
Terakota.id—Bagaimana menyampaikan kritik, tapi yang dikritik tak marah? Justru tersenyum. Salah satunya kritik bisa disampaikan melalui kartun, jenaka tetapi tetap pedas. Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Seno Gumira Ajidarma menyampaikan ada tokoh yang tak gentar membongkar kemunafikan dan tanpa tedeng aling-aling saat menyampaikan kritik.
Ciri-cirinya, berhidung lancip seperti Petruk, hobi memakai kaus garis-garis horizontal, dan mulutnya “bocor”. Dialah Si Jon, karakter ciptaan kartunis legendaris Indonesia, Johnny Hidayat AR (1942-2012). Sejarawan Ben Anderson menyebut Johnny Hidayat bukan kartunis sembarangan.
“Meski aktivitas politik Orde Baru macet, aspirasi politik justru bisa tersalurkan melalui kartun,” kata Seno mengutip Ben Anderson dalam peluncuran dua buku kumpulan kartun Johnny Hidayat, Obat Stress 1 dan 2 secara daring, Sabtu 27 Juni 2020. Dilanjutkan diskusi kartun kritis di Indonesia bertajuk “Jon Gokil & Jon Slebor Menyentil dengan Bodor: Quo Vadis Kartun Kritis” yang diselenggarakan diadakan Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3).

Seno Gumira Ajidarma, Johnny sering mengritik polisi. Namun, Polri selaku institusi yang menjadi sasaran tembak tak marah. Bahkan memberikan penghargaan kepada Johnny. “Kedewasaan luar biasa masa Orde Baru. Mungkin polisi tidak pernah marah karena gila dan lucu aja itu Si Jon,” kata penulis, pemikir humor, sekaligus co-founder IHIK3 ini dalam siaran pers yang diterima Terakota.id
Seno juga pernah meriset dan mewawancarai langsung Johnny Hidayat pada 2005 silam. Seno menyebut kartunis Johnny Hidayat dan Augustin Sibarani sebagai Si Mbah Kartun Indonesia.
Presiden Persatuan Kartunis Indonesia (PAKARTI) 2010-2018, Jan Praba menjelaskan selain berani menyampaikan kritik, humor visual yang dilahirkan Johnny juga mudah dicerna dan disukai berbagai kalangan. Alasannya karena kartun memakai bahasa yang digunakan sehari-hari. Serta spektrum humor yang diangkat luas. Mulai humor receh, humor kritis, bahkan sampai dark humor.
“Kalau dipikir lagi, Johnny Hidayat sangat merakyat, seperti almarhum Didi Kempot. Dari lapisan bawah sampai atas menyukai karya-karyanya. Makanya, saya bilang ‘Johnny Hidayat ambyar’!,” kata Jan.

Selama 30 tahun lebih Jan Praba berkecimpung di industri kreatif visual. Ia mengakui Johnny Hidayat merupakan salah satu inspirasinya dalam berkarya. Wajar, produktivitas Johnny di masanya tak tertandingi oleh kartunis lain. Hampir setiap penerbitan koran, majalah, serta buku Teka Teki Silang (TTS) era 1970-an memuat karya Johnny.
Kelihaian Johnny memproduksi humor visual juga dijadikan pegangan bagi Faza Meonk. Faza mengakui ada tantangan dan peluang yang berbeda bagi para kartunis kritis di era Orde Baru dengan sekarang. Sebagai cartoonpreneur sekaligus kartunis yang suka menyampaikan kritik, kreator Si Juki itu juga belajar dari Johnny. Terutama dampak karya yang dibuatnya.
“Kartun era sekarang punya kontribusi penting dalam mendewasakan masyarakat. Kita harus benar-benar hati-hati karena kita bisa terancam Undang Undang ITE,” ujarnya. Kartunis harus bisa membuat kartun kritis yang tetap menghibur. Membuang orang tetap tertawa dan menertawakan dirinya masing-masing.

Acara peluncuran dihadiri beragam kalangan. Para pembaca karya Johnny Hidayat yang ingin bernostalgia maupun yang baru berkenalan dengan Johnny. Latar belakang peserta beragam, dari kartunis profesional, dosen dan mahasiswa dari pelbagai jurusan dan pelbagai perguruan tinggi, hingga ASN.

IHIK3 resmi meluncurkan Obat Stress 1 dan 2 dalam format e-book ber-ISBN, high-resolution, 151 halaman full-color. Setiap edisi dibanderol Rp20 ribu dan bisa didapatkan dengan menghubungi IHIK3 melalui nomor 0815-7491-4554. Surel ihik3@yahoo.com, atau Google Play Store dan Apple Store dalam waktu dekat. Tersedia pula versi cetak yang dibuat sesuai pesanan.
Buku Obat Stress 1 dan 2 merupakan awalan dari rentetan buku terbitan IHIK3 yang akan diluncurkan tahun ini. Silakan pantau Instagram @ihik3 atau website ihik3.com.

Jalan, baca dan makan