Terakota.id—Tertarik mempelajari budaya masyarakat adar Osing, mari berjunjung ke Desa Kemiran, Glagah, Kabupaten Banyuwangi. Adat istiadat dan budaya Osing masih dipertahankan. Bahkan sebagian rumah masih mempertahankan struktur rumah Osing. Struktur bangunan warisan leluhur secara turun temurun masih bertahan. Meski sebagian sudah berubah menjadi rumah berdinding tembok.
Salah satunya sebuah rumah yang berdiri sejak lima generasi. Tak banyak perubahan berarti. Semua struktur bangunan dipertahankan. Rumah berumur ratusan tahun ini mencerminkan adat dan budaya Osing. Dinding depan berupa papan atau gebyok dengan ornamen yang khas.
Anyaman bambu menggunakan jenis pipil, karena tebal dan kuat. Hampir semua bangunan menggunakan dinding anyaman bambu atau gedeg. “Dinding rumah dari anyaman bambu, tiga kali renovasi,” kata Adi Purwadi dari Rumah Budaya Osing (RBO).
Sebagian besar struktur bangunan, terutama saka guru atau tiang utama menggunakan kayu benda atau bendo (Artocarpus elasticus). Masyarakat adat Osing lebih menyukai kayu bendo dibanding jati lantaran berat ringan namun kuat. Selain itu, kayu bendo tak mudah mengembang.
Setelah terpasang, meski terkena terik panas matahari dan guyuran hujan kayu bendo tak berubah. Selain bendo, masyarakat osing menggunakan kayu lokal bernama kayu labang. Kayu jenis ini bagus dan cocok digunakan untuk furnitur. Struktur kayu ulet dan kuat, kuat berwarna kekuningan. Seperti kayu besi.
Struktur rumah Osing terlihat berbeda terlihat dari atap bangunan. Terdiri dari rumah tikel balung dengan atap empat, baresan beratap tiga dan crocogan dengan atap dua. Biasanya, kata Adi, atap menggunakan tipe tikel, sedangkan baresan jarang digunakan. Sementara crocogan biasa digunakan untuk bangunan di dapur.
Sementara, ada yang menyebut rumah beratap tikel balung melambangkan penghuninya sudah mapan. Sedangkan baresan melambangkan pemilik cukup mapan, secara materi berada di bawah rumah bentuk tikel balung. Rumah crocogan mengartikan penghuninya merupakan keluarga muda dan atau keluarga dengan ekonomi belum mapan.
Setiap rumah memiliki tempat penyimpanan hasil panen dan lesung atau alat penumbuk padi. Sebagian bagian usaha ketahanan pangan yang diterapkan masyarakat adat Osing. Bagian dalam terdiri dari ruang tamu, sentong.
Ruang tamu terdiri atas meja kursi untuk menerima tamu. Selain itu, sejumlah lemari menjadi etalase atau pajangan aneka gelas, kinangan atau tempat aneka piranti untuk sirih, dan aneka pecah belah. Bagian belakang merupakan dapur dengan tungku berbahan bakar kayu dan menyimpan bahan pangan.
Tradisi Colongan
Di belakang ruang tamu terdapat meja kursi dan amben atau tempat tidur besar. Di sini, orang tua mengamati anak putri yang tengah dikunjungi teman lelakinya. “Orang tua di sentong tugas mengawasi. Tak boleh laki-laki dan perempuan bertemu di luar rumah,” katanya.
Sekangkan tempat tidur juga khas. Sprei penutup kasur berwarna merah dan hitam. Secara filosofi memiliki makna, hitam berarti keabadian dan merah artinya kerja keras dan keberanian. Sehingga diharapkan rumah tangta hidup bahagia, langgeng dan kuat.
Selain itu, masyarakat Osing mengenal tradisi colongan. Orang osing, katanya, mengaplikasikan prinsip demokrasi. Orang tua tak berhak menentukan jodoh. Jika ada lelaki yang tak mendapat izin orang tua bakal membawa pulang calon istrinya. Lantas keluarganya melalui tukang colok atau utusan menyampaikan ke keluarga calon istri, jika putrinya berada di rumah sang lelaki.
“Menyampaikan kabar. Diterima atau tidak?,” katanya. Selanjutnya, keluarga calon istri juga mengirim utusan ke keluarga laki-laki. Bersilarurahmi sembari memberi tanggapan atas colongan tersebut. Biasanya, kata Kang Pur, lelaki bakal diterima. Selama ini belum pernah digagalkan.
Namun ijab Kabul pernikahan tak boleh dilakukan pada bulan sura, pasa, dan mulud sesuai penanggalan Jawa.
Jalan, baca dan makan