
Terakota.id–Belum lama berselang, saya berhasil menyelesaikan membaca 562 halaman Kabar Buruk dari Langit (2005) karya Muhidin M. Dahlan. Saya harus menyebut pencapaian ini dengan sedikit rasa bangga karena hanya dengan susah-payahlah saya sanggup menaklukkan rasa bosan yang menghantam saya bertubi-tubi saat membaca novel tebal ini. Terus-terang, saya tidak sangat menikmati membaca karya Muhidin, termasuk karya-karyanya yang lain, entah itu Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur (2003) atau Adam dan Hawa (2005). Kabar Buruk ini jelas bukan pengecualian, bahkan novel ini lebih membetot urat bosan saya.
Kesan kuat saya, karya-karya fiksi Muhidin terlalu gereget dengan gugatan dan protes alih-alih membiarkan alur dan tokoh bercerita dan bernarasi sendiri. Novel-novel tersebut mengumbar kritik dengan terlalu frontal serta kurang sabar dengan stream of consciousness pembaca. Tokoh-tokoh dan ceritanya terdengar seperti perpanjangan langsung dari pikiran sang pengarang sehingga kurang memiliki ‘daya hidupnya’ sendiri.
Tentu saja, ini adalah kesan subjektif saya selaku pembaca yang berharap bisa lebih membaca kisah. Dapat dipastikan pula bahwa Muhidin bukan satu-satunya penulis ‘sastra’ yang lebih concern pada pesan daripada pada cerita. Di luar sana, ada banyak kok yang seperti Muhidin. Dan lebih-lebih, bukan poin ini yang terutama ingin saya sorot. Ini hanyalah preambule saja dari kegelisahan saya membaca sastra yang sering hanya dianggap sebagai saluran; sastra yang hanya jadi ajang memajang konten tetapi yang form atau bentuknya sudah ditirikan.
Kabar Buruk dari Langit
Novel Kabar Buruk dari Langit berkisah tentang seorang santri moncer yang pada masa mudanya digadang-gadang akan menjadi penegak Syariat dan penerus wali di muka bumi. Santri itu adalah ‘kamu’ (karena demikianlah, novel ini secara eksperimentatif memakai sudut pandang penceritaan orang kedua yang tidak lazim). ‘Kamu’, karena lulus dengan sangat menjanjikan dari seleksi yang dijalankan oleh Dewan Ulama kota Kudus, dikirim untuk belajar agama ke sumbernya, ke Tanah Haram Nabi. Kota Kudus sendiri disebutkan sebagai kota santri di mana tokoh-tokoh agamanya memegang peranan kunci, melampaui sekadar tokoh rohaniah tetapi juga merangkap posisi di ranah politik dan hukum.
Dalam perjalanan intelektual dan spiritualnya di Tanah Haram Nabi, ‘kamu’, si santri muda ini berjumpa dan belajar dengan dan dari para tokoh sejarah, filsafat, dan sufisme, yang mengajaknya menjelajah dunia pikir dan meninggalkan gua sumpek bernama ajaran formal. Sampai pada bagian ini, mau tak mau saya mendapat kesan tentang kemiripan Kabar Buruk dengan Sophie’s World-nya Jostein Gaarder (1991). Bedanya terletak pada tokoh-tokoh yang dijumpai si santri. Bila dalam Sophie’s World, Sophie belajar tentang para pemikir dalam tradisi filsafat Barat, tokoh-tokoh yang dijumpai oleh ‘kamu’ berasal dari dunia intelektual dan rohaniah Muslim. Tokoh-tokoh ini mengajak ‘kamu’ mempertanyakan beragam hal yang ‘semula’ terlihat jelas sekali dalilnya.
Sekembalinya ke Kudus, setelah 10 tahun merantau, ‘kamu’ digadang bisa menduduki tampuk ulama utama. Akan tetapi, dasar jiwanya tidak pernah tenteram dan menemukan kedamaian hanya dalam ajaran baku dan kaku, dia terus bertanya dan dalam kegelisahannya konon ‘kamu’ berjumpa dan bercengkerama dengan Jibril yang mengajaknya melakukan pengembaraan spiritual sampai ke relung-relung paling jauh.
Dari seorang santri idaman, ‘kamu’ diusir dari Kudus karena menajiskan masjid saat Salat Jumat dengan membawa anjing hitam yang diyakininya sebagai jelmaan Jibril. Terusir dari kampung halamannya, ‘kamu’ semakin getol melakukan penggembaraan spiritualnya. Oleh kerja-keras dan kesungguhannya, dia dianggap sebagai orang suci dan memperoleh pengikut di seputar Bukit Makrifat. Tetapi, dari sana pun dia terusir oleh tangan-tangan kekuasaan, sampai dia pergi ke Tanah Rempah. Di sana, Cinta dijumpainya dalam wujud seorang biarawati muda, yang membuatnya rela beralih keyakinan dan makan babi deminya. Pada akhirnya, tangan kekuasaan yang tidak senang dengan gugatan-gugatannya menyeretnya pulang dan menghukumnya secara amat keji sampai meninggalnya.
Agama dan Adaptasi
Karya-karya fiksi Muhidin, setidaknya yang sudah saya selesaikan baca, yaitu Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur; Adam dan Hawa; dan Kabar Buruk dari Langit memang membahas topik-topik yang sensitif dan bahkan kontroversial. Pernah saya mencoba menanyakan hal ini kepada seorang kawan yang saya ketahui sebagai muslim yang taat tetapi juga seorang yang pakar dalam bidang sastra bandingan. Saya bertanya, mengapa novel-novel Muhidin bisa lolos dari sensor dan dia tidak didemo oleh kaum garis keras?
Jawaban teman saya tersebut cukup lucu: karena yang membaca Muhidin tidak banyak dan buku-buku Muhidin diterbitkan secara independen. Saya sendiri tidak tahu pasti seberapa besarkah sidang pembaca karya-karya Muhidin sehingga tidak dapat mengonfirmasi kebenaran jawaban teman tersebut, tetapi fakta bahwa buku-buku sensitif dan kontroversial Muhidin terbit di awal 2000-an kiranya juga menjelaskan mengapa karyanya tidak dipelototi seketat masa sebelum dan sesudah euforia reformasi.
Sebagai novel yang mengguliti isu-isu sensitif dan kontroversial, yang terkait dengan agama di Indonesia, Kabar Buruk dari Langit, menurut saya, menyampaikan sesuatu yang penting dan jujur. Penting karena itu berkaitan dengan konten dari kritik Muhidin, dan jujur terkait dengan caranya menyampaikan kritik.
Agama, sebagaimana kita ketahui, adalah sebuah jalan hidup yang ajaran-ajarannya diamini oleh para penganutnya dapat memberi mereka kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat. Ajaran agama diyakini merupakan wahyu dari Yang Mahakuasa dan bersifat transendental. Sampai kadar yang ‘paling kanan’, ini mendorong pada keyakinan tak terbantahkan bahwa agama itu sudah final, sudah selesai dan tinggal diamalkan. Agama dipandang sebagai sebuah jalan yang lurus dan pasti dengan tujuan akhir yang tergariskan.
Di sisi lain, pandangan dan sikap yang kritis mengakui bahwa agama adalah sebuah artefak sejarah. Dalam pengertian ini, agama merupakan suatu ‘organisme’ yang lahir dan tumbuh besar dalam sebuah Rahim sejarah kemanusiaan, dan, secara lebih luas lagi, dalam konteks ruang dan waktu.
Uskup Gereja Anglikan dari Amerika Serikat, John Shelby Spong, yang merupakan penulis buku kontroversial Why Christianity Must Change or Die (1999), setelah membaca berbagai literatur tentang sejarah alam semesta menganalogikan bahwa jika sejarah planet kita dari permulaan sampai sekarang ini dapat diwakilkan sebagai rentang waktu sepanjang 24 jam, maka sejarah kehadiran umat manusia hanya mengisi sepersekian nano-detik sebelum tengah malam. Dan dalam sepersekian nano-detik tersebut, berapa persenkah yang telah diisi oleh ajaran-ajaran agama sebagaimana yang sekarang kita ketahui? Bisa jadi hanya sepersekian ujung kuku. Berapa banyak generasi manusia telah hidup dan berkembang biak di atas muka bumi ini sebelum lahirnya agama-agama besar yang kita kenal saat ini?
Shelby Spong memahami agama, termasuk agama Kristen yang dianutnya sendiri, bukanlah sebuah batu penjuru yang menetap dan terus ada sepanjang waktu. Dia melihat agamanya sebagai semacam ‘organisme’. Dalam perspektif itulah, dia menyadari dan mendorong upaya adaptif dari agamanya agar mampu bertahan dan relevan dengan persoalan-persoalan kemanusiaan. Usaha adaptif tersebut seringkali berat dan menyakitkan, karena berarti mensyaratkan kesediaan untuk mau menerima perubahan. Dan, belum tentu pula, orang-orang baik yang seagama maupun berbeda agama akan setuju dengan hal tersebut.
Tampaknya, di sinilah letak satu kritik atau gugatan utama Muhidin lewat novelnya yang berat tersebut. Dia mendorong sikap yang kritis terhadap agama; sikap yang lebih memberi nilai penting pada iman daripada pada ajaran baku, sikap yang adaptif alih-alih sikap yang tunduk begitu saja. Agama, bila dilihat sebagai artefak sejarah, pasti memiliki awal; dan apa pun yang memiliki awal kemungkinan besar akan punya akhir. Dan, seperti teori Darwin, hanya yang paling mampu beradaptasilah yang bisa menunda tibanya akhir, dan bahkan berkembang dengan subur. Ini terlihat sangat jelas, tetapi, bagi banyak orang dan kalangan, cara pandang ini adalah hujatan yang layak untuk dijatuhi hukuman mati yang sangat mengerikan seperti yang menimpa ‘kamu’.

Dosen prodi Sastra Inggris Universitas Ma Chung, penerjemah buku, dan pembaca yang giat.