Ilustrasi (Sumber: http://www.ioti.com/)
Iklan terakota

Oleh: Siti Muniroh*

Terakota.id–Sebuah film dokumenter yang berjudul “Jihad Selfie” karya Noor Huda Ismail (Australia, 2016), seorang pengamat teroris dan terorisme, menyebutkan bahwa ada sekitar 300-an warga Australia yang menjadi calon pengantin bom bunuh diri. Jumlah ini cukup besar ketimbang Malaysia (berjumlah 150-an). Meski masih lebih kecil dibanding Indonesia (berjumlah 500-an), namun bagi saya, jumlah ini betul-betul mengejutkan. Karena Australia adalah negara maju. Dan mengherankan bila jumlah calon pengebom bunuh diri justru melebihi jumlah yang ada di Malaysia.

Noor Huda sendiri dalam film tersebut mengatakan bahwa fenomena ini muncul karena terfasilitasi oleh media sosial seperti facebook, whatsapp, youtube dan lain-lainnya. Facebook adalah media dimana anak-anak muda dapat melihat profil sang pengebom yang sudah wafat dan yang tengah berlatih. Whatsapp adalah media berjejaring mereka untuk kopi darat. Dan youtube adalah media narasi tentang seluk-beluk praktik sang pengebom sebelumnya berguru pada seniornya. Seperti misalnya; cara menggunakan senjata, merakit bom dan praktik latihan lainnya.

Kefanatikan Melalui Media Sosial

Media sosial yang merupakan perangkat kelancaran lalu lintas informasi dunia global sekaligus sebagai anak kandung dari perkembangan ilmu pengetahuan, dapat dipakai dan dikembangkan oleh manusia untuk kegunaan apa pun. Baik kegunaan yang positif, yakni untuk menciptakan kesejahteraan (kebahagiaan) umat manusia. Maupun sebaliknya, yakni untuk melenyapkan umat manusia.

Pada kasus teroris, kiranya, perlu dikaji, bukan pada media sosial itu sendiri (karena ia adalah wadah) melainkan pada sang pemakai. Manusia-manusia yang memakainya untuk menjalankan misi pengeboman, dalam hemat penulis, adalah manusia-manusia yang memiliki kebutuhan akan pegangan. Entah manusia-manusia tersebut bermukim di negara maju seperti Australia maupun di negara berkembang seperti Indonesia. Mengapa dikatakan demikian? Di sini penulis mengutip perkataan Friedrich Nietzsche (filsuf Jerman) yang mencurigai setiap pemikiran; “apa yang sejatinya dimaui seseorang ketika menghendaki sesuatu” (Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, 2004; 171). Nietzsche lantas menambahkan perkataannya, bahwa setiap pemikiran tertentu tidak lain adalah upaya menyembunyikan diri si pemikir sendiri (Setyo Wibowo, A., Nietzsche: Geneologi Kaum Fanatik, Basis, no.03-03, 4).

Apakah gerangan yang disembunyikan? Menurut Nietzsche, yang disembunyikan adalah kebutuhan manusia-manusia tersebut akan suatu pegangan agar hidup dapat diteruskan (Yulius Tandyanto, Kebenaran Adalah Metafisika, Basis, no.03-03, 36). Atau dengan kata lain: agar hidup menjadi bermakna (A. Setyo Wibowo, Basis, no.03-03).

Namun, bukankah hampir setiap orang membutuhkan pegangan? Benar bahwa hampir tiap orang membutuhkan pegangan. Namun tidak semua orang lantas mau melakukan pengeboman karena mereka memiliki alasan lain (penghormatan terhadap kemanusiaan adalah alasan salah satunya). Lantas mengapa sebagian yang lain justru mau melakukannya secara suka rela? Kiranya, dalam pengamatan penulis, kefanatikanlah yang membuat hal ini terjadi.

Kefanatikan adalah ketiadaan akan kebenaran lain untuk dipertimbangkan di dalam diri seseorang. Ketiadaan ini, entah karena minimnya pengetahuan yang dimiliki oleh para calon kombatan sehingga mereka tidak dapat melakukan pembandingan guna menyaring pengetahuan yang baik dan yang tidak baik. Bisa juga bercampur dengan keterpinggiran mereka secara ekonomi (di negara berkembang) dan secara lingkungan (di negara maju di mana kehidupan semakin terindividualisasi sehingga banyak orang terisolir dari manusia-manusia lainnya dan menemukan diri di dalam kebenaran yang didapatkannya dari media sosial). Maupun karena keegoisan diri mereka untuk benar-benar tidak mau membuka diri akan kebenaran lain (bebal).

Kefanatikan pada jenis pertama, biasanya dialami oleh anak-anak muda sebab kondisi kejiwaan mereka masih rentan untuk dipengaruhi oleh ide-ide heroik. Pada kefanatikan jenis kedua, dialami oleh orang-orang dewasa yang sudah memilih kebenaran dan diyakini mereka secara teguh. Kebenaran yang diyakini oleh kedua jenis kefanatikan ini adalah sama yakni kebenaran bahwa mereka akan mendapatkan surga di kehidupan selanjutnya bila mereka ‘berjihad’ untuk membinasakan orang-orang ‘kafir’. ‘Jihad’ dimaknai oleh mereka sebagai protes terhadap ketidakadilan yang terjadi di belahan dunia (dalam pemaknaan jauhnya) dan aksi pelenyapan orang-orang di luar Islam (dalam pemaknaan dekatnya). Lalu ‘kafir’ dimaknai sebagai pelaku ketidakadilan (dalam pemaknaan jauhnya) dan orang-orang non-muslim (dalam pemaknaan dekatnya).

Kiranya, menurut hemat penulis, pemaknaan-pemaknaan lebih jauh di atas adalah argumen-argumen yang memesonakan anak-anak muda kelas menengah terdidik, terutama di kampus-kampus sekuler, yang minim pendalaman agama dan mengimani ajaran-ajarannya sebatas tekstualitas saja. Kondisi ini menyuburkan kemunculan generasi-generasi baru kombatan (http://www.viva.co.id/berita/nasional/217299-mengapa-radikalisme-tumbuh-subur-di-kampus). Dua hal ini dicampurbaurkan oleh para pendoktrin mereka di saat kejiwaan anak-anak muda tengah labil dan membutuhkan pegangan. Apalagi mereka hidup di era modernitas yang serba terindividualisasi. Dimana orang-orang bertindak sendiri-sendiri berdasarkan pengalaman pribadinya (Genosida Dalam Bingkai Modernitas Zygmunt Bauman, Antarini Pratiwi, STF Driyarkara, 2016, 16), misalnya lantaran adanya gawai dan sedikitnya lahan untuk perekatan sosial.

Minimnya Kepedulian dan Bimbingan

Kiranya, uraian ini dapat menjelaskan latar tumbuh-suburnya para agen kombatan di negeri Kanguru. Inilah tantangan dari globalisasi di era teknologi, yaitu ketika dunia semakin terhubung berkat teknologi, yang berarti kemajuan ilmu pengetahuan berkembang namun kepedulian dan perhatian kepada sesama masih minim. Maka yang terjadi adalah penyalahgunaan pemakaian teknologi itu sendiri. Kini, langkah-langkah yang diperlukan tidaklah hanya sebatas pada sensor penyebaran informasi tentang aktivitas jaringan teroris, namun juga pendampingan yang pluralis dan humanis kepada generasi penerus.

Siti Muniroh (Dok.Pribadi)

*Dosen Universitas Islam Raden Rahmat (UNIRA) Malang