Mengunjungi Jurnalisme Sastrawi di Tengah Pendeknya Rentang Perhatian

Andreas Harsono menguraikan beberapa elemen penciri Jurnalisme Sastrawi, yaitu 1) fakta (tidak boleh ditambah-kurangi), 2) karakter, 3) konflik, 4) perjalanan waktu, 5) ...

Didesain oleh Terakota.id/ Muammar N Islami.
Iklan terakota

Terakota.id Ketika kawan-kawan mengajak berbicara tentang Jurnalisme Sastrawi hari-hari ini, saya mau tidak mau harus bertanya kepada diri saya sendiri, apakah ini konsep masih relevan sekarang? Rasanya sudah sekian waktu kita tidak dengar lagi istilah ini dibicarakan. Apakah sekarang masih kompatibel?

Rasanya tidak masalah kalau kita mengunjungi lagi gagasan ini, bentuk-bentuk awalnya, dan perkembangannya. Untuk menambah itu, perlu juga kita lihat apakah spirit dari jurnalisme sastrawi itu masih ada saat ini. Setelah menelusuri sedikit sejarahnya dan melihatnya dari kacamata hari ini, saya jadi takjub. Bisa jadi, jurnalisme sastrawi tidak pernah benar-benar meninggalkan kita dan justru telah berhasil berevolusi tanpa kita menyadari keberadaannya.

Di Indonesia, istilah “jurnalisme sastrawi” mengemuka pada awal 2000-an berkat Andreas Harsono. Dengan hasil belajarnya di Boston, Andreas Harsono bertekad mewujudkan sebuah cita-cita membangun sebuah wadah untuk sejenis pelaporan yang panjang, mendalam dan mengasyikkan dibaca. Dari situlah berdiri majalah Pantau. Yang mengusung tulisan-tulisan panjang, lebih dari 7000 halaman. Sebagian dari tulisan yang diterbitkan Pantau kelak dibukukan dalam Jurnalisme Sastrawi.

Dalam pengantar buku tersebut, yang diunggah di sini, Andreas Harsono menguraikan beberapa elemen penciri Jurnalisme Sastrawi, yaitu 1) fakta (tidak boleh ditambah-kurangi), 2) karakter, 3) konflik, 4) perjalanan waktu, 5) akses (kedekatan dengan sumber), 6) emosi, dan 7) elemen kebaruan. Ketujuh hal ini bisa terfasilitasi dalam artikel-artikel yang dimuat di Pantau, media yang berdiri di bawah Institut Studi Arus Informasi, yang memberi ruang untuk tulisan-tulisan hasil peliputan yang panjang dan berelemen “sastrawi” seperti itu.

Tentu Andreas Harsono bukan penggagas konsep ini (betapa pun saya akan senang kalau memang dia penggagasnya, mengingat dia besar di Malang). Konsep ini merupakan terjemahan dari konsep New Journalism atau juga disebut Literary Journalism, yang telah populer jauh sebelum Andreas Harsono berdiskusi dengan kawan-kawannya di grup mailing list pada awal 2000-an, yang dia ceritakan di sini pada tahun 2011.

Di Amerika Serikat, New Journalism ini diamalkan oleh banyak penulis kondang seperti Truman Capote, yang mengajukan label “novel nonfiksi” untuk bukunya yang berjudul In Cold Blood (1967), sebuah buku yang menelusuri berbagai aspek di sekeliling pembunuhan brutal di Kansas. Truman Capote mengikuti si pembunuh mulai dari penangkapan, pengadilan, penjatuhan putusan dan akhirnya eksekusi. Selain itu, dia juga menyoroti hal-hal di sekeliling tempat terjadinya pembunuhan tersebut.

Potret buku In Cold Blood karya Truman Capote. (Sumber: Terakota.id/HA. Muntaha Mansur)

Contoh lain dari praktik New Journalism ini adalah apa yang dilakukan oleh Hunter S. Thompson, seorang novelis yang pernah mengikuti Hell’s Angels, geng motor yang memiliki reputasi negatif tapi ditakuti. Thompson menuliskan hasil pengamatannya ini secara mendalam dalam Hell’s Angels: The Strange and Terrible Saga of the Outlaw (1967)sebelum akhirnya dia didepak dari geng motor tersebut. Memang, karya-karya yang dianggap sebagai contoh utama jurnalisme sastrawi atau jurnalisme baru tersebut adalah karya-karya berbentuk buku. Di media berkala, karya-karya semacam itu bisa ditemukan di majalah-majalah semacam The New Yorker atau Atlantic Monthly.

Tentang Truman Capote, Hunter S. Thompson, dan lain-lainnya ini bisa kita lihat dalam buku You Can’t Make This Stuff Up (2012) karya Lee Gutkind, penulis buku dan editor majalah Creative Nonfiction. Gagasan Creative Nonfiction yang Gutkind ajukan itu bisa dipakai sebagai istilah alternatif untuk New Journalism, Literary Journalism, atau Jurnalisme Sastrawi. Yang dia ajukan sebagai ciri dan rambu-rambu bagi para jurnalis gaya baru ini selaras dengan yang disampaikan oleh Andreas Harsono.

Untuk masa yang masih dekat dengan kita-kita yang lahir pada dekade 1980-an ke atas, salah satu capaian terpopuler dari jurnalisme baru yang bisa kita soroti adalah buku Into the Wild (1996) karya Jon Krakauer. Buku ini adalah hasil investigasi atas seorang pemuda yang ditemukan meninggal di hutan Alaska. Ia menyingkap fakta bahwa ternyata pemuda yang ditemukan meninggal ini memiliki kisah hidup yang tidak biasa dan telah melewati petualangan hidup yang bisa membuat pembaca tersentuh.

Buku ini dibuka dengan penemuan mayat di pedalaman Alaska dan kemudian dilanjut dengan penyingkapan sedikit demi sedikit tentang masa lalu mayat tersebut berdasarkan buku harian yang ditemukan bersama si mayat dan hasil investigasi si penulis. Fakta demi fakta tersaji dalam buku ini secara dicicil dan menciptakan suspens, hingga pembaca benar-benar dibuat penasaran tentang apa yang sebenarnya menyebabkan kematian si pemuda yang bisa dengan mudah merebut hati pembaca tersebut.

Kisah dalam buku ini kemudian diadaptasi oleh Sean Penn menjadi film dengan judul sama yang mudah menggetarkan penonton apalagi ditambah dengan soundtrack lagu-lagu folk nyaris full akustik dengan permainan gitar dan mandolin oleh Eddie Vedder.

Potret buku Into The Wild. (Sumber: Dok. Penulis).

Seiring berkembangnya teknologi dan semakin banyaknya cara menyiarkan informasi, prinsip-prinsip yang mendasari jurnalisme sastrawi ini pun tampak tidak hanya dalam bentuk artikel panjang atau buku. Salah satu yang terbaru adalah podcast.

Salah satu serial podcast yang hingga saat ini dianggap paling sukses adalah musim pertama dari Serial, yang berkisah tentang kasus pembunuhan Hae Min Lee, seorang pelajar SMA di Baltimore, dengan terdakwa Adnan Syed, seorang pemuda dari keluarga imigran Pakistan yang juga mantan pacar Lee.

Podcast yang dipandu oleh Sarah Koenig ini dengan sabar merunut kasus pembunuhan tersebut mulai dari penemuan mayat Hae Min Lee, kisah hidup Hae Min Lee, bagaimana Adnan Syed menjadi tersangka utama dan kemudian dijatuhi hukuman seumur hidup, dan seterusnya. Koenig berhasil menggali dari berbagai sumber tentang hal-hal yang akhirnya mengarah pada satu argumen bahwa vonis terhadap Adnan Syed tersebut masih terbuka untuk dipertanyakan terutama karena pengacara Adnan Syed terkesan tidak serius dalam memberikan pembelaan.

Screenshot serialpodcast. (Sumber: Dok. Penulis).

Podcast yang terasa seperti film detektif ini berhasil merebut perhatian dan simpati publik. CBS News mencatat bahwa pada tahun 2015 saja podcast kisah pembunuhan Hae Min Lee ini sudah diunduh 68 juta kali. Karena tingginya minat dan menguatnya dukungan terhadap Adnan Syed ini, maka pada tahun 2015 kasus tersebut dibuka kembali setelah 15 tahun—meskipun pada akhirnya Adnan Syed tetap tidak mendapat putusan bebas. Saat mengikuti podcast ini, penyimak yang peka bisa dengan mudah mendeteksi fitur-fitur yang juga menjadi ciri dari jurnalisme sastra. Bahkan, dialog yang disajikan di sini kebanyakan adalah hasil wawancara langsung dengan orang-orang yang berada di sekitar kasus ini.

Bagaimana dengan di Indonesia pada saat ini? Tulisan-tulisan bergaya jurnalisme sastrawi tentunya bisa kita temukan tersebar di majalah-majalah berita baik versi cetak maupun daring di Indonesia. Namun, yang saat ini bisa kita soroti sebagai perwujudan Jurnalisme Sastrawi antara lain ada dalam karya-karya dokumenter yang diproduksi oleh WatchDoc Documentary. Terutama yang berasal dari Ekspedisi Indonesia Biru, seperti misalnya contoh terakhir, Sexy Killers (2019) yang kontroversial itu. Ada sejumlah bagian film dokumenter ini yang dikerjakan dengan gaya yang memiliki banyak kemiripan dengan gagasan jurnalisme sastrawi.

Salah satu adegan dalam film tersebut membahas tentang derita Novi, yang tinggal tidak jauh dari PLTU Panau di Palu, yang terkena kanker nasofaring, diduga terkait dengan polusi karena batubara yang merupakan bahan bakar PLTU tersebut. Sexy Killers menyajikan fakta-fakta terkait PLTU Panau, polusi yang diakibatkannya, upaya Novi berobat ke Jakarta, hingga akhirnya kabar tentang meninggalnya Novi, yang menjadi akhir tak bahagia untuk sepenggal kisal Novi di film ini. Melihat adegan ini, penonton tidak hanya mendapatkan informasi mengenai PLTU Panau dalam kaitannya dengan polusi dan dugaan menyebabkan kanker. Tapi juga merasakan suspens dan terhanyut dalam usaha Novi dan suaminya mengupayakan kesembuhan.

Atau, untuk mengambil contoh bagus lain yang perlu diingat kembali, kita bisa melihat film Negeri di Bawah Kabut (2011) garapan Shalahuddin Siregar. Film yang sepenuhnya berasal dari hasil mencebur ke dalam kehidupan para petani di lereng Merbabu ini berhasil menunjukkan kepada kita kehidupan petani yang sumber dayanya serba terbatas tapi di sisi lain perlu menyekolahkan anaknya. Film dokumenter yang lebih menyerupai film ini membiarkan karakter berinteraksi satu sama lain, menyingkapkan persoalan-persoalan mereka, hingga bisa membuat pembaca harap-harap cemas tentang bagaimana akhir dari persoalan yang mereka hadapi ini. Dalam film yang trailernya bisa dilihat di bawah ini, kita bisa dengan mudah menemukan rukun jurnalisme sastrawi versi Andreas Harsono di atas.

Setelah melihat contoh-contoh terkini inilah mungkin bisa mencari-cari jawaban atas pertanyaan yang sedikit lebih jauh dari pertanyaan di awal tulisan ini: “Masih perlu dan mungkinkah kita memperjuangkan karya jurnalistik yang panjang di tengah jaman yang dicirikan dengan semakin singkatnya rentang perhatian kita?” Masih adakah yang membaca tulisan jurnalistik yang panjang-panjang hari ini?

Jawaban pertama: saya optimis masih ada yang membaca, jadi kita perlu perjuangkan. Apalagi, semakin banyak orang yang menyadari bahwa ada masalah dalam berita-berita singkat yang hanya bertujuan untuk memuaskan hasrat ingin tahu yang sebentar saja. Mereka yang menginginkan informasi yang cukup lengkap akan dengan sendirinya mencari sumber yang memberikan informasi lebih luas dan mendalam. Kalau pun masih ada yang belum menyadari adanya masalah dengan berita-berita pendek tertentu, misalnya yang mengeksploitasi headline kontroversial guna menarik pembaca padahal tidak benar-benar mencerminkan isinya atau bahkan isinya tidak benar-benar esensial, maka kita perlu kembali ke satu pegangan: bahwa kita perlu saling mengingatkan dalam kebaikan.

Jawaban yang kedua langsung berhubungan dengan bahasan kali ini. Kiranya, jurnalisme sastrawi kontemporer, dengan pelbagai bentuk (tulisan, podcast, film dokumenter) dan dengan kemampuannya menjaga suspens dan gairah pembaca, penyimak, dan penonton, bisa menjadi alternatif untuk membuat orang menikmati dan mendapatkan informasi secara lebih mendalam.

Berbagai bentuk jurnalisme sastrawi ini bisa menjadi perlawanan terhadap kecenderungan berkurangnya rentang perhatian kita. Kekuatan jurnalisme sastrawi dalam menyedot perhatian pembaca, layaknya sebuah novel thriller yang bisa membuat pembaca terus membuka halaman demi halaman. Bisa jadi ia akan merebut pembaca dari kantuk dan keinginan untuk cepat-cepat mengeklik link-link berita lain yang lebih menggelitik.

Kalau sebuah film dokumenter sarat informasi dan fakta yang menggunakan unsur-unsur jurnalisme sastrawi bisa membuat seorang penonton bertahan untuk menonton hingga 30 menit atau 1 jam atau bahkan 2 jam, maka dia bisa dibilang sama dengan membuat orang membaca sebuah artikel dalam waktu yang sepadan. Tentu ini bagus—meskipun akan juga bagus kalau waktu selama itu juga dihabiskan untuk membaca artikel panjang atau buku pada kesempatan lain.

Yang mungkin membedakannya adalah informasi dalam sebuah artikel tertulis lebih mudah ditandai atau dikutip atau ditilik kembali bila kita membutuhkannya. Meski begitu, baik yang berbentuk artikel, podcast, maupun film dokumenter—semuanya tetap lebih baik daripada membaca yang pendek-pendek atau mengikuti hasrat mengeklik berita karena judulnya yang kontroversial.

(Kiri ke Kanan) Seno Gumira Ajidarma, Wawan Eko Yulianto, dan Irwan Bajang ketika diskusi tentang Jurnalisme Sastrawi di Festival Kecil Literasi dan Pasar Buku Patjar Merah di Malang, Sabtu (27/07/2019). (Sumber: Terakota.id/ HA. Muntaha Mansur).

Jadi, untuk kembali ke pertanyaan awal soal apakah jurnalisme sastrawi masih relevan hari ini? Oh tentu, bahkan lebih relevan lagi, terutama bila kita menyadari bahwa konsep jurnalisme sastrawi, new journalism, atau creative non-fiction itu sudah berkembang lebih jauh dari bentuk-bentuk awalnya dulu ketika baru dipraktikkan oleh beberapa penulis Amerika. Wujudnya sudah tidak hanya tulisan (artikel panjang maupun buku), tapi juga sudah berbentuk audio dan video. Konsep ini pada kenyataannya telah berkembang seiring semakin berkembangnya teknologi informas.

Tom Wolfe, Truman Capote, dan Hunter S. Thompson mungkin tersenyum girang melihat bagaimana gaya jurnalisme yang mereka praktikkan sebagai hasil dari kebebasan mereka itu akhirnya menjadi lazim hari-hari ini. Dan bahkan, mungkin bisa bermanfaat dalam ikhtiar memerangi ancaman singkatnya rentang perhatian kita.