Dua orang warga Tengger beradu cambuk dengan menggunakan rotan saat berlangsung ritual Ojung-ojungan di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Malang, Jawa Timur 13 September 2017. Ritual penutup perayaan Hari Raya Karo tersebut dipercaya untuk mempererat hubungan kekeluargaan dan menjauhkan dari hal-hal yang memicu terjadinya perpecahan warga Tengger. (Terakota.id/Aris Hidayat).
Iklan terakota

Terakota.id–Pagi menyapa, udara semilir menyentuh kulit. Jam menunjukkan angka 05.30 WIB, jurnalis Terakota.id bergegas meninggalkan Kota Malang menuju Desa Ngadas Kabupaten Malang. Berjarak sejauh 32 kilometer. Ngadas merupakan salah satu permukiman suku Tengger yang terletak di bawah lereng Semeru. Dibutuhkan waktu selama dua jam, jalan berkelok dan menanjak menjadi perjalanan terkesan lamban.

Memasuki Desa Gubuk Klakah, tepat berada di bawah Desa Ngadas. Udara semakin dingin, sepanjang jalan terlihat pemandangan indah. Aneka pepohonan dan sayuran menyapa terlihat sepanjang mata memandang. Matahari yang mengintip di celah Gunung Bromo juga terlihat indah. Berkunjung ke Ngadas untuk mengikuti upacara Karo.

Memasuki gapura Desa Ngadas,  terlihat sejumlah  petani berjalan beriringan mengenakan pakaian dibalut sarung yang terikat di pinggang. Itulah  pakaian khas  masyarakat  Tengger. Tangan mereka membawa tas kresek berisi bunga setaman dibungkus daun pisang. Bergegas mereka berjalan menuju pemakaman umum Desa Ngadas, untuk nyekar dan berkirim do’a kepada leluhur dan saudara.

“Mangga mas menawi badhe tumut kula ten pesarean (mari mas kalau mau ikut saya ke makam),”  tutur Rebat, salah seorang warga Ngadas.  Dalam  budaya Tengger, beragam ritual dilakukan secara turun temurun.  Tak Hanya Yadnya Kasada,  masyarakat yang tinggal di lereng  Bromo-Tengger-Semeru Jawa Timur ini memiliki  tradisi tahunan upacara Karo.

Karo dilaksanakan sebagai  bentuk penghormatan kepada leluhur, ritual untuk menolak balak . Serta menjauhkan dari bencana sekaligus malapetaka serta wujud syukur kepada sang pencipta atas hasil bumi dan rejeki yang di berikan selama ini.

Tepat pukul 08.00 WIB, perjalanan berlanjut menuju rumah Kepala Desa Ngadas. Warga setempat menyambut dengan ramah, mempersilahkan tamu  untuk mencicipi jajanan dan makanan di rumah mereka.

Jajanan berupa kue kering, buah-buahan, nasi dan lauk pauk tersaji rapi di ruang tamu. Penganan ini siapkan sengaja disiapkan untuk menjamu tetamu warga maupun tamu dari luar kota. Di dapur para perempuan Tengger  tampak sibuk mempersiapkan  sesaji untuk ritual upacara Karo.

Merapal Doa untuk Sesaji

Dukun memimpin doa saat upacara sedekah pangonan di depan rumah kepala Desa Ngadas. (Terakota.id/Aris Hidayat).

Mentari mulai beranjak naik, para perempuan desa mulai bergerak  menuju rumah Kepala Desa Ngadas. Mereka membawa sesaji  berupa jajanan, nasi, lauk pauk, serta pisang, ditata dalam sebuah wadah yang dibungkus kain. Sesaji ini terbungkus rapi untuk didoakan.

Bungkusan sesaji tertata rapi di halaman rumah Kepala Desa Ngadas. Para warga yang didominasi kaum perempuan, mulai merapat. Mereka berdiri dan ada juga duduk beralas tanah. Suasana mulai hening,  saat mantra doa mulai dibacakan.

Ritual Doa dipimpin oleh Pak Sepuh yang didampingi oleh dua dukun Adat, Kepala Desa, Legen atau asisten  dukun dan juga perangkat Desa. Kalimat doa menggunakan bahasa Jawa, kromo Inggil. Doa berisi 27 bait dibacakan nyaring di hadapan kaum perempuan desa yang hadir.

Dukun Adat Tengger Desa Ngadas, Sutomo mengatakan, ada empat unsur yang tidak dapat di tinggalkan dalam mantra persembahan  di Upacara Karo. Yakni Bapa Kuasa (Sang Pencipta), Ibu Pertiwi , Pedanyangan (Pelindung Desa) dan sumber air.

“Upacara ini kita sebut  dengan sedekah Pangonan. Sudah menjadi adat tradisi  turun-temurun “ kata Kepala Desa Ngadas Mujianto, 44 tahun, di rumahnya.  Alam dan pegunungan Tengger  telah  memberikan rezeki kepada anak turun suku Tengger. Sedekah Pangonan ini bentuk rasa syukur kepada alam, tempat mencari rezeki  yang di anugerahkan oleh Yang Maha Kuasa.

Usai mengucap doakan untuk sesaji, warga kembali ke rumah masing-masing. Mereka menyiapan Nyadran atau ziarah kubur. Sesaji kembali dibagikan kepada masyarakat sekitar. Sedangkan sebagian menjadi taping atau sesembahan untuk kebun, ternak dan sawah, yang menjadi sumber kehidupan .

Warga mulai berduyun-duyun menuju makam Desa. Mereka membawa aneka makanan dalam rantang bersusun yang berisi nasi, lauk pauk dan buah-buahan. Sebagian mengenakan pakaian pengikat kepala dan mengalungkan sarung di lehernya. Beberapa lainya mengenakan pakaian serba baru layaknya Hari Raya Idul Fitri untuk umat Islam.

Satu Keluarga berkumpul di makam leluhur masing-masing . Sebagian membawa payung untuk melindungi dari terik matahari dan juga tikar sebagai alas tempat duduk. Sementara dari rumah kepala desa, beriringan para pemimpin adat dan perangkat desa berjalan menuju makam desa. Disusul iring-iringan tabuhan dan seni jaran kencak (jaran joget) khas Tengger, dan rombongan warga. Jarak makam dari rumah Kepala Desa Ngadas kurang lebih sekitar 500 meter.

Rombongan pemimpin adat dan  perangkat desa langsung menuju makam, untuk merapalkan doa dalam upacara Nyadran.  Doa bersama dipimpin dukun adat, Sutomo, 57 tahun. Doa di panjatkan sesuai dengan agama dan kepercayaaan masing- masing warga.  Setelah selesai berdoa satu persatu warga mulai membuka rantang berisi makanan dan makan bersama di atas makam leluhur mereka. Lantas, mereka meninggalkan makam leluhur kembali ke rumah masing-masing.

Tarian Ojung Penutup Upacara Karo

Menjelang Sore, warga tengger yang di domiasi kaum lelaki berkumpul menggelar ritual ojung. Sebuah tarian khas Tengger. Satu persatu  warga mulai berkumpul di halaman rumah Kepala Desa Ngadas. Salah seorang warga membawa belasan rotan yang di persiapkan untuk ritual adu cambuk rotan. Beberapa warga lain tampak mempersiapkan alat musik  tradisional jidor dan kenong. Alat musik ini di gunakan untuk mengiringi ritual Ojung.

Alat musik mulai ditabuh, warga Tengger mulai anak-anak, dewasa hingga manula berkumpul meriung membentuk sebuah arena pertarungan. Dua orang laki-laki melepas kaus dan masing-masing mengambil sebatang rotan. Mereka bersiap untuk beradu pukul.

Diawali dengan berjabat tangan mereka bersiap memukul dengan rotan secara bergantian.  Warga bersorak adu cambuk rotanpun bergolak. Luka, memar bekas cambukan rotan tak terelakkan. Membekas menghiasi tubuh. Tetapi bukan rintihan kesakitan, mereka justru terdengar gelak tawa.

“Supaya rukun kita beri contoh, begini lo hasilnya kalau bertengkar, akan menimbulkan luka yang menyakitkan, “ kata kepala Desa Ngadas, Mujianto. Ritual Ojung merupakan penutup perayaan Hari Raya Karo. Ritual ini dipercaya untuk mempererat hubungan kekeluargaan dan menjauhkan dari perpecahan warga Tengger.

“Kalau ada permasalahan kita selesaikan dengan musyawarah, secara kekeluargaan. Ttidak perlu dengan kekerasan,” tambahnya.

Hari Raya Karo berlangsung selama 15 Hari . Mulai tanggal  7 hingga 22 bulan Karo (Karo dimaknai sebagai bulan kedua dalam kalender Saka). Hari Raya Karo bagi suku Tengger Desa Ngadas merupakan perwujudan syukur atas berkah yang diberikan sang pencipta dan penghormatan kepada para leluhur.

Upacara Karo yang pertama dimulai 30 Agustus 2017  sesuai penanggalan Masehi. Upacara karo dimulai hari ke tujuh atau ritual pingpitu (ke-tujuh) pertama, ritual pingpitu atau kaping pitu pertama.  Tujuannya untuk mengundang arwah leluhur.  Warga menyiapkan sesaji selama tujuh  hari di rumahnya.

Berikutnya tanggal 11 bulan Karo (4 September 2017) dilanjutkan dengan upacara Prepekan. Upacara bertujuan untuk ngaturi atau memberitahukan kepada danyang (Pelindung desa),  menghormati sumber air dan kemudian kekramat (ziarah makam) Mbah Sentik , leluhur desa setempat.

Selanjutnya tanggal 12 bulan Karo  (5 September 2017) dilaksanakan upacara Kauman, atau makan bersama seluruh warga desa di rumah Kepala Desa. Kemudian malamnya dilanjutkan dengan acara tayuban.  Keesokan harinya tanggal 13 Bulan Karo (6 September)  berlangsung upacara ritual tumpeng gedhe. Warga Ngadas membawa sesaji berupa makanan di kumpulkan jadi satu, seorang dukun setempat mengantar ritual doa. Usai dirapalkan doa, sesaji  menjadi rebutan warga.

Tumpeng gedhe bertujuan mengembalikan arwah leluhur yang telah di undang saat upacara pingpitu pertama. Setelah ritual tumpeng gedhe dilaksanakan upacara Sesanti dan ngrowan yakni silaturrahmi unjung sana bertemu antar warga Tengger bertamu ke semua rumah warga.

Tanggal 20 bulan Karo (12 September 2017) malam  dilaksanakan ritual pingpitu kedua dan keesokan harinya 21 bulan Karo (13 September 2017) dilaksanakan ritual sedekah pangonan, sadranan dan di tutup dengan ritual Ojung.

Tiga Agama Berdampingan  dalam Adat Budaya

Sejumlah warga tengger meletakkan sesaji berupa bunga setaman di pintu masuk makam saat nyekar di makam leluhurnya. (Terakota.id/Aris Hidayat).

Keturunan suku Tengger  tersebar di 48 Desa di empat Kabupaten, meliputi Lumajang, Probolinggo, Pasuruan dan Malang.  Sementara populasi  suku Tengger yang berada di Desa Ngadas Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang berjumlah 512 kepala keluarga dengan total 2.026 jiwa.

Desa Ngadas berada di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Mayoritas penduduknya merupakan warga keturunan suku Tengger Gunung Bromo.  Berada di ketinggian 2200 meter di atas permukaan laut (mdpl). Desa Ngadas tercatat sebagai salah satu desa tertinggi di Pulau Jawa.

Tiga agama tumbuh dan berkembang  dalam masyarakat Tengger Desa Ngadas. Dari total warga sebanyak 2026 jiwa, 50 persen memeluk agama Budha, 40 persen Agama Islam, dan 10 persen agama Hindu.  Semua hidup rukun dan berdampingan. Meskipun dengan agama dan kepercayaan yang berbeda-beda, dalam perayaan Hari Raya  Karo, semua berkumpul dan merayakan bersama-sama.

“Adat dan Budaya ini bukan milik satu agama. Agama apa pun dapat berkembang asalkan bisa menghormati dan mematuhi adat yang ada, “kata kepala Desa Ngadas, Mujianto.

Menurut cerita yang beredar di masyarakat  Ngadas. Arti kata Karo yang berarti kedua-duanya dimaksud adalah cerita tentang abdi kanjeng nabi dan abdi dari Aji Saka. Mereka di beri amanah oleh pemimpinya. Utusan kanjeng nabi, yakni  di perintahkan untuk mengantarkan benda pusaka langsung kepada Aji Saka. Sementara abdi Aji Saka di perintahkan untuk menerima Benda Pusaka mewakili Aji Saka.

Keduanya berselisih paham  dan saling mempertahankan  amanah pemimpinya. Dalam perselisihan tersebut  terjadi sebuah pertikaian dan keduanya sama-sama gugur.  Kemudian muncullah istilah Setya-Setuhu yang berarti, “addi yang setia dan patuh pada amanah sang pemimpin”.

Berawal dari sinilah kemudian upacara Karo dilestarikan oleh warga Ngadas agar terhindar dari  musibah karena kesalah pahaman.  Seperti pepatah mengatakan, “kalah jadi abu, menang jadi arang.” Artinya yang menang atau kalah sama-sama tidak mendapat keuntungan apa-apa.