
Terakota.id–Kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 pada tanggal 9 Januari menjadi duka yang mendalam di awal tahun 2021. Di tengah pandemi Covid-19 yang belum terkendali, jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 di daerah Kepulauan Seribu, Jakarta menjadi semakin menyesakan dada kita. Di tengah kesedihan yang begitu mendalam, media massa kita masih saja terjebak pada praktik jurnalisme yang cemar kala mengabarkan bencana. Praktek cemar ini adalah jurnalisme firasat.
Praktek cemar jurnalisme firasat ini bahkan terjadi di media massa besar. Sebagai contoh adalah berita yang diunggah oleh cnnindonesia.com pada 9 Januari 2021, judulnya Kerabat Manifes SJ182: Mereka Pamit Semalam, Tiada Firasat. Di tanggal yang sama, okezone.com mengunggah berita berjudul Sriwijaya Air Jatuh, Firasat Pegawai Maskapai Ini Jadi Kenyataan.
Kedua berita tersebut sama-sama menggunakan kata firasat di judul berita dan diunggah hanya beberapa jam setelah kecelakaan terjadi. Kata firasat merujuk pada kemampuan untuk meramalkan tentang apa yang terjadi di masa depan. Sejurus pula, firasat bisa dimaknai sebagai kemampuan untuk melihat gelagat yang akan terjadi di masa depan. Tentu saja, menjadikan firasat sebagai berita adalah praktik yang banal dan cemar. Ini karena firasat bukanlah sesuatu yang bisa dikaji dengan akal sehat (common sense).
Maraknya jurnalisme firasat dalam pemberitaan media massa, terutama media dengan platform daring, menunjukan adanya persoalan serius dalam jurnalisme di Indonesia. Tidak bisa serta merta kesalahan ditimpakan kepada jurnalis yang menulis berita. Bahwa benar, jurnalislah yang menulis berita, namun berita yang ditulis oleh seorang jurnalis terbentuk bukan hanya faktor individu jurnalisnya. Ada berbagai faktor yang memengaruhi pemberitaan media.
Mengutip Pamela J. Shomaker dan Stephen D. Resse dalam bukunya Mediating the Message: Theories of Influences on Mass Media Content (1996), pengaruh terhadap isi dari dari suatu pemberitaan media dilatarbelakangi oleh pengaruh internal dan eksternal. Shoemaker dan Reese membagi ke dalam beberapa level pengaruh isi media, yaitu pengaruh dari individu jurnalis sebagai pekerja media (individual level), pengaruh yang disebabkan rutinitas media (media routines level), pengaruh dari organisasi media (organizational level), pengaruh dari luar media (outside media level), dan yang terakhir adalah pengaruh ideologi (ideology level).
Asumsi yang disampaikan keduanya adalah bahwa bagaimana isi pesan media yang disajikan kepada publik adalah hasil yang dipengaruhi oleh kebijakan internal organisasi media dan pengaruh dari eksternal media itu sendiri. Pengaruh internal pada konten media sebenarnya berhubungan dengan kepentingan dari pemilik media, individu wartawan sebagai pencari berita, rutinitas organisasi media. Sedangkan faktor eksternal memiliki pengaruh pada konten media berkaitan dengan para pengiklan, pemerintah masyarakat dan faktor eksternal lainnya.
Dilihat dari faktor individu jurnalis sebagai pekerja media, masih adanya praktik jurnalis firasat menunjukan beberapa indikasi, yaitu kompetensi jurnalis yang masih kurang, kesadaran terhadap etika jurnalistik yang rendah, dan tekanan kerja yang tinggi untuk menulis berita dalam jumlah banyak.
Dilihat dari faktor rutinitas media, kita bisa melihat tiga unsur yaitu sumber berita, organisasi media, dan audiens. Dalam situasi bencana, dimungkinkan adanya narasumber yang menyampaikan tentang firasat yang dirasakannya. Tentu saja hak narasumber untuk menyampaikan tentang firasat, namun tidak seyogyanya organisasi media menyajikan ini sebagai berita yang dikonsumsi oleh audiens pembacanya.
Dilihat dari aspek organisasi media, seorang jurnalis bukanlah entitas tunggal yang memiliki kuasa penuh untuk mempublikasikan berita yang ditulisnya. Jurnalis terikat oleh kebijakan organisasi media tempatnya bekerja. Jika organisasi media kebijakannya adalah mendorong jurnalis untuk menulis berita sebanyak-banyaknya dengan jumlah pembaca yang sebanyak-banyaknya pula, maka dengan mudah praktek jurnalisme firasat tumbuh dengan subur.
Dengan demikian, dari kacamata ini maraknya jurnalisme firasat muncul di ruang redaksi media. Keinginan untuk mengejar traffic pembaca dan kecepatan berita menyebabkan judul dengan kata firasat dengan mudah dipublikasikan. Dengan demikian, praktek cemar jurnalisme firasat ini menyangkut wartawan di lapangan dan redaksi di meja redaksi.
Aspek keempat dan kelima yang dikemukakan oleh Shoemaker dan Resse lebih bersifat makro, meliputi pihak-pihak eksternal dan sistem ideologi yang ada. Pihak eksternal bisa berupa pemerintah, pemasang iklan, dan pemilik media. Bagi pengiklan, media dengan pembaca yang tinggi tentu lebih memikat sebagai media beriklan. Mendapatkan kue iklan menjadi bahan bakar bagi perusahaan media untuk terus eksis dan mengembangkan kapitalisasinya.
Persaingan di pasar untuk memperebutkan audiens, yang oleh institusi media lebih dipandang sebagai konsumen, telah melahirkan jurnalisme yang dikendalikan oleh pasar (market driven journalism). Dalam jurnalisme yang dikendalikan oleh pasar, peliputan yang dibuat dengan biaya rendah namun mengundang banyak perhatian audiens menjadi prioritas institusi media.
Dari rahim jurnalisme yang dikendalikan oleh pasar inilah praktek cemar jurnalisme firasat terus terjadi. Hanya berselang beberapa jam setelah pesawat Sriwijaya Air jatuh, media daring langsung menyajikan berita yang berkaitan dengan firasat. Tentu demi memenuhi kuantitas jumlah berita dan serempak berusaha menarik minat audiens untuk membacanya demi jumlah pengunjung yang tinggi. Sayangnya, pemenuhan terhadap dua tujuan ini adalah cemar.
