
Terakota.id—Kebebasan berekspresi dan berpendapat di jagad maya terenggut. Sejumlah pegiat pro demokrasi dan aktivis diperiksa gara-gara tulisan dan status di media sosial. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang mencatat selama 2019 ada satu kasus warga Malang ditangkap polisi karena status di media sosial.
“Dia ditangkap, dituduh menghina Presiden,” kata Ketua AJI Malang, Mohammad Zainudin dalam diskusi kelompok terarah bertema kebebasan berekspresi versus kriminalisasi, Senin 28 Oktober 2019. Selain itu, pada 2017 sebanyak dua orang menjadi korban persekusi oknum militer karena status di media sosial.
Selain itu, sejumlah jurnalis mengalami intimidasi, pelarangan dan kekerasan selama menjalankan kerja jurnalistiknya. Pelaku pelarangan dan sensor berita yakni oknum personil kepolisian dan institusi pemerintah. Mereka, katanya, telah menghalangi kerja jurnalis sebagai alat kontrol.
“Kekerasan, dan kriminalisasi bisa dialami siapa saja. Tak hanya jurnalis, bisa siapapun,” katanya. Masyarakat sekarang, katanya, hidup di dunia dua dunia. Yakni nyata dan dunia maya. Sayang dua kehidupan itu sama-sama berbahaya. Perilaku di media sosial harus dijaga, agar tak mengalami kriminalisasi.
UU ITE dan RKUHP berpotensi menjerat jurnalis maupun warganet (netizen). Zainuddin berharap semua pihak bergandeng tangan dan berkolaborasi mengadvokasi perkara kebebasan berekspresi. “Semua rentan mengalami kriminalisasi,” katanya.
Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang, Antoni mengatakan jurnalis dan masyarakat rentan dijerat UU ITE. Perlu kajian serius agar kebebasan berekspresi tidak dikebiri. “Akademisi, praktisi hukum bisa berkontribusi,” katanya.
Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang Himawan Sutanto mendorong literasi media dan literasi digital kepada masyarakat. Agar masyarakat melek media, dan bisa menyaring informasi yang diterima melalui gawai.
“Gerakan literasi digital harus dilakukan. Masyarakat sekarang lebih banyak mengakses informasi dari gawai dibandung media konvensional,” katanya.
Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Universitas Widyagama Malang, Sulthon Miladiyanto menyatakan perlu kerjasama antara pusat bantuan hukum perguruan tinggi dan Lembaga Bantuah Hukum (LBH) untuk melindungi kebebasan berekspresi. “Bila perlu organisasi jurnalis bersatu membentuk lembaga bantuan hukum. Kami siap membantu,” katanya.
Hal senada dikatakan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Universitas Merdeka Malang, Hartarto Pakpahan. Lembaganya, siap membantu bila para jurnalis berperkara atau mengalami kekerasan. “Secara prinsip kami siap membantu,” tuturnya.
Organisasi pers, akademikus, lembaga bantuan hukum dan kelompok masyarakat sipil di Malang berkomitmen membentuk gugus tugas untuk menangani kasus kekerasan. Bertugas memberi perlindungan hokum dan gerakan literasi kepada masyarakat luas.

Jalan, baca dan makan