Ilustrasi. Sebuah gereja dibongkar di area konflik agraria Kulon Progo. (Foto: Antara).
Iklan terakota

Terakota.id– Daniel Sihombing Teolog muda yang tengah menyelesaikan studi di pascasarjana Protestant Theological University, Belanda menuturkan Natal senantiasa identik dengan pesan kedamaian. Cinta kasih digaungkan mengiringi perayaan Natal. Pesan kedamaian yang dibawa Yesus, katanya, seringkali disalahdiartikan.

Pesan damai kerap kali dimaknai, dipahami, atau diartikan  berdamai dengan kenyataan atau berdamai dengan penguasa serta kekuasaan. Padahal, ujar Daniel, dalam Injil pesan Natal adalah damai dalam artian subversif. Karena damai yang dibawa oleh Raja Kedamaian, Yesus, adalah pesan damai yang mengancam penguasa lalim waktu itu. Yaitu Penguasa Romawi dan Israel.

Keadaan waktu itu, tidak lah damai dalam sebenar-benarnya. Tetapi, rakyat hidup dalam kemiskinan dan di bawah pengaruh penguasa yang menindas, brutal, dan memuja kekerasan. “Kondisi waktu itu pada dasarnya mirip dengan kondisi hari ini. Bukan hanya di Indonesia. Tetapi mayoritas seluruh dunia,” katanya kepada Terakota akhir pekan kemarin.

Untuk itu, seharusnya pewartaan damai dalam Natal berarti mengancam kekuasaan. Daniel yang juga seorang calon pendeta ini menjelaskan pesan toleransi tak cukup diekspresikan melalui aksesoris-aksesoris Natal di jalan, mal, hotel, maupun gedung-gedung. Tidak memadai juga dirayakan melalui lagu-lagu natal dan gereja yang diputar di pusat perbelanjaan.

Toleransi serta kebhinekaan kurang tepat jika diartikan dalam kerangka ko-eksistensi. Lebih tepatnya ia diartikan dalam koridor ko-resistensi. “Bersama-sama melawan terhadap kekuatan-kekuatan yang sebenarnya anti kebhinekaan, anti keragaman. Yaitu kekuatan pasar, kekuatan modal. Saya menyebutnya sebagai totalitarianisme pasar atau diktator pasar,” ujar Daniel menegaskan.

Daniel mengilustrasikannya dengan pertarungan di ring tinju. Mereka, diktator pasar, memaksa kita semua untuk masuk di ring. Padahal, setiap orang berangkatnya berbeda. Tapi dipaksa untuk saling bertarung di sana. Dipaksa saling menggigit, memakan, bahkan menghabisi.

Kristen Hijau, Menapaki Jalan Terjal Perjuangan Yesus

Ilustrasi. Warga meratapi rumah, tanah beserta tanaman, yang digusur proyek pembangunan Bandara di Kulon Progo, Yogyakarta. (Foto :kbr.id).

Natal tahun ini adalah natal yang pertama bagi Kristen Hijau. Karena di awal 2017, tepatnya pertengahan Februari, inilah organ yang sifatnya jaringan ini dideklarasikan. Tujuannya, menjaring lebih banyak orang-orang Kristen atau umat kristiani untuk lebih sadar akan krisis agraria dan ekologi di Negara ini.

Kehadiran Kristen Hijau diharapkan mampu menstimulasi gerakan yang lebih besar dalam merespon dan menyikapi krisis agraria dan ekologi. Tidak hanya dari Kristen dan Gereja saja. Tetapi, juga dari seluruh orang atau kelompok dari latar belakang manapun.

Kristen Hijau berawal dari diskusi empat orang pemuda Kristen. Sejak akhir Desember, mereka mulai menyiapkannnya. Andreas Kristanto, calon pendeta Gereja Kristen Indonesia (GKI) yang pertama menggagas. Melalui serangkaian diskusi, akhirnya didirikan organisasi jaringan yang fokus pada dua isu. Yakni keadilan agraria dan ekologi.

Dua fokus tersebut dipilih karena dianggap menjadi persoalan yang mendasar dan dihadapi oleh siapapun hari ini. Selain juga dua fokus tersebut mempunyai daya ungkit untuk menyasar isu-isu yang lebih luas dan fundamental. Kristen Hijau, menurut Daniel, menjadi semacam visi tandingan di saat masifnya penggusuran dan eksploitasi alam terjadi atas desakan kekuatan modal.

“Sudah ada dasar teologis untuk menjaga alam. Menjaga lingkungan. Sederhananya, spirit itu sudah ada. Saya pribadi melihat masalahnya berdasar pengamatan pada kenyataan, bagaimana tugas menjaga bumi berbenturan dengan sistem yang merajalela di bumi ini,” kata Daniel menegaskan.

Kristen Hijau mendasarkan gerakannya pada nilai-nilai Kristiani. Dengan tetap menautkannya dengan nilai-nilai keindonesiaan. Yaitu Pancasila, UUD 1945, dan Undang-Undang Pokok-pokok Agraria 1960.  “Tentu semua ini berbarengan dengan kritik terhadap kapitalisme yang hari ini kita lihat bentuknya lebih ganas dalam neoliberalisme,” ujar Daniel menjelaskan.

Secara umum, Kristen Hijau melakukan tiga kegiatan; pendidikan, pendampingan, dan perluasan. Dalam hal pendidikan mereka misalnya mengadakan sinau ekonomi-politik, diskusi berkala, dan menerbitkan buku. Sedang dalam hal perluasan dilakukan melalui mengajak, mengajarkan, ajakan menulis, kampanye sosial media, serta presentasi di persekutuan-persekutuan Kristen di kampus dan gereja.

Menurut Daniel, jika nanti sudah ideal tidak menutup kemungkinan Kristen Hijau bisa melakukan advokasi atau pendampingan secara langsung dengan masyarakat. Paling tidak, sebelum itu, setiap cabang yang telah dibentuk mendekatkan diri dengan gerakan sosial yang hidup di tingkat lokal.

“Mereka harus tau masalah di sekitarnya, lalu membangun jejaring dengan gerakan lokal. Minimal, sadar dan tau masalah lokal. Sampai saat ini telah terbentuk cabang Kristen Hijau di Malang, Sidoarjo, dan Surabaya. Sedang embrio cabang sudah ada di Bandung, Semarang, Bengkulu, Palopo, dan Kupang,” terang Daniel.

Berdirinya Kristen Hijau, juga tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) yang telah lebih dulu berdiri. Keberadaan FNKSDA sedikit banyak menginspirasi. Ke depan, menurut Daniel, Kristen Hijau semoga dapat melakukan semacam pelatihan bersama dengan FNKSDA. Materi ekonomi-politiknya di dalam satu kelas. Lalu, materi teologisnya di kelas yang dibedakan.

Kado Natal dari Kristen Hijau

Daniel Sihombing (Kaos putih) salah Satu pendiri Kristen Hijau, dan Novri Bunga (pegang buku Dengarkan Jeritan Bumi) salah satu anggota Kristen Hijau Malang. (Terakota/HA. Muntaha Mansur).

Buku “Dengarkan Jeritan Bumi: Respon Kristiani atas Krisis dan Keadilan Ekologis” menjadi kado Natal dari Kristen Hijau. Tidak hanya kado untuk umat kristiani. Melainkan juga bagi seluruh umat manusia. Dimana buku ini bisa menjadi pembanding seluruh elemen masyarakat untuk berpartisipasi demi keadilan ekologis.

Di berbagai belahan dunia, menurut Daniel, sedang terjadi perampasan lahan secara massif. Sayangnya, gereja-gereja dunia banyak yang diam. Itulah yang coba disuarakan buku ini.

“Partisipasi Kristen untuk menyerukan dan secara teologis, berdasarkan Alkitab, sebenarnya sangat bertentangan dengan visi kapitalisme global,” tegas Daniel.

Ia memberi contoh, bahwa bumi, tanah adalah milik Allah. Karenanya, manusia hanya dititipi untuk mengelolanya secara adil dan menyejahterakan semuanya. Tentu saja, dalam sejarah, tidak semua gereja memegang prinsip ini. Bahkan, di masa lalu kejahatan-kejahatan kolonialisme berkelindan dengan gereja.

Buku yang menjadi kado natal ini, merupakan terjemahan dari buku berbahasa Inggris, Listen to the Land!. Ia hasil dari studi yang dilakukan oleh kelompok dalam Dewan Gereja Dunia (World Council of Churches). Studi itu memuat usulan atau arahan pergerakan gereja yang lebih progresif dengan basis penjelasan teologi dan pembacaan objectif atas tata dunia hari ini.

Lahirnya buku itu, bermakna seruan, usulan, atau arahan sekaligus pengakuan dosa.  Seruan untuk memanggil gereja-gereja dan komunitas-komunitas iman lainnya dalam barisan perjuangan rakyat. Perjuangan untuk melepaskan ratusan tahun penindasan sosial, ekonomi, dan politik. Sedang pengakuan dosa dalam artian meminta maaf dan mengutuk laku ketidakadilan yang pernah melibatkan gereja-gereja.

Dan akhirnya, Selamat Natal. Semoga kita senantiasa bersatu dalam mewujudkan tata dunia yang lebih beradab.

1 KOMENTAR

Tinggalkan Komentar

Silakan tulis komentar anda
Silakan tulis nama anda di sini