
Terakota.id– Ratusan monyet ekor panjang (macaca fascicularis) bergelantungan di pohon, melompat dari dahan satu ke dahan lain. Mencari makan dedaunan dan buah-buahan, sekaligus bermain. Monyet bergerak berkelompok, populasinya diperkirakan sekitar 500 ekor tersebar di Dusun Kampung Pitu Desa Nglanggeran Wetan Kecamatan Pathuk Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta.
Koloni monyet menempati kawasan di atas bukit Nglanggeran setinggi sekitar 625 meter di atas permukaan laut (m.dpl). Populasi monyet jauh lebih banyak dibandingkan manusia yang mendiami kawasan itu. Total sebanyak tujuh kepala keluarga berjumlah14 jiwa yang tinggal di Kampung Pitu.
Mereka mendiami tujuh rumah yang berdiri di sekeliling mata air Guyangan. Permukiman sudah ada sejak ratusan tahun silam, mereka mendiami kawasan sampai tujuh generasi. “Kami semua yang di sini adalah keluarga,” kata Sugito, 40 tahun.
Sugianti merupakan anak dari Yatnorejo, 70 tahun. Dulu, katanya, mbah Wiro Kromo leluhur kami tinggal di sini sambil berujar, kampung ini akan ditinggali oleh empu pitu. Sejak itu penghuni di sini selalu hanya tujuh kepala keluarga saja. “Sejak saat itu hanya tujuh keluarga,’ kata Sugito.
Kampung Terpencil di atas Bukit

Sebuah bukit tersusun dari batuan andesit berusia puluhan juta tahun tepat, di atas Gunung Purba Nglanggeran. Di sanalah Kampung Pitu berada. Untuk menuju dusun di bawah, warga Kampung Pitu harus menuruni bukit bermedan berat. Curam dan harus melewati rimbunnya hutan belantara.
Saat ini, akses menuju puskesmas terdekat ditempuh sejauh 6 kilometer di kaki gunung. Sampai saat ini, tak ada lampu penerangan jalan di sepanjang jalan. Jika malam, jalan gelap dan medannya curam. Akses medan yang berat menyebabkan banyak saudaranya yang tak betah tinggal di Kampung Pitu.
Mereka memilih keluar kampong, bekerja dan tinggal bersama suami atau istri di dusun lain. Warga setempat percaya mereka yang bertahan merupakan orang terpilih. “ Kami jauh dari hiburan, tak ada orang jual makanan atau supermarket di sekitar sini,” ujarnya.
Untuk memanen hasil bumi seperti singkong, dan padi mereka harus berebut dengan ratusan monyet. Sehingga hanya yang kuat dan orang terpilih yang tetap bertahan. “Jika cocok dengan danyang (penunggu gaib) di sini yang betah tinggal,” ujar Yatnorejo.
Dari enam anak Yatnorejo, hanya Sugito anaknya yang telah berkeluarga dan memilih tinggal di Kampung Pitu. Empat anak lainnya pindah mengikuti suami. Sementara anak bungsu Yatno masih tinggal serumah karena belum berkeluarga.
Tujuh rumah masing-masing dibangun dengan gaya bangunan limas. Berlantai tanah dan dinding anyaman bambu. Tak jauh dari tempat tinggal terdapat kandang untuk ternak kambing dan sapi serta ungas.
Warga lain, menganggap kampung pitu merupakan tempat angker dan keramat. Tak banyak warga asing yang berani naik tanpa ditemani pemandu. Tradisi merayakan ulang tahun sudah terjadi sejak ratusan tahun sebagai tanda syukur.
Warga Kampung Pitu ikut menjaga kelestarian satwa dan lingkungan sekitar. Setiap tahun mereka menggelar pesta syukuran dengan tradisi tingalan. “Kami beryukur bertambah usia. Sambil berdoa dengan tumpeng,” katanya.
Jadi Tujuan Wisata

Sejumlah pengunjung rela bermalam di rumah warga Kampung Pitu atau berkemah di lapangan rumput pegunungan. Selain berinteraksi dengan warga setempat, juga untuk mengejar fajar dan senja. Udara sejuk dan pemandangan puncak gunung yang menawan, menambah daya tarik Kampung Pitu.
Pengelola kawasan wisata menyebut saat akhir pekan jumlah pengunjung Kampung Pitu mencapai ratusan orang. “ Kebanyakan berkemah di sini,” kata pengelola kawasan, Wagiman.
Sekitar permukiman terdapat mata air Guyangan, dipercaya tak pernah surut sepanjang tahun. Warga mempercayai, air dari sumber mata air ini dahulu digunakan memandikan kuda sembrani. Yakni kuda tunggangan bidadari yang mandi di sumber Comberan, tak jauh dari Guyangan.
Kini mata air tersebut tetap digunakan sebagai sumber air untuk memenuhi kebutuhan warga Kampung Pitu. Lahan yang subur dan air yang cukup membuat warga tak kesusahan menanam padi di atas bukit.
Penduduk Kampung Pitu tak pernah melarang siapapun selain keturunan mbak Wiro Kromo untuk tinggal di perkampungan setempat. Namun, justru banyak pengunjung yang mengaku tak betah karena sakit, atau tak kerasan.”Kewajiban kami menjalankan dan menjaga pesan leluhur,” ujarnya.
Tata cara dan tradisi berlangsung turun temurun hingga ratusan tahun. Seperti syukuran tumpeng, larangan tak menggelar pertunjukan wayang kulit di radius lima kilometer dari kawasan Kampung Pitu. Mereka juga dilarang berburu satwa kecuali untuk bertahan hidup.
“Nglangger itu berasal dari kata larangan. Pementasan wayang kulit pasti akan berbuah kesialan,” ujarnya. Tahun lalu mobil pengunjung mogok, ternyata dia membawa kotak kulit tempat wayang kulit.
Sugito cekatan membersihkan sampah yang ditinggalkan pengunjung. Sampah makanan bertebaran di sekitar Kampung Pitu. Aktivitas membersihkan dan merawat kampong merupakan salah satu pesan leluhurnya.
Dia juga sering memperingatkan pemburu agar menghentikan perburuan satwa. Agar satwa tetap lestari. Untuk mencari ikan, mereka memancing dan melarang penggunaan bom maupun racun ikan.
Kawasan Gunung Purba Nglanggeran memiliki banyak obyek wisata alam. Ada embung buatan di puncak bukit, taman buah kakao dan durian serta susur gua. Berwisata di sini ditawarkan dalam satu paket kunjungan dengan harga berbeda. Termasuk berkunjung ke Kampung Pitu menikmati matahari terbit.
Lokai Gunung Langgeran bisa ditempuh dengan jalan darat selama 40 menit dari pusat kota Yogyakarta. Jalan aspal mulus memudahkan akses menuju lokasi. Cukup membayar pemandu wisata sebesar Rp 70 ribu, dan tiket masuknya Rp 15 ribu. Saat libur lebaran pengunjung Nglanggeran membludak, sehari mencapai 2 ribuan orang lebih.
“Sehari bisa tembus 2 ribu dalam satu hari,” kata pengelola wisata, Wagiman.

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi
[…] Keluarga yang tinggal di Kampung Pitu via https://www.terakota.id […]