Poster Film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S /PKI yang diproduksi PPFN. (Foto : Wikipedia).
Iklan terakota

Terakota.id – Dulu, film Pengkhianatan G30S/PKI selalu menjadi tontonan wajib setiap 30 September. Pemutaran awalnya dilakukan di gedung bioskop bahkan wajib diputar di televisi nasional. Sebuah film berdasarkan tafsir tunggal rezim Orde Baru tentang tragedi 1965.

Film buatan Perum Produksi Film Negara Indonesia (PPFN) mulai wajib putar sejak 1984 itu berhenti diputar. Tak lagi menjadi tontonan rakyat Indonesia pada 24 September 1998, tepat empat bulan setelah Soeharto tumbang. Pemutaran film dihentikan berdasarkan semangat reformasi dan sejumlah pertimbangan.

Kebijakan itu diputuskan pada masa Presiden BJ Habibie selaku pengganti Soeharto. Diumumkan oleh dua menteri saat itu  yakni Menteri Penerangan Letnan Jenderal Yunus Yosfiah mengumumkan film Pengkhianatan G30S dihapus sebagai kewajiban untuk diputar setiap tahun.

Sedangkan Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono membentuk tim khusus terdiri dari para ahli sejarah. Bertugas memeriksa seluruh buku dan mata pelajaran sejarah. Meninjau ulang mata pelajaran sejarah, terutama yang memuat peristiwa 1965 tersebut.

Fakta itu disampaikan Usman Hamid, Direktur Amnesty Internasional Indonesia dalam acar bincang di program Rossi Kompas TV bertajuk Siapa Mau Nobar Film G30S ? Kamis, 27 September 2018.

Usman menjawab seruan pemutaran ulang film G30S/PKI dan mengembalikan kurikulum mata pelajaran sejarah seperti era orde baru yang kembali bergema. Sekaligus meluruskan logika keliru yang menyebut PKI ada di balik itu semua.

“Jadi, kalau penghentian film itu adalah upaya PKI, justru keliru. Yunus Yosfiah itu Jenderal TNI, Juwono Sudarsono orang terdidik. Kalau disebut itu PKI, tentu tidak benar,” kata Usman.

Usaha mencabut Ketetapan Majelis Permusyawatan Rakyat Serikat (TAP MPRS) Nomor 25 Tahun 1966 juga keluar pada masa Presiden Abdurrahman Wahid. Sebelum menjadi presiden, Gus Dur sebelumnya beberapa periode menjabat sebagai Ketua PBNU. Ormas Islam terbesar di Indonesia.

TAP MPRS itu selama masa Orde Baru jadi digunakan alat untuk membunuh orang yang dituduh anggota maupun simpatisan PKI. tanpa proses peradilan. Anak keturunan para tertuduh itu juga turut merasakan dampak dari aturan itu.

“Gus Dur mengajukan penghapusan karena menganggap TAP MPRS dijadikan dasar diskriminasi pada begitu banyak orang tak bersalah,” kata Usman. Usulan pencabutan itu sendiri tak pernah terealisasi, dan tetap berlaku sampai hari ini.

Pada masa Presiden Megawai Soekarnoputri, ada upaya kembali melarang mereka yang pernah direhabilitasi karena tuduhan PKI untuk ikut pemilu. Melalui pasal 60 huruf g UU nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, DPRD I dan II. Tapi, Mahkamah Konstitusi kemudian menghapus pasal itu karena dinilai melanggar konstitusi, menyimpang dari UUD 45.

Sejumlah warga menonton film penumpasan pengkhianatan G30S/PKI di markas Kodim 1304 Gorontalo, Gorontalo (20/9/2017). Hingga kini, pemutaran film ini tak ada izin dari PFN sebagai pemegang hak cipta film ini. | (Foto : Antara Foto)

Pemerintah Indonesia juga kembali melangkah mundur ke belakang. Perubahan mata pelajaran sejarah di era Presiden BJ Habibie yang menghadirkan buku-buku baru, ditarik kembali di masa Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Pada 2007, Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo dan Kejaksaan Agung saat itu menarik kembali buku sejarah baru sekaligus membakarnya. Kemudian mengembalikan lagi ke buku produk Orde Baru.

“Pembakaran buku atas nama apapun itu adalah pembodohan. Harusnya biarkan saja, jadi pembelajaran,” urai Usman.

Praktik pembakaran buku dan melarang film beredar layaknya yang terjadi selama Orde Baru berkuasa. “Ini kecemasan yang sudah kadaluwarsa, kecemasan yang datang dari paradigma keamanan nasional militer 1960-an di era perang dingin,” ujar Usman Hamid.

Kecemasan yang bersumber dari doktrin keamanan nasional Amerika Serikat yang memimpin Blok Sekutu melawan Blok Soviet di masa perang dingin. Doktrin politik yang memberangun memberangus peluang kepemimpinan pemerintahan berhaluan kiri. Sebuah sudut pandang lain atas peristiwa 1965 dan kudeta terhadap Soekarno.

Bekas Direktur Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) ini pun menyebut TNI sudah sepatutnya berfikir jauh lebih strategis daripada terus mengulang isu lawas. Misalnya dengan membangun pemahaman tentang geopolitik pertahanan global dan regional. Tentang ancaman kedaulatan negara di perbatasan, profesionalitas prajurit sampai mengembangkan alat sistem utama persenjataan (alutsista).