John Tobing, Darah Juang, Reformasi dan Aksi Demonstrasi

Jhon Tobing beraksi dengan gitar akustik, menghasilkan beragam lagu. Darah juang merupakan salah satu lagu yang diciptakannya. (Foto :Beritagar.id).
Iklan terakota

Oleh : Nezar Patria*

Terakota.id–Setiap bulan Mei, dan orang-orang mengenang reformasi 1998, saya ingat John Tobing. Dia seorang senior, dan belajar ilmu filsafat, saat kami berkuliah di kampus UGM Yogyakarta. Jarak dia dengan angkatan saya lumayan jauh. Dia datang dari Angkatan 86, sebuah angkatan yang bimbang setelah senior mereka dipukul kebijakan NKK/BKK, serta Dewan Mahasiswa tamat riwayatnya akibat depolitisasi kampus oleh rezim Orde Baru. Dari mereka segala cerita gerakan mahasiswa dari zaman ke zaman ditularkan ke generasi berikutnya, terutama angkatan 90an.

John memang dikenal sebagai sesepuh oleh angkatan yang lebih muda. Dia salah satu legenda aktivis mahasiswa pada masanya, pernah menjadi Sekretaris Jenderal FKMY (Forum Komunikasi Mahasiswa Yogya), malang melintang aksi bersama petani di Jawa Tengah, terutama Kedung Ombo.

Semalam John bertandang ke rumah, dan dia masih bersikap seperti aktivis garang sejak saya mengenalnya bertahun-tahun lampau. “Capek aku lihat politik sekarang. Kimbek semualah”, kata John. Dia selalu menyisipkan kata “kimbek”, semacam umpatan lawas gaya anak Sumatera bagian utara. Saya menyuguhinya secangkir kopi, dengan takaran ringan alias encer. Dia tak boleh minum kopi kental. Dokter melarangnya setelah dua kali dihajar stroke.

Tapi John hanya mengingat dokter kalau dia lagi tergeletak di rumah sakit. Di luar itu, nasehat dokter bisa dilupakannya, apalagi kalau bertemu kawan-kawan lama. Apinya kembali menyala. Hidupnya sekarang hanya dengan “mengamen” di sejumlah acara terbatas, dan menulis lagu.

Jhon Tobing bermain gitar sembari mendendangkan lagi darah juang. (Foto : Nezar Patria).

Warisan terbesar John adalah lagu “”Darah Juang”. Dia menciptakan lagu itu sekitar 1991, di saat gerakan mahasiswa belum seramai dan sedahsyat 1998. Tapi di tengah puncak kebrutalan kediktatoran, aksi-aksi kecil pada masa itu membutuhkan keberanian yang besar.

Dulu saya terkesima melihat John tampil di aksi mimbar bebas. Ada toa di tangannya, dengan rambut gondrong keriting yang tergerai dan ditiup angin, dia berteriak membakar semangat dan sikap kritis mahasiswa. Di mimbar itu, John tak sendiri. Ada M Thoriq dan Afnan Malay, juga Untoro Hariadi, sejumlah nama legenda mahasiswa UGM lainnya.

Tema besar aksi di kampus adalah kebebasan berekspresi, dan mengingatkan betapa gilanya rezim yang mengirim mahasiswa ke penjara dengan hukuman 12 tahun gara-gara membaca buku Pramoedya Ananta Toer. Sekitar akhir 80an tiga aktivis kelompok studi ditangkap dan dipenjara. Mahasiswa sungguh dibungkam, dan itu bukan sekadar gertakan.

John suka bercerita masa itu dengan berapi-api, tapi langsung landai ketika diingatkan bahwa politik zaman sekarang tak seperti yang dulu dia mimpikan. Bagi dia politik kini adalah industri kebencian, oligarki yang memanipulasi kesadaran rakyat demi kekuasaan, dan rakyat yang terseret oleh aneka sentimen politik identitas. “Mereka lupa kita ini Indonesia, lihat 1945, kalau tanpa persatuan, bangsa ini tinggal cerita. Kimbeklah”, kata John.

Dia memang mencintai Indonesia, seperti umumnya semua mahasiswa patriotis di zaman itu. Dia merasa kontribusinya terlalu kecil, sementara persoalan hari ini terlalu kompleks dan besar. “Ketimpangan masih ada dan makin lebar. Jokowi harus beri perhatian untuk soal itu coy,” kata John. Kali ini tak ada kata “kimbek” terdengar.

John memang peka terhadap ketidakadilan. Salah satu lirik lagu “Darah Juang” adalah tentang “anak kurus tak sekolah” dan “pemuda desa tak kerja”. Syair itu ditulis oleh seorang kawannya, Dadang Juliantara. Lagunya dibuat oleh John, dan sebagai seorang yang bermusik dengan bakat alam, John berkarya dengan perasaannya. “Aku tak bisa baca not balok, tapi kalau disuruh buat melodinya aku bisa”.

Lagu-lagu John adalah jenis balada. “Darah Juang” bisa disebut sebagai masterpiece dia. Lagu itu menjalar dengan cepat bak mantra pemanggil keberanian di masa gerakan mahasiswa 90an. Melintas batas wilayah, dari ujung Sumatera sampai dengan Papua. Dinyanyikan di setiap aksi massa, baik yang damai maupun dibawah todongan bayonet, nyala molotov dan gas air mata. Termasuk oleh generasi sesudah John, bertahun-tahun kemudian, saat puncak gerakan mahasiswa menumbangkan kediktatoran Orde Baru pada Mei 1998.

Kita bisa menemukan lagu itu dengan beragam versinya hari ini di Youtube. Dari slow rock, sampai himne yang syahdu. Saya pernah mendengar lagu itu bahkan dinyanyikan oleh mahasiswa di Makassar beberapa tahun lalu, di tengah aksi mereka yang penuh semangat itu, dengan cengkok sedikit berbeda dengan apa yang pernah saya dengar sebelumnya. Lagu itu sungguh sudah menjadi milik sejarah, milik publik, sebuah folk song, yang saya kira memang terbuka dinyanyikan dengan beragam versi.

Saya ceritakan kepada John tentang betapa dahsyat lagunya itu memberi semangat dari zaman ke zaman gerakan mahasiswa. John hanya terdiam. Dia mengambil gitar, dan memetik senarnya dengan penuh perasaan. Intro “Darah Juang” mengalun. Sebelum dia bernyanyi, saya mendengar bibir John mendesis: “Kimbeknyalah …” Entah buat siapa.

Nezar Patria saat memberikan keterangan pers bersama Munir dari KontraS. (Foto : dokumen pribadi).

*Digital Editor-in-Chief di The Jakarta Post dan aktivis mahasiswa 1998