Terakota.id—Mata sembab, beberapa kali tangan kanannya mengusap pelupuk mata. Genangan air mata menitik di balik kacamata. Tangannya gemetar saat memegang mikrofon. Suara lirih, keluar dari pelantang suara. Mars Noersmono, 70 tahun, tetap penuh menceritakan masa kelam selama pembuangan di Pulau Buru. Dia merasa lega setelah menyampaikan kepedihan yang dialaminya selama ini.
“Sedikit banyak beban saya sudah hilang. Sekarang saya bisa bicara enak, bicara gamblang,” tutur Mars dalam diskusi buku “Bertahan Hidup di Pulau Buru” di Oase Cafe, Senin 24 Juli 2017. Buku ditulis Mars lengkap dengan sketsa gambar. Mars merupakan salah satu dari sekitar 12 ribu tahanan politik (Tapol) yang dibuang di Pulau Buru.
“Saya diangkut ke Pulau Buru pada periode tahun 1970. Saya masih ingat betul, karena saat itu masih hari wafatnya Bung Karno,” ujarnya.
Mars saat itu berstatus sebagai mahasiswa Jurusan Arsitektur (Teknik Perencanaan) Institut Teknologi Bandung. Pada medio Oktober 1965, dia dijemput anggota Kodim Jakarta. Ditahan di Rumah Tahanan Chusus (RTC) Salemba selama hampir lima tahun, lalu dipindah ke RTC Tangerang. Ia tak paham kesalahan yang diperbuat, sehingga harus.
Statusnya sebagai simpatisan Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang mempunyai kedekatan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). “Seseorang masuk sebagai Tapol ini variatif. Ceritanya macam-macam, ada yang sedikit enak, ada yang tidak enak, ada yang tahu-tahu dipotong batang lehernya. Itu semua terjadi karena tidak ada dasar hukum yang seragam. Tidak ada landasan hukum yang sama,” terangnya
Tak sendirian, Mars Noersmono menyampaikan testimoni dan tulisannya bersama sejarawan dan akademikus, John Rossa sekaligus penulis buku “Dalih Pembunuhan Massal.” John Rossa membenarkan cerita Mars Noersmono. Pada medio 2000-an Jhon Rossa dan tim pernah mewawancarai Mars.
“Pulau Buru itu hampir persis dengan Boven Digul, tempat pembungan zaman kolonial. Bahkan, bisa dikatakan lebih parah. Karena untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari harus bekerja sendiri. Malah sering hasil pertaniannya diambil oleh komandan unit. Mereka tidak mendapatkan hasil dari produksi mereka sendiri,” kata John Rossa.
Mars Noersmono dan kawan-kawannya bekerja dengan alat seadanya untuk membuka lahan persawahan. Kadang harus menggunakan tangan kosong untuk membersihkan semak belukar dan ilalang. “Di Pulau Buru teknologinya tidak ada, alatnya tidak ada. Akhirnya kami membuat teknologi sederhana seadanya,” ujar Mars.
Diskusi semacam ini, menurut John Rossa teramat penting. “Historical clarification itu lebih utama, sebelum proses yudisial.”
Sehingga, peristiwa seperti ini tidak akan terulang. Lantaran ribuan orang ditahan, dibunuh, dan dihukum tanpa proses yudisial dan dasar hukum yang seragam.
Mars terlihat puas, lima puluhan orang hadir dalam diskusi dan bedah buku. Mereka antusias mengikuti diskusi. Bercerita kepada orang lain membuat beban itu hilang. “Biasanya jam delapan malam saya sudah tidur menemani cucu, tapi tidak apa-apa,” ujar Mars kepada Terakota.id saat mengantarnya pulang. Jarum jam menunjukkan pukul 23.30. Lelah terobati setelah peserta berinteraksi, berdiskusi, membeli buku sekaligus meminta tanda tangan.
Asisten Redaktur. Pegiat literasi dan coffee addict
[…] Kata dan Sketsa Tahanan Politik Pulau Buru – terakota.id […]
[…] Kata dan Sketsa Tahanan Politik Pulau Buru – terakota.id […]
anehnya tahun kemaren beliau datang di pulau buru melihat kami anak dan cucu akan tetapi dalam perjalanan antara bandara dan rumah saya ditelfon dan mereka menayaka apakah pak mars sudah sampai di rumah
saya tidak tau telfon itu dari siapa.
tetapi seaampainya di rumah saya sekitar setengah jam kemudian kami didatangi babinkamtibmas dan babinsa
mereka berkata
kalo bapak datang kenapa tidak bilang-bilang dulu
saya jawab” ayah saya bukan artis dan bukan presiden.
ayah saya cuma aki aki tua yang mau datang berkunjung menjenguk anak dan cucu
kebetulan ada 2 orang teman beliau yang ingin melihat p. buru maka dari itu beliau sekalian datang melihat kami