
Terakota.id–September tahun ini menjadi September Ceria bagi banyak dari antara kita, atau begitulah yang saya asumsikan. Kenapa demikian adalah karena, setidak-tidaknya, kita dapat sedikit menarik nafas lega dan bersyukur bahwa kita telah ‘berhasil’ melewati gelombang kedua COVID 19 dengan varian Delta-nya yang mengerikan. Gelombang itu telah menghilangkan nyawa ribuan orang. Beberapa dari antara mereka yang meninggal dunia tersebut mungkin dekat dengan kita atau setidak-tidaknya kita kenal.
Walaupun kalangan epidemolog terus memperingatkan mengenai kemungkinan munculnya gelombang ketiga (dan seterusnya) di Indonesia, kita seperti peselam amatiran yang sedang diberi kesempatan untuk muncul ke permukaan dan mengisi ronga paru-paru kita dengan oksigen yang segar. Apakah kita akan kembali diseret ke bawah lagi, rasanya iya. Berapa dari antara kita akan meninggalkan kehidupan di dunia oleh gelombang-gelombang itu, tidak ada yang tahu.
Namun demikian, kelonggaran yang kita nikmati saat ini telah membuncahkan harapan bahwa kita bisa sesaat kembali menjadi manusia ‘normal’, yang bertegur sapa dan berinteraksi secara langsung, lengkap dengan beragam nuansanya, alih-alih sekadar lewat ruang virtual yang dingin dan datar. Maka, berbagai instansi dan perusahaan mulai mengatur dan melaksanakan ‘BDK’ (bekerja dari kantor) atau ‘WFO’ (work from home).
Sekolah pun, mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, mulai berancang-ancang membuka pintu-pintu kelasnya yang ditutup selama setahun lebih untuk menerima murid-murid mereka. Tentu saja, ada batasan tentang berapa persen yang boleh hadir di sekolah atau kantor, tergantung level PPKM tempat sekolah atau kantor tersebut berada. Juga tersedianya fasiltas penunjang kesehatan serta komitmen untuk mematuhi protokol kesehatan secara ketat.
Di balik itu, rupanya terdapat isu seputar ‘BDR’ (bekerja dari rumah) atau ‘WFH’ (work from home) versus ‘BDK’ atau ‘WFO’. Kebiasaan pra-pandemi yang telah ada dan dianggap mengakar, di mana pekerja (khususnya di sektor-sektor formal) diwajibkan bekerja sekitar 40 jam per minggu di kantor atau perusahaan, secara disruptif dan nyaris tiba-tiba direnggutkan oleh keharusan bekerja di rumah demi alasan kesehatan dan pencegahan penularan COVID 19.
Pada awalnya, mungkin ini terasa tidak nyaman dan menuntut berbagai perubahan perilaku dan pembiasaan baru dari berbagai pihak. Namun, seiring berjalannya waktu, dengan semakin membaiknya infrastruktur teknologi informasi, semakin meningkatnya kemampuan menggunakan perangkat dan antarmuka digital, dan melihat banyak manfaat positifnya, termasuk fleksibilitas waktu dan produktivitas, tidak sedikit pekerja yang merasa mulai nyaman dengan BDR.
Menurut survei yang dilakukan oleh YouGov untuk BBC sebagaimana dilansir oleh CNBCIndonesia (16 September 2021), sekitar 70% dari 1.684 pekerja yang menjadi responden menyatakan bahwa mereka lebih memilih BDR daripada BDK, baik dalam pengertian BDR penuh maupun campuran dengan BDK. Alasan yang mendasari mulai dari soal kesehatan (lebih minim paparan terhadap virus), lingkungan hidup (berkurangnya jejak karbon), ekonomi (lebih hemat biaya transport, biaya sosial, dan biaya makan siang), sampai soal produktivitas.
Di sisi lain, para atasan dan manajer mengaku bahwa BDR lebih merupakan ‘penyimpangan’ daripada the norm dan mengkhawatirkan bahwa BDR membuat kreativitas, pengawasan, dan produktivitas pekerja menurun. Dari 530 pemimpin senior yang disurvei, setengahnya menyampaikan hal semacam itu.
Tentu saja, menyimpulkan bahwa para pekerja lebih memilih untuk BDR daripada BDK, sedangkan para manajer lebih menyukai agar pekerja mereka BDK alih-alih BDR karena alasan-alasan masing-masing agak terlampau over-simplifikasi. Apalagi lalu menghadap-hadapkan keduanya. Namun, hasil survei yang dilakukan oleh YouGov ini kiranya dapat dipandang sebagai sebuah kasus praksis sosial dalam pemahaman yang diperkenalkan oleh sosiolog kritis asal Prancis, Pierre Bourdieu (1930-2002).
Praksis Sosial dalam BDR-BDK
Secara pengertian, praksis sosial berarti praktik di lapangan kehidupan yang didasari atau dijelaskan oleh teori sosial. Praksis sosial a la Bourdieu merupakan hasil dialektika yang terus-menerus antara internalisasi eksterior (apa-apa yang dicerap ke dalam dari luar) dan eksternalisasi interior (apa-apa yang diekspresikan ke luar dari dalam) (Faiz, 2020).
Dalam dialektika inilah, muncul istilah-istilah yang kemudian membuat Bourdieu sangat dikenal, tidak hanya oleh kalangan sosiolog tetapi juga pengkaji budaya secara luas. Istilah-istilah tersebut adalah (1) ‘habitus’ yaitu kebiasaan yang membentuk aspek interior seorang pelaku sosial; (2) ‘arena’ yang merujuk pada struktur objektif yang berada di luar diri pelaku sosial; dan (3) ‘kapital’ atau modal yang keberadaan atau kepemilikannya sangat memengaruhi dialektika yang terjadi.
Ketika kita melihat BDR atau BDK sebagai sebuah praksis sosial, kita melihat di dalamnya dialektika antara habitus dan arena yang hasil akhirnya sedikit-banyak ditentukan oleh ada-tidaknya kapital atau siapakah yang memiliki kapital yang lebih kuat atau lengkap. Dalam kasus BDR, habitus yang dikembangkan oleh para pekerja atau nilai-nilai sosial yang mereka hayati sebagai akibat dari proses sosialisasi nilai-nilai tersebut untuk waktu yang lama (dalam hal ini sekitar 18 bulan dari dimulainya BDR pada Maret 2020 sampai September 2021), yang barangkali meliputi, antara lain, fleksibilitas, efisiensi atau penghematan waktu dan biaya, nilai-nilai kekeluargaan, nilai-nilai ekologis atau hijau.
Habitus yang dikembangkan oleh para manajer atau pemimpin dalam arena pandemi ini dan mungkin juga sebelumnya, sementara itu, adalah nilai-nilai kreativitas, kontrol, koordinasi, solidaritas, dan kerja keras. Dalam beberapa hal, habitus yang telah mengurat-mengakar sebagai cara berpikir dan sikap perilaku antara kalangan pekerja dan kalangan manajer atau pemimpin bisa bersinggungan dan berseberangan.
Yang membedakan adalah kepemilikan atau penguasaan kapital antara kedua kelompok tersebut. Ketika kita berbicara tentang kapital atau modal, kita berbicara tentang apa-apa yang memungkinkan diri kita beroleh atau memenangkan kesempatan dalam hidup. Kapital meliputi modal intelektual atau pendidikan, modal ekonomi atau uang, modal sosial atau jejaring, dan modal simbolik.
Secara ideal, pemenang dalam kehidupan sosial adalah mereka yang memiliki habitus yang benar, memilih arena yang tepat dalam pergumulan kehidupan sosial, serta mempunyai kapital atau modal yang memadai dan lengkap. Di dalam kasus BDR atau BDK, siapa pun dengan pemahaman yang mencukupi akan mampu melihat bahwa kelompok manajer atau pemimpin memiliki arena dan modal/kapital yang lebih mendukung kepentingan mereka daripada kaum pekerja.
Arena bisnis atau arena birokrasi atau arena yang pada intinya selalu bersifat hierarkis, di mana manajer atau atasan adalah pihak pengambil keputusan strategis adalah ‘rumah kedua’ bagi mereka dan sekadar ‘rumah singgah’ bagi kalangan pekerja. Berbicara tentang kapital, dilihat dari sisi mana pun, para manajer dan pemimpin memiliki modal intelektual, modal ekonomi, modal sosial dan modal simbolik yang melampaui kepemilikan modal-modal tersebut oleh kaum pekerja.
Dalam hal habitus, bisa jadi, seperti disinggung di atas terdapat irisan sekaligus perpisahan antara kedua kelompok. Bisa jadi, di sinilah atau karena inilah perlu ada negosiasi antara keduanya. Habitus yang sudah dibentuk oleh para pekerja sementara mereka BDR tidak selalu bernuansa negatif atau merugikan bagi perusahaan atau instansi. Beberapa, semisal fleksibilitas, justru merupakan nilai tambah yang perlu ditangkap dan dikapitalisasi demi kemajuan bersama (sekiranya istilah ini memang ada).
Kemampuan mengolah ruang diskusi dan negosiasi dalam lingkup habitus inilah yang kiranya perlu ditunjukkan oleh kalangan manajer dan pemimpin, karena mereka toh juga memiliki modal intelektual yang lebih jos. Dengan demikian, bisa diminimalisasi dualisme distinction-resistance antara kedua kelompok yang pastinya ingin memperjuangkan nasib masing-masing. Timbulnya distinction-resistance mungkin tidak dapat dihindari, tetapi jika benturan antara keduanya terlampau tegas dan keras, yang dirugikan adalah kepentingan bersama. Poin yang terakhir ini, tidak ada dalam buku atau pemikiran Bourdieau mana pun. Ini hanyalah hipotesis saya. Tetapi, saya rasa saya cukup memiliki kapital intelektual untuk itu.

Dosen prodi Sastra Inggris Universitas Ma Chung, penerjemah buku, dan pembaca yang giat.