Terakota.id—Pengajar Fakultas Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret (FISIP-UNS) Akhmad Ramdhon risau perkembangan kota mengorbankan kampung. Selalu dianggap kumuh dan harus digusur. Untuk mengembalikan kedaulatan kampung Akhmad mendirikan Kampungnesia, sebuah komunitas untuk memberdayakan kampong didirikan di Solo, Jawa Tengah pada 2013.
Diawali dengan membangun situs internet yang memotret perkampungan di sejumlah sudut kota. Pengampu mata kuliah Sosiologi Perkotaan ini mengajak para mahasiswanya untuk belajar ke kampung-kampung. Kampung menjadi ruang belajar bagi para mahasiswa, mereka tak hanya duduk di dalam kelas.
Para mahasiswa terlibat dalam pembelajaran di kampung-kampung. Mereka melakukan gerak perubahan kota dengan melibatkan kampung. Sehingga kampung kembali berdaulat. Akhmad Ramdhon juga mengampu mata kuliah Perubahan Sosial. Ia menugaskan para mahasiswa untuk melibatkan diri dengan masyarakat di kampung.
Menuliskan pengalaman selama belajar di kampung, semua tulisan dikumpulkan dan dibukukan. Kampungnesia yang berdiri 2013, atas dorongan publik selama proses belajar di kampung. Lantas mereka berinisiatif membuat jejaring proses belajar lintas kampung. “Proses belajar demi membangun pengetahuan tentang kampung,” kata Ramdhon kepada Terakota.id.
Ia berharap, penataan kota masa depan berubah dengan mengikuti logikan kampung.
Kampung, katanya, memiliki pengetahuannya sendiri. Memiliki daya kreatifitas dan keunikan tersendiri. “Jika ada nada perubahan, biarkan orang kampung sendiri yang menggerakkannya.”
Sejumlah aktivis sosial ikut terlibat dalam jejaring kampung. Mereka turun ke kampung-kampung, menuliskan tentang sejarah serta narasi perubahan kampung khusus di Solo. Mereka juga memetakan semua yang berkaitan dengan kampung. Termasuk membuat peta satelit kampung di Solo.
Untuk memperluas jaringan dengan visi yang sama, Ramdhon menginisiasi Srawung Kampung. Mempertemukan jaringan lintas kota yang memiliki pengalaman, kesan dan imaji berkaitan dengan kampung kota. Ada sepenggal cerita tentang bagaimana sebuah kampung dianggap kumuh dan layak digusur, kisah gaya hidup warga kampung berubah dan beragam kisah penting dan menarik.
“Srawung Kampung mengundang banyak teman di berbagai kota, lintas disiplin dan pengetahuan untuk menulis dan berbagi semua bentuk pengalaman berada di kampung-kota. Mereka menjadi bagian dari kampung dan mendampingi kampung-kota,” tulis Akhmad Ramdhon dan Siti Zunariyah dalam Srawung Kampung-Kota: Kontestasi Kampung di Riuhnya Perubahan Kota.
Profesor Bakti Setiawan dalam tulisan Kampung Kota dan Kota Kampung: Tantangan Perencanaan Kota di Indonesia di laman kampungnesia.org menejlaskan masa depan kota di Indonesia akan dipotret dan diproyeksikan sebagaimana kota-kota di negara barat.
“Kota masa depan adalah kota yang teratur dan tertata rapi struktur ruang dan pola tata guna lahannya. Tidak campuran, dikontrol dengan zoning regulations yang kaku dan ketat. Kota yang baik juga harus dilengkapi dengan boulevard-boulevard, serta taman-taman kota yang cantik dan megah, sebagaimana idealisasi yang ditawarkan oleh konsep Garden City-nya Ebenezer Howard.”
Pembangunan kota, katanya, tidak netral tetapi dibangun di antara tegangan antar identitas dan kelas. Pembangunan kota tak ubahnya ruang kontestasi. Kontestasi yang menyediakan karpet merah bagi kelompok yang kuat. Baik kuat secara modal maupun akses.
Kota dibangun mengikuti imaji modernitas. Pembangunan kota bersaing di bawah panji-panji kemajuan. Kota saling bersaing untuk terlihat paling tertata, paling cantik, paling gemerlap, dan tampak paling modern.
Bakri Setiawan menuturkan Kota hanya bisa hidup karena kampung kampungnya. Sementara kampung juga bisa hidup karena berada di seting kota. “Kota di Indonesia adalah kota kampung, rangka atau bangun strukturnya adalah kota, tetapi isi dan jiwanya adalah kampung, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.”
David Harvey, seorang geografer kritis asal Inggris, menyebut pembangunan kota selalu sebangun dengan logika akumulasi kapital. Mesin pembangunan kota digerakkan oleh aliansi kekuatan bisnis. Mereka menjadi pendorong dan penggerak pembangunan sebuah kota.
Tata kota dan tata ruang didesain untuk memudahkan terjadinya mobilisasi surplus produksi. Dengan begitu, antagonisme antara yang kuat dan yang lemah terjadi di balik pembangunan kota. Kelompok yang lemah ini menjadi korban. Mereka digusur, dipinggirkan, dan dipersempit ruang hidupnya. Mereka menjadi pihak yang terasing di dalam kotanya sendiri.
Laju perkembangan kota mengorbankan kampung. Padahal kampung merupakan salah satu elemen utama dari kota. Kota dan kampung seperti sekeping mata uang. Tak bisa dipisahkan.
Geliat Kampung di Glintung
Konsep serupa juga berkembang di Kampung Glintung Kota Malang. Saat masuk gang, Anda akan disuguhi pemandangan hijau. Sebuah pergola berisi tanaman hias memanjakan mata. Vertical gardent berisi aneka tanaman hias berjejer di dinding sepanjang gang tersebut. Bunga warna-warni juga menjadi keindahan tersendiri saat menjejakkan kaki di Kampung Glintung yang terkenal dengan Kampung 3G (Glintung Go Green).
Bahkan dinding di gang digunakan sebagai area urban farming. Aneka jenis sayuran ditanam, warga memanen untuk kebutuhan sehari-hari. Setiap sore, secara otomatis air mengalir menyirami tanaman. Sehingga Anda akan betah, berlama-lama. Malang terasa lebih dingin dan menyenangkan.
Mereka memanfaatkan barang bekas untuk menciptakan vertical garden maupun urban farming. Botol minuman, kaleng cat, kloset jongkong diubah menjadi pot bunga. Sehingga tak harus modal besar untuk menciptakan kampung yang sejuk dan tenang.
“Berat awalnya. Tak ada uang kas, mengajak warga yang penting menanam. Lingkungan hijau dulu,” kata Bambang Irianto. Sejak terpilih sebagai Ketua RW lima tahun lalu, Bambang dalam rapat RW selalu memamparkan konsep membangun Glintung menjadi kampung wisata. Saat itu, banyak yang mencibir dan menudingnya sebagai orang gila.
Bambang tetap perlahan-lahan mengajak masyarakat untuk memperbaiki lingkungan. Caranya dengan kerja bakti, bergotong royong. Apalagi kampung Glintung juga selalu langganan banjir saat musim hujan. Penyebabnya banyak lahan terbuka hijau sudah berdiri bangunan.
Sementara saluran air dan drainase semakin lama semakin menyempit. Perkampungan warga juga semakin padat. Bahkan saat banjir, sandal dan sepatu warga juga hanyut ke selokan maupun sungai. Masalah itu timbul sejak bertahun-tahun. “Kalau hujan alamat banjir. Air sampai sepaha orang dewasa,” kata warga setempat, Jaying yang tinggal sejak 1964.
Atasi Banjir di Kampung Glintung
Dia merasakan susahnya saat banjir, saban hari harus mengepel dan membersihkan rumah. Lantas warga bergotong royong membersihkan sungai untuk mengatasi banjir. Bambang Irianto menggandeng Profesor Muhammad Bisri Dekan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang (Sekarang Rektor Universitas Brawijaya). Bambang menceritakan masalah banjir yang senantiasa menggenang kawasan permukiman saat musim penghujan.
Gayung bersambut, Bisri yang mengusulkan dibangun sumur injeksi di kawasan tersebut. Sumur injeksi dibangun dengan biaya dari Universitas Brawijaya. Sedangkan pengerjaan dilakukan bergotong royong dengan warga setempat. Tahap awal warga bersama Bisri merembug titik yang harus dibangun sumur injeksi.
Pakar pengairan ini menghitung, seharusnya di Malang dibangun ribuan sumur injeksi untuk mengendalikan banjir. Sebagai daerah dataran tinggi, banjir di Malang terjadi karena permasalahan drainase. Air hujan tak bisa terserap langsung ke tanah, ruang terbuka hijau berkurang berganti bangunan.
Sehingga air mengalir tak terarah, sedangkan selokan dan drainase tak bisa menampung seluruh air hujan. Sehingga menimbulkan banjir di titik-titik tertentu. Menurutnya, sumur injeksi juga berfungsi untuk menampung air tanah. Sementara selama ini air tanah disedot besar-besaran untuk kepentingan industri, perhotelan dan perumahan.
Konstruksi sumur resapan berbeda dengan sumur injeksi. Jika sumur resapan berdiameter satu meter dengan kedalaman sekitar 5-6 meter. Sedangkan sumur injeksi minimal berkedalaman 20-25 meter berdiameter sekitar 6 meter. Lapisan bawah ditata dengan batu dan kerikil.
Saat ini baru dibangun sebanyak 30 sumur injeksi di Kota Malang. Salah satunya berada di sekitar kawasan Masjid Jami’ Alun-alun Kota Malang. Konstruksi sebuah sumur injeksi membutuhkan dana sekitar Rp 400 juta.
Asisten Redaktur. Pegiat literasi dan coffee addict