Pemakaman jenazah COVID-19 dimakamkan sesuai protokol kesehatan di TPU Samaan Kota Malang. (Terakota/ Zainul Arifin).
Iklan terakota

Terakota.idMobil ambulans dengan sirine meraung keras tiba di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Samaan, Kota Malang. Sejumlah petugas berbaju hazmat turun menggotong petati jenazah dari ambulans menuju liang lahat yang telah disiapkan. Giliran tim Gugus Tugas Pemakaman COVID-19 BPBD Kota Malang yang bekerja mengurus pemakaman jenazah sesuai protokol pemakaman.

Koordinator Gugus Tugas Pemakaman COVID-19 BPBD Kota Malang Cornellia Selvyana, mengatakan saban hari paling sedikit 10 jenazah dimakamkan sesuai protokol kesehatan. “Pernah sampai 15 jenazah sehari,” ujar Cornellia Selvyana, Rabu, 30 Desember 2020.

Setiap hari, bekerja sampai dini hari. Mereka harus istirahat cukup karena jumlah personil terbatas. Perempuan yang biasa disapa Selvi ini menyebut sepanjang 2020 total lebih dari 700 jenazah COVID-19 dimakamkan. Jumlah itu jauh berbeda dibanding data resmi Satgas COVID-19 Kota Malang, sampai 10 Januari 2021 mengumumkan 508 orang meninggal dunia.

Jenazah yang dimakamkan dengan protokol ketat, katanya, berstatus positif maupun suspek. “Sumber datanya dari Dinas Kesehatan, begitu menerima data, ya, langsung berangkat (memakamkan),” kata Selvi.

Data jenazah pasien positif terinfeksi virus selalu dilengkapi hasil diagnosa kesehatan. Mencakup hasil swab test pertama sampai kedua dan seterusnya bila ada. Sedangkan jenazah pasien suspek disertai hasil laboratorium yang menyatakan positif. Sebagian besar berasal dari rumah sakit. “Kalau hasil laboratorium negatif,  dikembalikan ke keluarganya agar dimakamkan seperti biasa,” tuturnya.

Tim Gugus Tugas Pemakaman biasanya menunggu di tempat pemakaman. Sedangkan pengambilan jenazah dari pemulasaraan di rumah sakit dilakukan tim Public Safety Center (PSC) 119 Dinkes Kota Malang.

Wali Kota Malang Sutiaji menjenguk anggota PSC yang menjadi korban pemukulan saat pemakaman jenazah dengan protokol kesehatan. (Foto : Humas Pemkot Malang).

Bila rumah sakit swasta tak memiliki fasilitas pemulasaraan, proses tersebut dilakukan di RS Saiful Anwar Malang. Sebab sejauh ini baru RS Islam Unisma, RS Universitas Muhammadiyah, RS Islam Aisyah saja, rumah sakit swasta yang memiliki fasilitas pemulasaraan pasien COVID-19.

Proses pemulasaran membutuhkan waktu paling tidak dua jam. Bisa lebih lama jika ada antrian pemulasaraan. Durasi waktu yang dibutuhkan bisa lebih lama lagi, kalau ada anggota keluarga menolak penerapan protokol COVID-19. Sebab harus menempuh negosiasi untuk meyakinkan.

Ironisnya, beberapa kali keluarga mengambil paksa jenazah lantaran menolak pemakaman sesuai protokol. Padahal sosialisasi bahaya COVID-19 gencar digelar. Tak jarang warga ikut berpartisipasi mencegah penyebaran sampar dengan melakukan  desinfeksi lingkungan. Sepanjang 2020, lebih 1.000 titik kawasan disemprot disinfektan. “Tapi begitu ada yang meninggal, menolak pemakaman sesuai protokol. Sering juga kami penuhi permintaan keluarga untuk memakamkan jenazah di TPU dekat rumah mereka,” kata Selvi.

Data Tak Sinkron

Persoalan penanganan COVID-19 di Kota Malang tidak hanya beda data warga meninggal dunia, maupun penolakan pemakaman jenazah sesuai protokol. Masalah lain, pendataan pasien antara rumah sakit swasta, puskesmas dan Dinas Kesehatan tak sinkron.

Fenomena itu berpotensi besar menghasilkan ledakan kasus COVID-19. Apalagi tim medis di fasilitas kesehatan layanan dasar tak sepenuhnya memadai. Jumlah tenaga kesehatan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Malang pada 2018 sebanyak 1.263 dokter (umum dan spesialis) dan perawat 3.028. Seluruhnya tersebar di fasilitas kesehatan, baik puskesmas maupun rumah sakit.

Data pasien positif maupun yang meninggal tak sinkron, ada perbedaan besar di lapangan. Setiap hari jumlah selama 18 September – 7 Desember 2020 pasien terkonfirmasi positif COVID-19 sempat stabil antara 4-9 kasus. Tiba-tiba melonjak pesat antara 40 – 90 an kasus per hari. Jumlah pasien tertinggi pada 13 Desember 2020, ada sebanyak 123 kasus baru.

Wali Kota Malang Sutiaji mengevaluasi kembali pendataan. Serta sinkronisasi data layanan kesehatan. Koordinasi digelar, melibatkan Dinas Kesehatan, puskesmas, rumah sakit pemerintah maupun swasta serta laboratorium kesehatan penyedia tes usap PCR. “Saya meminta semua membuka data sebenarnya. Sebab penyebaran kasus bisa semakin cepat, dengan tingkat kematian sangat tinggi,” kata Sutiaji, Senin, 4 Januari 2021.

Karut marut data menyebabkan ketidakcocokan data antar instansi. Kerumitan dipicu ketiadaan manajemen sistem data dan informasi. Data tak transparan dan tak terkoordinasi dengan baik. Berpotensi penyebaran COVID-19 tak terkendali. “Saya meminta semua lebih terbuka,” kata Sutiaji yang pernah terinfeksi virus pada awal Desember lalu.

Kerap terjadi, pasien masuk dalam data kasus baru positif terinfeksi, meski tes di laboratorium dilakukan satu bulan silam. Ada pula pelacakan gagal menemukan pasien sesuai alamat yang tertera dalam kolom isian formulir tes usap. Diduga mencantumkan identitas palsu, bisa pula dirahasiakan rumah sakit sesuai permintaan pasien.

Kepala Puskesmas Arjuno Ida Megawati mengatakan sumber data pasien positif berserakan tak terkoordinasi. Bisa dari hasil tracing petugas puskesmas, informasi masyarakat maupun data resmi rumah sakit yang disampaikan ke Dinas Kesehatan. Semua belum tentu terverifikasi menjadi satu data besar bersama.

Ia mencontohkan, ada informasi masyarakat soal warga yang bekerja di Surabaya pulang ke Malang berstatus positif COVID-19. Data pasien bisa lebih lama dilaporkan ke Dinas Kesehatan. “Karena kami lebih fokus dulu ke pelacakan kontak pasien, jadi bukan menahan datanya,” kata Ida, Selasa, 12 Januari 2021.

Ia mengakui sistem data dan informasi tak terkonsolidasi. Pasien yang menjalani tes mandiri, juga tidak terdata dan sulit dikontrol oleh pemerintah. Tak menutup kemungkinan, pasien tanpa gejala tak benar-benar menjalani isolasi mandiri serta lolos pengawasan tim kesehatan.

Situasi itu bisa terjadi di semua wilayah dan puskesmas dengan segala keterbatasannya. Puskesmas Arjuno sendiri hanya bisa mengambil spesimen dahak. Itu pun hanya ada seorang petugas analis kesehatan dengan kemampuan mengambil sampel. Kewalahan, bidan dan perawat puskesmas dilibatkan mengambil sampel swab test. “Petugasnya ya learning by doing saja. Mau bagaimana lagi, situasi sekarang seperti ini,” kata Ida.

Puskesmas Arjuno mulai aktif mengambil sampel pasien swab test sejak September 2020. Setelah terbit surat edaran dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur tentang pembagian peran dalam percepatan penanggulangan pandemi COVID-19. Surat berisi target minimal 1 tes per 1.000 penduduk per minggu. “Kalau di puskesmas kami ditarget 37 pengambilan sampel per minggu. Dalam satu bulan bisa antara 100 sampai 200 pengambilan sampel,” ucap Ida.

Petugas mengambil sampel cairan hidung dan tenggorokan dalam uji usap atau swab test di Labkesda Kota Malang. (Terakota/ Eko Widianto).

Fokus pengambilan sampel berasal dari kontak erat dengan gejala klinis maupun punya komorbid. Serta pasien yang datang ke puskesmas bergejala klinis. Ruang pelayanan pemeriksaan pasien infeksi saluran pernafasan (ISPA) diubah jadi ruang pengambilan sampel. Seluruh alat disediakan Laboratorium Kesehatan (Labkesda) Kota Malang.

Puskesmas hanya bertugas mengambil sampel pasien, lalu dibawa ke RS Akademik Universitas Brawijaya dan RS Lavallete Malang untuk uji laboratorium. Hasilnya, disampaikan ke dinas kota lalu diteruskan ke puskesmas. “Kalau pasien hasil pelacakan puskesmas itu lebih mudah pendataannya,” ujarnya.

Kapasitas Pengujian

Saat ini terdapat lima rumah sakit yang dilengkapi laboratorium pelayanan tes usap. Diantaranya RS Lavallete dan RS Akademik Universitas Brawijaya Malang. Dua rumah sakit di Kota Malang ini mempunyai polymerase chain reaction (PCR) sendiri, masing-masing berkapasitas 80 pengujian per hari. Lalu RST Soepraoen berkapasitas 40 an sampel.

Sedangkan RS Saiful Anwar Malang diperkirakan mampu menguji ratusan sampel per hari. Melayani pasien dari berbagai daerah di sekitar Malang Raya. RS Persada juga punya mesin PCR sendiri. Ada tiga laboratorium swasta melayani pengambilan sampel, lalu mengirimnya ke grupnya di luar Malang untuk pengujian sampel. “Kapasitas itu sudah cukup bagus dibanding pada awal pandemi,” ujar juru bicara Satgas COVID-19 Kota Malang Husnul Muarif, Kamis, 7 Januari 2021.

Pemkot Malang pada Agustus 2020 menerima bantuan alat tes usap PCR dari sebuah perusahaan swasta. Mesin ditempatkan di RSUD Kota Malang, namun sampai pertengahan Januari 2021 tak kunjung dioperasionalkan.

kota-malang-keluar-zona-merah-covid-19
Wali Kota Malang Sutiaji menerima bantuan PCR dari PT HM Sampoerna di Balai Kota Malang. (Terakota/Eko Widianto).

Anggaran untuk mengaktifkan mesin tes PCR disediakan APBD Kota Malang 2020 sebesar Rp 1,4 miliar. Tenaga medis untuk mengoperasionalkan mesin itu baru selesai dilatih pada Desember silam. Setelah sumber daya manusia, reagen dan fasilitas lainnya terpenuhi, muncul masalah baru.

“Ada masalah pada internal kontrol untuk syarat validitas hasil tes. Masih kami konsultasikan ke pabrikannya,” ujar Husnul Muarif yang dilantik sebagai Direktur RSUD Kota Malang pada Desember silam.

Ia berharap problem teknis bisa terselesaikan sebelum akhir Januari. Mesin berkapasitas 34 pengujian sampel tes pasien bergejala sekali running. Tapi bila situasinya mendesak, bisa sampai dua kali running. “Kami lihat dulu nanti seperti apa,” ucap Husnul.

Mesin itu diprioritaskan melayani tes pasien bergejala yang dirawat RSUD Kota Malang. Sampai pekan pertama Januari, dari 49 ruang isolasi telah merawat 32 pasien. Serta untuk tes 90 pasien tanpa gejala, yang isolasi mandiri di rumah karantina di Jalan Kawi.

Karena kasus terus meningkat, tak semua pasien warga Kota Malang dirawat RSUD Kota Malang maupun Rumah Karantina Jalan Kawi. Bisa dibawa ke RS Lapangan Idjen Boulevard di Polkesma Malang. Bersama pasien dari daerah lain. RS Lapangan diresmikan Pemprov Jawa Timur pada 16 Desember 2020, dari 306 tempat isolasi sudah terisi 200 an pasien.

Karut marut pendataan pasien, lemahnya pengawasan pasien sampai belum maksimalnya kapasitas pengujian berpotensi menimbulkan penyebaran COVID-19 tak terkendali. Apalagi banyak kelompok rentan sakit parah dan bisa berujung kematian bila terinfeksi virus.

Badan Kesehatan Dunia atau WHO menyebut ada beberapa kelompok rentan. Mulai dari orang lanjut usia dan orang komorbid atau punya penyakit penyerta seperti hipertensi, gangguan jantung, diabetes sampai masalah pernafasan akut. Pasien dengan komorbid juga tak direkomendasikan menerima vaksinasi.

Mengutip data Kota Malang Dalam Angka 2020 dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Malang, pada 2019 populasi penduduk di kota ini sebanyak 927.285 jiwa. Dari jumlah itu, total ada 168.342 jiwa sudah lanjut usia.  Berusia 50 tahun sampai 65 tahun ke atas.

Masih berdasarkan data yang sama, untuk jumlah kasus penyakit terbanyak ada di Kota Malang pada 2019. Gangguan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) sebanyak 15.736 kasus, hipertensi sebanyak 13.102 kasus, diabetes militus 9.214 kasus.

Selain itu, berdasarkan data Dinkes Kota Malang hingga Januari 2019, ada 2.218 pasien penderita TBC. Serta 4 ribu kasus HIV/AIDS yang juga masuk kelompok berisiko tinggi bila terpapar COVID-19. “Akan sangat beresiko bila kelompok rentan ini terpapar virus corona baru. Tenaga kesehatan kita tentu akan riskan bila terus dipaksa bekerja dengan situasi yang semakin sulit,” ujar Husnul.

Jumlah fasilitas layanan kesehatan di Kota Malang sendiri belum begitu memadai. Ada sembilan rumah sakit umum dan 17 rumah sakit khusus seperti rumah sakit bersalin. Juga ada 16 puskesmas yang tersebar di seluruh kecamatan.

Strategi Penanganan Tak Fokus

Ketua Tim Monitoring dan Fasilitasi Kampung Tangguh COVID-19 Universitas Brawijaya Malang Unti Ludigdo menyebut sengkarut penanganan pandemi ini sudah diprediksinya sejak jauh hari. Sebab sejak awal tampak tak ada fokus strategi penanganan.

“Perdebatan apakah mendahulukan kesehatan atau ekonomi membuat ketidakjelasan arah penanganan,” ujar Unti yang juga Ketua Satgas COVID-19 Universitas Brawijaya, Jumat, 8 Januari 2021.

Penanganan pasien pun tak berjalan maksimal, ditambah perilaku masyarakat mulai abai dipicu ketidakjelasan strategi penanganan. Dampaknya, tugas tim kesehatan dalam melacak pasien jadi lebih berat. Mengidentifikasi siapa sesungguhnya yang positif dan potensi penularannya semakin sulit. “Apalagi tenaga kesehatan dan daya tahannya sangat terbatas. Fasilitas kesehatan tak mencukupi di tengah situasi tanpa kepastian ini,” ucap Unti.

Wali Kota Malang, Kepala Kepolisian Resor Malang Kota dan Komandan Kodim 0833/Baladhika Jaya memantau penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di kantor perwakilan Bank Indonesia Malang. (Foto : Humas Pemkot Malang).

Protokol kesehatan tak sepenuhnya dijalankan oleh masyarakat karena hanya dinilai sebatas imbauan. Tak diimbangi penegakan dan ketegasan oleh instansi berwenang. Koordinasi antar instusi pun tak berjalan dengan baik. “Pola koordinasi antara Dinkes dan BPBD atau Dinkes dengan puskesmas dan rumah sakit tak linier, tak sesuai yang kita harapkan,” ujar Unti.

Fenomena itu bisa terjadi di berbagai penjuru kota. Apalagi pemerintah daerah tak berani membuat terobosan kebijakan. Sebab bila menempuh langkah yang berbeda dengan strategi pemerintah pusat, khawatir ditegur. Pemkot Malang misalnya, saat berencana penguncian wilayah malah ditegur pemerintah pusat. “Pemerintah daerah sekarang cenderung menunggu kebijakan pusat, malah meminta kebijakan yang lebih longgar,” katanya.