Terakota.id—Wilayah Malang Raya memiliki kekayaan sejarah dan peradaban. Terbentang dari masa jawa kuno hingga era kolonial Belanda. Menempatkan daerah ini sebagai salah satu titik peradaban tertua di Pulau Jawa. Sehingga, bertebaran tinggalan arkeologis dan cagar budaya.
Banyak ditemukan peninggalan masa Hindu-Buddha. Bahkan setiap tahun selalu ada peninggalan arkeologis yang ditemukan. Mulai dari situs berupa candi sampai berbagai artefak. Tidak sedikit benda-benda bersejarah itu ditemukan saat pengerjaan sebuah proyek. Tapi banyak juga bangunan cagar budaya beralih fungsi karena pembangunan kota.
Sepanjang 2020 ini, setidaknya ada empat temuan penting di wilayah Malang Raya. Mulai situs purbakala era Mataram Kuno sampai jalur rel trem peninggalan kolonial Belanda. Berikut ini adalah catatan redaksi Terakota :
Situs Langlang
Tim Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL) Badan Pertanahan Nasional mengukur tanah di Desa Langlang, Singosari, Kabupaten Malang pada 7 April 2020. Tanpa sengaja, mereka menemukan pecahan bata kuna, batu lumpang dan batu bertanda bintang. Pada akhirnya temuan itu diberi nama Situs Langlang, merujuk lokasi temuan.
Sebuah pecahan bata kuna disimpan di Sekretariat Desa Langlang, jadi bagian dari kesejarahan desa. Di ladang singkong milik seorang warga juga ditemukan banyak artefak berupa pecahan bata kuno, gerabah dan pecahan keramik. Saat lapisan tanah ladang digali, ditemukan struktur bata kuna. Di sekitar ladang turut ditemukan struktur berupa dua tumpuk batu bata kuno.
Tidak jauh dari lokasi ini, ditemukan pula batu lumpang berceruk. Pada permukaan atas terdapat batu dakon dengan 12 lubang. Salah satu sisi samping batu lumpang berbentuk seperti kepala hewan. Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur meneliti temuan ini pada Juli 2020. Struktur batu bata kuno diperkirakan berasal dari masa Mataram Kuno atau pra Singhasari.
Pada awal November 2020 mulai dilakukan ekskavasi awal Situs Langlang. Saat itulah kembali ditemukan sebuah struktur batu bata merah berukuran 6 x 6 meter terdiri tiga lapis. Setiap bata berukuran panjang 38-40 centimeter, lebar 28-30 centimeter dan tebal 9-10 centimeter. Tim eskavasi juga mendapati pecahan bata merah berukir.
Diperkirakan ini merupakan struktur sebuah candi. Hasil ekskavasi menampakkan sebuah dapur candi menghadap arah barat laut. Butuh ekskavasi lanjutan untuk memastikan bentuk bangunan secara utuh. Sebab belum ditemukan sumuran yang biasa digunakan menaruh peripih yang biasanya terdapat pada sebuah candi. Sambil menunggu proses ekskavasi lanjutan, masyarakat diimbau turut menjaga kelestarian Situs Langlang.
Situs Ngenep
Sebuah tinggalan arkeologis berupa struktur batu bata kuno ditemukan di lokasi proyek pembangunan perumahan Taman Tirta Desa Ngenep, Karangploso, Kabupaten Malang, pada Oktober 2020. Struktur terdiri dari empat lapis. Setiap bata berketebalan 10 sentimeter dengan lebar 21 sentimeter. Peninggalan masa awal Singasari.
Selain struktur bata kuna, ditemukan pula artefak berupa gerabah, keramik kuno, perunggu dan uang logam kuno. Lokasi temuan berjarak sekitar 20 meter dari Umbul Ngenep. Di umbulan itu juga terdapat batu dakon, bato gores dan batu bata kuno. Di bawah kolam umbulan terdapat struktur bata kuna yang masih terendam. Serta terdapat struktur batu padas dan obyek diduga arung kuna.
BPCB Jawa Timur mengekskavasi Situs Umbulan Ngenep pada awal November 2020. Hasil kajian mereka, diperkirakan struktur bata yang pertama kali ditemukan itu berupa pagar keliling. Berfungsi melindungi sebuah bangunan sakral yang justru berada tepat di dalam kolam atau mata air umbulan. Sayangnya, belum bisa dipastikan fungsi bangunan inti.
Merujuk ukuran batu bata kuna di Situs Ngenep, maka diperkirakan usianya lebih muda dibanding Situs Langlang, Singosari dan Situs Pendem di Kota Batu. Situs Umbulan Ngenep diperkirakan ada pada periode awal Singasari atau Hindu-Budha pada abad 10. Sedangkan Situs Langlang dan Situs Pendem ada pada periode pra Singasari atau masa Mataram Kuna era Mpu Sindok.
Namun yang jelas, temuan Situs Umbul Ngenep ini menegaskan masyarakat pada masa Hindu-Budha sangat melindungi keberadaan sumber air. Dengan membuat kolam-kolam, saluran air dan petirtaan untuk menjadi sebuah tempat suci. Karea itu, kawasan lingkungan Umbulan Ngenep dan sekitarnya patut terus dijaga dan dilestarikan.
Penyelamatan Situs Pendem
Situs Pendem di Desa Pendem, Junrejo, Kota Batu, ditemukan pada 2019 silam. Serangkaian eskavasi terhadap situs ini dilakukan sepanjang 2020. Di mulai pada Februari dan terakhir pada November 2020 lalu. Tidak hanya berupa struktur bata, tapi juga menghasilkan berbagai temuan penting.
Mulai dari arca Siwa berkepala tiga atau Arca Siwa Trisirah, arca Nandi dan Yoni berbahan batu andesit dalam kondisi tak lengkap. Struktur bata kuna di situs ini berdimensi 35-36 sentimeter, lebar 25-26 sentimeter dan tebal 9-10 sentimeter. Serta temuan sumuran berdenah bujur sangkar dan peripih untuk sesajian. Situs diyakini candi berlanggam Jawa Tengah.
Berbagai temuan itu menguatkan hipotesis bahwa Situs Pendem peninggalan masa Mataram Kuno periode Jawa Timur. Arkeolog BPCB Jawa Timur memerkirakan situs ini pada masa lampau bernama Candi Mananjung. Sebuah bangunan suci yang tertulis pada Prasasti Sangguran berangka tahun 982 masehi atau abad 10.
Prasasti Sangguran, sebuah prasasti berbentuk batu besar yang dahulu ditemukan di Desa Ngandat, Kota Batu. Prasasti itu kini berada di tanah Britania Raya. Prasasti penting itu menuliskan tentang keberadaan sebuah desa perdikan bebas pajak. Diberi keleluasaan mendirikan bangunan suci yang diutamakan untuk menggelar upacara suci.
Prasati Sangguran menuliskan, bhaţāra i sang hyang prāsāda kabhaktyan ing sima kajurugusalyan i Manañjung. Tempat bangunan suci yang didirikan bagi kajurugusalyan atau kaum pandai besi yang berjasa besar terhadap Mataram Kuno saat dipimpin Sri Maharaja Dyah Wawa. Nama bangunan suci itu lalu disebut-sebut sebagai Candi Mananjung. Situs Pendem inilah diperkirakan sebagai Candi Mananjung.
Karena itu, Situs Pendem atau Candi Mananjung termasuk sangat penting. Membutuhkan eskavasi lanjutan dan perlindungan. Tidak hanya terhadap situs itu, tapi juga lingkungan di sekitarnya. Agar tak tergerus oleh derasnya pembangunan.
Rel Trem Kayutangan
Jalur rel sepanjang 200 meter di bawah persimpangan Rajabali, Kayutangan, kembali muncul ke permukaan. Jalur rel trem atau kereta api dalam kota itu muncul saat backhoe mengelupas aspal jalan untuk pembangunan proyek koridor Kayutangan heritage, pada 10 November 2020. Usia rel itu 11 tahun lebih tua dari Kota Malang yang berumur 106 tahun pada 2020.
Rel trem tersebut peninggalan masa kolonial Belanda saat berkuasa di Malang. Bagian dari jalur trem rute Stasiun Jagalan-Stasiun Blimbing sepanjang enam kilometer yang dibangun pada 15 Februari 1903. Satu dari delapan jalur trem yang dibuka Malang Stoomtram Mattschappij (MSM), sebuah perusahaan kereta api swasta masa Belanda.
Kayutangan, lokasi rel trem itu berada merupakan salah satu kawasan bisnis dan perdagangan sejak masa kolonial. Rel dan Kayutangan, bagian tak terpisahkan dari sejarah cikal bakal lahirnya Kota Malang. Pada masa kolonial, trem digunakan untuk mengangkut penumpang serta komoditas perkebunan seperti kopi dan gula hasil panen perkebunan di selatan Malang. Sekaligus jadi penanda transportasi massal modern telah ada di Malang kala itu.
Namun tak berselang lama setelah penemuan, rel trem kembali diurug di bawah tanah. Sebab rel trem tak boleh diangkat, apalagi dipindah lokasi. Rel dilapisi cor beton dan ditutup batu andesit guna melanjutkan proyek pembangunan Kayutangan heritage. Pemkot Malang sendiri berencana meletakkan lokomotif trem di kawasan Kayutangan.
Proyek Kayutangan heritage senilai Rp 23 miliar dari program KotaKu Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Desain kawasan berupa batu andesit dengan pola melingkar di titik Rajabali dan PLN. Serta ditambah pembenahan pedestrian dengan fasilitas berupa kursi taman. Pemkot Malang sendiri berencana meletakkan lokomotif trem di kawasan Kayutangan.
Redaktur Pelaksana