PANEN KOPI. Ma Okon memilih memetik biji kopi yang masak berwarna merah. (Foto : Ajeng Kesuma)
Iklan terakota

Catatan atas Ziarah Kebun Kopi, Edisi : Jelajah Kopi Jawa (Bagian 2)

Oleh : Ajeng Kesuma*

Terakota.id–Kami melanjutkan berjalan kaki menuju kebun Ema yang lokasinya lebih dekat lagi dari rumah, hanya dua menit perjalanan.  Di kebun ini, pohon-pohon kopinya lebih pendek, karena usianya memang lebih muda. Rata-rata usia 2-3 tahun.  Sebagian baru belajar berbuah. Ema dan Iqbal berkeliling mencari biji merah yang tersisa.

Berbeda dengan kebun yang pertama, di kebun ini jarak tanam antara pohon kopi lebih jarang. Sebab, selain kopi Ema juga menanam berbagai jenis sayuran dan tanaman karbohidrat pengganti beras.  Di lahan kecil itu kami menemukan cabai, sayur, waluh, pisang, singkong dan jenis tanaman bumbu masak atau jejamuan.  Sesekali, tak sengaja kami menginjak tanah lembek sekitar tanaman.  Ternyata yang kami injak itu pupuk kandang dari kotoran sapi.

Menurut penuturan ma Okon, ia tak pernah membeli pupuk putih (istilah yang biasa digunakan untuk menyebut pupuk kimia buatan). Awalnya karena Ema tidak punya banyak uang untuk membeli pupuk. Meski pun ada penjual pupuk yang datang ke petani dan memberi utangan, tetap saja Ema gak mau. Akhirnya Ema menggunakan pupuk kandang. Tapi kini, setelah Ema melihat pertumbuhan tanamannya yang sangat baik dengan pupuk kandang, Ema memutuskan tetap menggunakan pupuk kandang. Karena bahan bakunya berlimpah.

Benar saja, ketika kami hendak kembali menuju rumah Ema, tak jauh dari kebun ada dua ekor sapi perah yang sangat besar, yang selalu menghasilkan kotoran/feses. Salah satu sapi tersebut sedang bunting.  Berarti tak lama lagi sapi-sapi Ema akan bertambah. Ma Okon menyerahkan pemeliharaan sapi-sapi tersebut pada adiknya. Termasuk memerah susu dan menjualnya ke koperasi.

Masih ada yang pada saat itu belum sempat kami susuri, yaitu balong ikan. Ema juga memelihara beberapa jenis ikan air tawar di balong miliknya. Sesekali, jika keluarganya ingin makan ikan, mereka menjaring dari balong tersebut.

Saya jadi ingat hidangan makan siang di rumah Ema. Ternyata sebagian dari bahan pangan yang tersaji berasal dari kebun Ema.  Sewaktu berjalan menuju rumah, saya setengah becanda bertanya pada ma Okon, “Ma, upami aya nu ngagaleuh taneuh Ema, kumaha ?” Ma Okon menghentikan langkahnya, sambil menoleh ke saya, ema menjawab: “moal dijual ku ema mah, dahar tina naon atuh, apaan ema teh padaharan na ti kebon”.

Petani yang menerapkan pola bercocok tanam sistem tumpang sari seperti Ema, tentu memiliki ikatan yang sangat kuat dengan tanah garapannya. Sebab tanah garapan itulah ruang hidup si petani,  sumber penghidupan baginya dan keluarga. Mereka memakan apa yang mereka tanam, mereka menanam apa yang mereka makan.

Sholawatan dan Tradisi Menyangrai Kopi

SANGRAI. Iqbal menyangrai kopi di atas tungku dengan bara kayu bakar. (Foto : Ajeng Kesuma)

Lega rasanya, akhirnya setelah ulin ka kebon Ema, kami pun bisa menikmati seduhan kopi sangrai hasil olahan Iqbal. Masing-masing dari kami mencari posisi yang paling nyaman di rumah Ema untuk menikmati kopi. Saya, Alex dan Ozi memilih duduk di teras rumah. Tak lama kemudian kami kembali disuguhi sepiring singkong goreng. Singkong dari kebun Ema.

Di halaman samping, antara rumah Ema dengan rumah Iqbal, terlihat mamahnya sedang  menumbuk kopi gabah menggunakan lumpang kayu. Hentakan alunya yang keras menggetarkan tanah di sekitar lumpang. Suaranya terdengar ritmis. Sesekali hentakan alunya berhenti, Mamah Iqbal membalik biji-biji tersebut, agar gabah yang di bagian bawah terkena hentakan alu dan kulitnya segera lepas.

Sementara di dapur, ada Iqbal yang duduk di depan tungku sedang sangria kopi, ditemani teman kami Yufik yang merekam proses menyangrai.  Tak jauh dari Iqbal, tepatnya di pintu antara dapur dengan ruang tengah, Ema duduk. Perempuan tua itu mengamati cucunya menyangrai kopi, sesekali terdengar dialog antara mereka. Dialog antara nenek dan cucunya.  Dialog tentang kopi, dari hulu ke hilir. Dialog tentang menyangrai.  Sambil mengaduk terus biji-biji kopi di atas wajan, sesekali tangan kiri Iqbal mengatur bara api.

Jika bara mulai meredup, pemuda itu segera membungkuk, meniupkan udara  melalui selongsong paralon kecil.  Aroma kopi sangrai memenuhi ruangan, bahkan sampai ke halaman depan.  Hampir satu jam Iqbal menyangrai, ia mulai siap-siap mengangkat wajan dan menuangkan biji kopi yang berwarna coklat itu ke atas nyiru.  Tangannya sigap menggapai adukan kayu, lalu meratakan biji-biji kopi agar tidak menumpuk di tengah, sehingga panasnya segera menguap.

Menyangrai kopi adalah tradisi yang biasa dilakukan Ema untuk konsumsi kopi keluarga.  Sebelum melihat Iqbal menyangrai, kami sempat menyaksikan proses bagaimana Ema melakukan ritual itu. Kami tak ingin mengusik Ema, tidak ada obrolan. Hanya suara ritmis dari gesekan antara adukan kayu, wajan dan biji-biji kopi memenuhi ruang dapur.  Sesekali kami menangkap mimik wajah Ema yang terlihat tekun, kadang bibirnya bergerak pelan, seperti berbisik, tampaknya Ema sedang merapal doa.

Pada keluarga petani kopi, tradisi menyangrai kopi untuk keluarga biasanya memang dilakukan ibu atau nenek. Proses menyangrai biasanya mereka lakukan sambil shalawatan.  Entah karena mendoakan dan mensyukuri si biji-biji kopi, atau sedang mengisi waktu menyangrai yang cukup lama untuk shalawatan sebagai ibadah tambahan. Tapi ritual itu membuat suasana menyangrai lebih hikmat.

Meski pun hasil akhir sangraian Iqbal berbeda dengan hasil Ema yang cenderung hitam, tapi Ema mengatakan ia senang karena ada cucunya yang meneruskan tradisi menyangrai kopi. Bahkan tradisi itu tidak hanya untuk kebutuhan kopi di rumah, juga menjadi proses pengolahan kopi yang hasilnya dinikmati oleh orang-orang di luar mereka yang membeli kopi sangrai olahan Iqbal.  Kopi-kopi itu, bahkan sudah sampai ke tempat-tempat yang jauh dari Cikajang.  Iqbal kerap mengirimkan kopi sangrai kemasan yang pesanannya datang dari teman-teman atau temannya teman di daerah lain, beberapa bahkan membawanya sebagai oleh-oleh ke luar negeri.

Teman saya, Yufik sempat bertanya, “Iqbal, mau sampai kapan menyangrai? Gak tertarik mengganti dengan alat roasting kopi yang lebih canggih dan modern ?”. Iqbal diam sejenak, sambil senyum ia menjawab, “gimana ya kang, tadinya kepikiran juga pake alat roasting yang lebih canggih, tapi kumaha, saya sudah pakai nama kopi sangrai di kemasan, dan orang sudah pada tahu. Jadi, biar saja saya tetap menyangrai secara tradisional, seperti kebiasaan Ema”.

Diam-diam, saya menyimpan kagum pada keteguhan Iqbal. Pada keteguhannya menjaga tradisi, dengan tetap juga menjaga cita rasa kopi. Sebab tidak ada yang salah dengan menyangrai kopi cara manual, selama teknik yang dilakukan mampu menghasilkan karakter si kopi tersebut. Seperti yang dilakukan Iqbal.

Kopi Sangrai Menghubungkan Rasa

ZIARAH KOPI. Ma Okin dan Iqbal menyambangi kebun kopi. (Foto :Ajeng Kesuma)

Hari mulai petang. Kami harus melanjutkan perjalanan menuju Yogya, sebelum mengunjungi Pak Wakhid di Suroloyo, Kulonprogo.  Kami menutup perjumpaan silaturahmi dengan foto bersama. Kemudian mendekap dan bersalaman dengan Ema, sambil saling menyisipkan doa, agar semua selalu dalam kondisi sehat, kelak bertemu kembali.  Kami tak dapat menyembunyikan kegembiraan, melihat 3 kardus perbekalan telah disiapkan Ema untuk kami di perjalanan. Kecimpring, waluh, pisang, singkong, terong belanda.

Saya juga mengemas tiga bungkus kopi sangrai yang sudah saya pesan sebelumnya pada Iqbal. Kelak, kopi sangrai tersebut beserta kecimpring dari ema akan menjadi tali penghubung antara keluarga Ema, keluarga Pak Wakhid, dan keluarga Pak Sukir. Menjadi penghubung rasa diantara sesama petani kopi. Hatur nuhun, Ema Okon Winara, terima kasih Iqbal Noer Listanto.

Ajeng Kesuma. (Foto : Dokumen pribadi)


*
Pegiat kopi asal Bandung

(Bersambung ke Bagian 3……)