramadan pasti berlangsung, satu bulan penuh kita ditempa dan dilatih mengendalikan diri. Kalau menyaksikan hari-hari kita pascaramadan, sepertinya sedikit sekali yang berhasil menggapai derajat muttaqin, orang bertakwa. Setelah puasa, secara personal, saya masih kerap menuruti nafsu dan abai pada ketidakadilan di depan mata.

Bangsa ini mayoritas berpenduduk muslim. Jadi kita bisa mengukur kualitas bangsa berpuasa ini setelah Ramadan pergi, seperti tahun-tahun lalu. Ibarat mengikuti ujian kelulusan, sepertinya kita telah gagal bersama-sama. Kalaupun Ramadan adalah bulan tempaan dan pembelajaran, sepertinya kita juga tidak berhasil menjadi pembelajar yang gemilang.

Setelah Ramadan, korupsi masih juga tinggi. Eksploitasi atas sumberdaya alam juga makin massif, diikuti dengan menggusur ruang hidup masyarakat dan kerusakan lingkungan yang parah. Penistaan terhadap fakir dan miskin tetap berlangsung saban waktu. Sebagai bangsa, kita juga lebih memilih berbohong dan tak mau mengakui kesalahan atas sejarah kelam masa lalu, tragedi ’65 dan ’98 misalnya.

Kita boleh optimis dan berharap puasa kita bakal diterima dan diganjar dengan derajat muttaqin. Namun, tetap saja diterima atau diganjarnya puasa ada di tangan Allah. Dalam sebuah hadis Qudsi, Allah SWT berfirman, “Puasa adalah ibadah yang diperuntukkan untukku, dan akulah yang akan membalasnya.” Sebagai hamba, kita hanya berusaha segenap jiwa raga. Setidaknya, setelah puasa kita lebih mudah mempraktikkan pengendalian diri agar hidup kian bermakna dan mulia.

Jadi, Saya pikir tulisan ini pun tidak sedang mengurusi puasa orang lain. Saya tidak hendak berlagak jadi hakim atas puasa orang lain. Toh, puasa saya sendiri belum tentu berkualitas dan diterima.

Meski begitu, mari mencipta keheningan di penghujuang Ramadan ini. Tentu, kita berharap bukan termasuk orang yang dikritik oleh Nabi Muhammad sebagai kebanyakan orang yang hanya beroleh rasa lapar dan haus di dalam puasanya. Sebagaimana hadis Nabi: “Kam min shoimin laisa lahu min shiyamihi illal ju’ wal ‘atos (HR Imam Ahmad).

Kita ingin lulus dan mendapat predikat orang bertakwa. Sebagai bangsa, kita juga ingin puasa Ramdan kali ini punya bekas di kehidupan berbangsa kita. Tidak sekadar ritus tahunan yang kehilangan elan vital, serupa peringatan kemerdekaan 17 Agustus di dalam kehidupan berbangsa.

Akhiron, Manusia sempurna, Nabi Muhammad telah bersabda bahwa langit, bumi, dan para malaikat menangis, bersedih atas musibah yang menimpa umat Muhammad SAW. Dan musibah itu tak lain adalah perginya Ramadan. Sekali lagi, lebaran telah melambai-lambai di halaman rumah kita.

Idul Fitri, hari kemenangan bagi ia yang berjibaku menghayati Ramadhan, tinggal menunggu bedug ditabuh. Lalu, turut berduka (ditinggal Ramadan) atau bahagiakah (bertemu hari kemenangan Idul Fitri) kita? Entahlah. Mari bertanya pada keheningan batin masing-masing.