Ilustrasi : Peace Train Indonesia
Iklan terakota

Terakota.id–To rob a man of his language in the very name of language: this is the first step in all legal murders (Merampok orang dari bahasanya atas nama bahasa: inilah langkah pertama dari semua pembunuhan legal). Kalimat itu ditulis oleh Roland Barthes mengakhiri artikelnya tentang “Dominici, or the Triumph of Literature” dalam kumpulan tulisannya, Mythologies (1957).

Tulisan Barthes ini dilatarbelakangi pengadilan atas diri Gaston Dominici, pemilik peternakan Grand Terre. Dominici bermur 80 tahun, diadili pada 1952 karena membunuh Sir Jack Drummond, istri dan anaknya. Barthes mengatakan bahwa kita semua berpotensi sebagai Dominici, bukan sebagai pembunuh namun sebagai tertuduh, yang tertindas oleh bahasa para penuduh, dihinakan dikutuk olehnya. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa hukum selalu disiapkan untuk meminjamkan kepada Anda otak cadangan dalam rangka mengutuk Anda tanpa merasa bersalah, dan dia menggambarkan diri Anda sebagaimana seharusnya, bukan sebagaimana sebenarnya.

Semula saya tertarik terhadap pemikiran Roland Barthes ketika saya mulai memiliki minat terhadap kajian intertekstualitas. Akhir 1991 saya menyelesaikan skripsi tentang intertekstualitas Bibel. Dalam kajian intertekstualitas, nama Roland Barthes selalu saya sandingkan dengan Mikhail Bakhtin, Julia Kristeva, Michael Riffaterre, dan Gerard Genette. Dari intertekstualitas saya ingin merambah pemikiran-pemikiran Barthes lainnya.

Dulu pernyataan Barthes dalam “Dominici, or the Triumph of Literature” hanya berlalu saja dalam ingatan pasca membacanya. Waktu itu saya sangat sulit membayangkan bahwa teori-teorinya bisa bersangkut paut dengan kehidupan saya secara pribadi. Dalam banyak hal saya memandang bahwa kalimat-kalimat yang dirangkai oleh Barthes itu cenderung saya tempatkan dalam konteks yang lebih umum, lebih luas, dan menyangkut banyak hal, melintasi contoh kasus yang dikemukakannya. Bahkan hampir semua peristiwa yang menyangkut bahasa, pernyataan Roland Barthes dalam artikel itu akan kita temukan kebenarannya.

Setelah saya mengalami sendiri dan terjebak dalam kasus hukum yang tidak pernah saya ingini, sekali pun tidak sama dalam contoh kasus yang melatarbelakangi tulisan Barthes, saya lebih bisa meresapi betapa kekuatan bahasa melampaui eksistensinya, yang ia ternyata bukanlah sekadar alat. Persekongkolan kekuasaan dengan bahasa menghasilkan kekuatan yang sangat dahsyat.

Selogis apa pun argumentasi kita, seriil apa pun fakta yang kita paparkan, kita tetap akan terlindas oleh kekuatan itu. Kekuatan itu dibantu oleh dan atas nama bahasa, dengan menyuguhkan fakta yang dipoles dengan bahasa pula. Kekuasaan yang saya maksud, tidak melulu identik dengan pemerintah atau penguasa teritorial. Ada kalanya kekuatan pemerintah lebih kecil dibandingkan dengan kekuatan rakyat atau kekuatan kelompok-kelompok tertentu. Kekuasaan itu bisa juga para pemilik modal yang bisa mengatur segala sesuatu dengan uang.

Hal lain yang lebih menyadarkan saya adalah betapa bahasa telah menjalin hubungan erat dengan hukum. Nyaris dalam seluk beluk masalah hukum tak dapat dipisahkan dari bahasa. Selama ini saya memang tidak begitu mendalami bahasa hukum. Bahasa hukum hanya sepintas saya singgung ketika saya memberi kuliah atau mengisi pelatihan jurnalistik saja, namun bukan menjadi bahan kajian yang mendalam.

Penindasan atas nama bahasa tidak sebatas terjadi dalam lingkaran hukum. Bahasa bisa menjadi alat kekuasaan sebagai kekuatan baru menjadikan segala sesuatu sebagai objek yang bisa dideskripsikan, dan lebih jauh diserangnya membabi buta. Bahasa menjadi alat penghakiman kepada siapa saja yang bisa disasar dengan motif-motif yang tak selamanya jelas. Baik di dalam maupun di luar pengadilan, bahasa merelakan dirinya secara fleksibel sebagai representasi kekuasaan, namun sekaligus juga sebagai alat perlawanan. Makin berkuasa seseorang, maka suaranya makin didengar publik, bahkan tanpa syarat. Yang bisa disejajarkan dengan kekuasaan adalah kekuatan masa. Suara terbanyak menjadi syarat bagi berlakunya kebenaran. Yang kecil harus tunduk kepada yang besar. Semua dipoles dengan bahasa.

Pertunjukan kuasa bahasa itu sangat kental akhir-akhir ini ketika kita menyaksikan sejumlah tokoh menolak ucapan selamat yang disampaikan oleh Menteri Agama kepada masyarakat yang beragama Baha’i. Ucapan Gus Yaqut itu hingga kini masih terus menjadi polemik. Bak paduan suara, mereka serempak menghujat Pak Menteri. Terlepas apakah mereka paham atau tidak tentang agama Baha’i, banyak orang turut meramaikan gerakan untuk memojokkan Menteri Agama. Sekali pun Gus Yaqut posisinya adalah Menteri Agama dan dibesarkan dari ormas Islam terbesar di negeri ini, namun ia berani memosisikan sebagai inferior dan mengambil langkah untuk tidak populer. Yang jelas, apa yang dilakukan Menteri Agama telah sesuai dengan konstitusi kita.

Saat ini kita masih dilanda salah kaprah dan budaya latah yang masih saja membuat dikotomi agama resmi dan agama tidak resmi. Bahkan dikotomi itu sengaja dibuat seolah-olah legal sekalipun tidak memiliki landasan hukum yang kuat. Sebuah ironi di negeri Pancasila yang semestinya menjamin apa pun agama dan keyakinannya untuk bebas melakukan ibadahnya, namun justru dalam praktiknya adalah sebaliknya. Ucapan selamat saja dijadikan persoalan yang besar.

Sebenarnya sejumlah elemen masyarakat telah lama mempertanyakan dikotomi agama resmi dan agama tidak resmi itu. Beberapa elemen masyarakat itu juga telah mengajukan uji materi terhadap Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang dianggap biang keladi persoalan ini. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009 disebutkan bahwa “terhadap dalil para Pemohon, yang menyatakan bahwa UU Pencegahan Penodaan Agama diskriminatif karena hanya membatasi pengakuan terhadap enam agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khong Hu Cu, menurut Mahkamah adalah tidak benar, karena UU Pencegahan Penodaan Agama tidak membatasi pengakuan atau perlindungan hanya terhadap enam agama sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon akan tetapi mengakui semua agama yang dianut oleh rakyat Indonesia.”

Nyatanya sampai saat ini Putusan Mahkamah Konstitusi itu belum bisa mengikis budaya latah yang terus menggaungkan bahwa di Indonesia hanya ada enam agama yang resmi diakui oleh negara. Itu artinya bahasa yudikatif formal telah kalah bersaing dengan teriakan lantang yang didukung dengan kekuatan besar sekalipun tidak bermodal landasan yang kuat. Dalam Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 tersebut juga tidak terdapat dikotomi agama resmi dan agama tidak resmi. Bahkan dalam Pasal 1 ditegaskan: “Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain.”

Selain enam agama dalam pasal tersebut disebutkan beberapa agama sebagai contoh yang juga boleh hidup dan mendapatkan jaminan di Indonesia. Pengunaan kata “misalnya” dalam pasal tersebut, membuka peluang seluas-luasnya bagi agama apa saja untuk berkembang di negeri ini. Begitu pula terhadap penghayat kepercayaan, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa terhadap kepentingan masyarakat penganut kepercayaan yang sudah lama hidup di Indonesia, Mahkamah berpendapat, masyarakat penganut kepercayaan adalah masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam meyakini kepercayaannya sesuai dengan jaminan yang diberikan dalam Pasal 28E ayat (2) UUD 1945. Praktik diskriminasi yang dialami oleh masyarakat penganut kepercayaan adalah bentuk dari kesalahan penerapan norma dalam hukum administrasi dan bukan merupakan permasalahan pertentangan norma UU Pencegahan Penodaan Agama terhadap UUD 1945.” Dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut jelas bahwa diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa adalah bentuk kesalahan penerapan norma dalam hukum administrasi. Kita tidak pernah memiliki undang-undang tentang pembatasan agama apa saja yang boleh hidup dan berkembang di Indonesia.

Masih banyak di negeri ini, orang dari kelompok minoritas keagamaan yang belum berani menunjukan identitasnya di muka publik. Mereka belum sanggup menerima resiko sosial dan psikologis jika harus berterus terang perihal apa yang menjadi keyakinannya. Dalam banyak kasus, kelompok minoritas, lebih-lebih yang sudah terlanjur diberi label sesat menyesatkan oleh golongan tertentu, mereka menerima perlakuan buruk dari orang-orang di sekitarnya. Tidak saja mereka mendapatkan diskriminasi di tempat kerja, atau bahkan kehilangan pekerjaan, dalam pergaulan sosial pun seringkali dihindari.

Hari ini barangkali hanya ada dua pilihan saja bagi kita semua, kembali merujuk konstitusi sebagai acuan bernegara ataukah kita membiarkan hukum rimba berlangsung di depan mata. Minoritas dan mayoritas selalu bergeser. Yang saat ini masih minoritas suatu saat bisa menjadi mayoritas, begitu pula sebaliknya. Apakah balas dendam akan kita pelihara dan wariskan buat anak cucu kita? Sangat bergantung pada pilihan kita. Jangan paksakan kepada mereka untuk mengatakan bahwa jengkol itu tidak enak, sementara kita juga suka makan petai.

Tinggalkan Komentar

Silakan tulis komentar anda
Silakan tulis nama anda di sini