
Terakota.id—Prasasti Kampung Damai terpampang di samping bangunan sebuah fasilitas umum perumahan di Kelurahan Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Di samping prasasti berdiri sembilan nilai utama Gus Dur alias Kai Haji Abdulrachman Wahid. Samping gedung, berderet rak buku. Ratusan buku terjajar rapi. Seorang remaja tengah duduk bersimpuh, tekun membaca buku koleksi rumah baca tersebut.
Di gedung ini lah kelompok Dewi-Dewi binaan Wahid Foundation beraktivitas. Sebuah mesin Jahit tua dan dua mesin jahit baru menjadi alat kerja 12 ibu-ibu yang berada di lingkungan ini. Kedua mesin jahit dibeli dari keuntungan usaha yang mereka tekuni sejak tiga tahun lalu.
Omset penjualan sekitar Rp 7 juta sampai Rp 12 juta per bulan. Telaten mereka membuat aneka kriya lukis di atas kain. Mulai jilbab, dompet, sampul buku, wadah komputer jinjing dan pakaian perempuan. Produk mereka disusun tapi di atas rak, dipajang di workshop sekaligus galeri pamern produk ini.
Produk mereka telah dipajang di Indonesia Mall Jakarta dan dipasarkan di sejumlah market place. Hasil usahanya digunakan untuk menambah kebutuhan keluarga, dan kebutuhan pribadi. Mereka juga mengembangkan koperasi simpan pinjam sejak setahun lalu. Total uang yang berputar mencapai Rp 27 juta.
Koperasi simpan pinjam juga menjadi medium ibu-ibu bertemu dan berinteraksi. Selama ini, mereka tak saling kenal atau jarang bertemu meski dalam satu lingkungan RW. Kini, hampir setiap hari mereka bertemu dan bertegur sapa. Sehingga mengetahui dan akrab dengan tetangga di lingkungannya.
Bahkan, mereka saling membantu jika ada warga yang kesusahan atau membutuhkan bantuan. Tiga ibu-ibu Erni Susanti, Sumarni, dan Rinoun menemui Terakota.id, mereka mengaku tak menyangka bisa meningkatkan ekonomi keluarga dan semakin dekat dengan tetangga.

Saking dekat dengan tetangga, mereka seolah seperti keluarga. “Tak ada batasan, kami saudara. Perbedaan agama tak jadi masalah,” kata Sumarni ketua kelompok Dewi-Dewi.
Perkenalan mereka dengan Wahid Foundation terjadi pada pertengahan 2017. Mereka dilatih melukis kain dan membatik. Selanjutnya, mereka diajarkan memasarkan produk yang dihasilkan. Mereka mengisi waktu luang, sebelumnya saban pagi usai melaksanakan pekerjaan domestik tak ada aktivitas yang berarti.“Desa damai, rukun tak ada konfik,” katanya.
Perempuan Menjadi Agen Perdamaian
Interaksi dengan tetangga juga terjalin baik. Jika dibutuhkan mereka juga saling membantu dan mencarikan solusi. Pada Hari Natal 2019 lalu, mereka beranjangsana ke rumah umat Kristen yang merayakan Hari Natal. Total sebanyak 12 keluarga yang beragama Krsisten. Mereka terus merawat keberagaman dan toleransi.
Mereka juga berkampanye di media sosial, pasca larangan umat muslim mengucapkan Selamat Hari Natal. Erni Susanti bahkan mengirimkan video berisi khutbah dari M. Quraish Shihab yang memperbolehkan umat Islam mengucapkan Selamat Natal. Sehingga perlahan-lahan bisa mengubah cara pandangan sebagian penduduk. Apalagi di Singosari berdiri banyak pesantren.
Sebanyak enam kelompok semacam Dewi-Dewi di Kelurahan Candirenggo, total beranggotakan 60 orang. Beragam produk kriya karya komunitas dipamerkan di galeri Cantrik yang khusus dijadikan ruang pamer. Galeri berada di samping gedung pertemuan Kelurahan, awalnya buka setiap hari. Lantaran tak kunjung ramai, penjualan dialihkan secara daring.
“Tapi selalu bertemu dua kali setiap minggu,” kata Koordinator Desa Damai Candirenggo, Maria Sendy Krissusanti. Galeri menampung aneka baju lukis, batik, tas, sampul buku, payung, jilbab, dan tas rajut. Selain menata ekonomi keluarga, katanya, mereka juga berlatih public speaking untuk menyampaikan pendapat di muka umum.

“Dulu mereka tak berani bicara. Sekarang berani menyampaikan gagasan dan sikap dalam rapat,” katanya. Mengupas cara pandang Islam memandang perempuan. Dalam program Desa Damai, katanya, perempuan menjadi agen perdamaian. Mereka terlibat dalam menyelesaikan masalah dan menangani konflik di daerahnya.
Termasuk mendeteksi sejak dini terkait paham radikalisme, dan terorisme. Desa damai di Kelurahan Candirenggo dideklarasikan 20 Desember 2017. Warga Candirenggo terdiri atas agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Sebagian besar memeluk Islam. Sedangkan beragam suku bangsa juga ada mulai Jawa, Lombok, Bali, dan Madura.
Menurutnya, ibu-ibu gampang mendengar informasi di kampungnya. Apalagi, juga sempat ditangkap terduga teroris di Candirenggo. Bahkan tahun lalu, seorang warga Candirenggo ditembak mati karena diduga terlibat bom gereja di Surabaya. Usai kejadian itu, Sendy menemui istri terduga teroris tersebut.
Ia bertemu tetangga yang menjelaskan perilakunya yang mulai tertutup sejak beberapa bulan terakhir. Namun, selama ini tak ada masalah. Istrinya, kata Sendy, mengaku kaget dan tak percaya suaminya terlibat jaringan terorisme. Kini, ia mulai aktif dan bisa berinteraksi dengan warga.
“Kenapa ditembak?. Mereka tak percaya jika suaminya bersalah,” ujanya. Mereka juga membentuk Kelompok Keja (Pokja) damai yang beranggotakan perwakilan RW, pemuda, kaum minoritas, disabilitas, perwakilan perempaun, aparatur penegak hukum dan pemerintahan desa. Mereka bergerak jika ada di sebuah wilayah ada yang tertutup terhadap tetangga.
Mereka melakukan pendekatan, dimulai dari ibu-ibu bertamu. Ia mencoba menggandeng, berinteraksi dan mengajak berkegiatan bersama. “Mereka rata-rata pendatang, Ibu-ibu bisa berperan melakukan deteksi dini,” katanya.
Sehingga masalah keamanan bisa cepat diselesaikan. Termasuk isu terorisme. Bappenas juga melakukan penelitian di Candirenggo untuk mengatasi kerkait warga Negara Indonesia yang bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Tujuannya untuk menentukan langkah bagaimana menangani setelah mereka kembali ke tanah air.

Jalan, baca dan makan