Aksi teatrikal para pekerja PT Freeport Indonesia. (Terakota/HA. Muntaha Mansur).
Iklan terakota

Terakota.id–Seorang laki-laki berbaju putih muncul dari ruangan kecil samping kiri panggung. Tangan kanan memegang secarik kertas, berisi teks narasi teatrikal. Suaranya lantang, bergetar menahan amarah. Teatrikal “Jeritan Jiwa Pekerja Freeport”  diperankan para pekerja PT Freeport Indonesia, mereka menjadi korban program Furlough (merumahkan) karyawan.

“Kami haturkan jeritan jiwa para pekerja yang diinjak-injak harkat dan martabatnya sebagai manusia. Kami haturkan puja dan puji dari jeritan kami sebagai anak negeri. Kami curahkan segala kesah kami sebagai manusia yang telah dirampas dan diinjak-injak oleh kaum kapitalis, oleh pemerintah negeri kami sendiri,” ucap lelaki berbaju putih, Ikhwan Arief sembari berteriak.

Dia merupakan salah satu pekerja PT. Freeport Indonesia di Tembagapura, Papua yang tengah dirumahkan. Usai pementasan teater, dilanjutkan diskusi bertajuk, “jeritan jiwa di balik negosiasi IUPK PT. Freeport Indonesia.” di Kafe Samudro, Jalan Cengger Ayam, Kota Malang, Selasa, 19 Desember 2017.

Disusul lima orang lelaki naik ke atas panggung. Salah seorang diantaranya menenteng kertas putih bertuliskan Freeport. Sambil ia memegang tali yang menjerat empat laki-laki lainnya. Keempat orang itu memegang kertas putih bertuliskan “Oknum Militer”, “Oknum Pejabat”, dan “Oknum Pemerintah.”

Aksi teatrikal ini sebagai simbol Freeport memegang kendali pemerintah, pejabat dan militer. Atau dengan bahasa lain, apa yang dikerjakan dan dilakukan pemerintah, pejabat, dan militer berada di bawah kendali PT. Freeport Indonesia.

“Lihatlah-lihatlah sesosok big boss kaum kapitalis itu tertawa-tawa memamerkan kekuasaan dan kemenangannya atas diri kami sebagai anak negeri yang seolah ngekos di tanah negeri kami sendiri. Dan lihatlah…lihatlah… para pejabat, pemerintahku tertawa lebar menerima pundi-pundi air kehidupan dari big boss kaum kapitalis itu,” ujarnya.

Seorang berlari dan tersungkur di atas panggung. Laki-laki yang seolah menjadi “big boss PT Freeport” bangkit dari kursi dan menginjakkan kakinya di atas punggung orang yang tersungkur tadi.  Sedang empat orang lainnya,  “oknum pemerintah” oknum pejabat” dan “oknum militer” berdiri di sampingnya.

Narasi teatrikal terus dibacakan. Seluruh peserta yang hadir terdiam, menyimak. Tiga orang laki-laki kembali muncul dari ruang kecil lalu duduk setengah berdiri di depan panggung. Mereka tepat berada di hadapan kelima orang yang tengah “asyik” menginjak punggung lelaki yang tersungkur tadi.

Masing-masing dari mereka membentangkan kertas bertuliskan: “Kami Menjadi Budak di Negeri Sendiri”, “HAM Mati Suri di Sana”, “Negara Pernah Hadir dan Hanya Bersandiwara”.

“Lihatlah pemerintahku hanya diam, tertawa..hahahaha. Di atas meja sambil asik terus menikmati pundi-pundi negosiasi dari KK menjadi IUPK dan para pekerjanya menjadi korban PHK,” katanya memungkasi aksi teatrikal.

Selesai teatrikal, seorang perempuan membaca puisi “Sudah Bukan Diriku” karya Muhammad Ainun Nadjib dengan diiringi petikan gitar. Ia adalah Almas Berlianti pegiat Teater Pintu. Teater ini lah yang mendukung para pekerja PT. Freeport Indonesia untuk berteatrikal.

Suarakan Duka di Balik Gemerlap Emas

Para pekerja PT Freeport Indonesia menuntut pemerintah turun tangan mengembalikan hak para pekerja. (Terakota/HA. Muntaha Mansur).

Aksi teatrikal ini diangkat dari duka para karyawan PT. Freeport yang tengah memperjuangkan kejelasan nasib mereka. Silang sengkarut dan alotnya negosiasi PT. Freeport Indonesia dengan pemerintah Indonesia telah memakan korban. Ribuan karyawan dirumahkan. Dengan dalih adanya pengurangan produksi, pekerjaan, perampingan, dan lain-lain akibat perubahan dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

“PT. Freeport Indonesia merumahkan (Furlough) 3000 karyawan. Padahal tidak ada di aturan. Merumahkan karyawan yang ujung-ujungnya PHK massal. Ini terjadi  mulai Februari sampai April,” ujar Ikhwan Arief.

Ia menuturkan bahwa acara ini demi mengungkap keadaan yang sebenarnya ke media. Karena selama ini kesannya negosiasi dan apa yang terjadi mengiringinya ditutup-tutupi. Padahal, disana, menurut Arief, terjadi banyak pelanggaran HAM. Program Furlough atau merumahkan karyawan misalnya.

Solidaritas bagi rekannya yang terkena program furlough pun telah dilakukan. Ribuan pekerja melakukan mogok kerja dengan tujuan furlough dihentikan. Namun, manajemen malah melakukan PHK sepihak. Dengan dalih, mogok kerja yang ribuan karyawan lakukan itu ilegal.

“Manajemen memblokir akses gajian dan juga kesehatan karyawan. Jaminan sosial atas kesehatan para pekerja melalui BPJS dinonaktifkan yang mengakibatkan beberapa orang meninggal dunia,” imbuhnya.

Sejauh ini, menurut cerita Arief, akibat diblokirnya layanan kesehatan telah ada Sembilan orang karyawan yang meninggal dunia. Bahkan ada karyawan yang sudah sakit dalam kondisi teramat lemah, dengan biaya urunan, diterbangkan pulang ke Surabaya. Karyawan ini, pada akhirnya meninggal setelah sembilan hari di rawat dengan biaya sendiri.  Dirawat di rumah sakit Mardi Waluyo, Blitar.

Selain itu, dalam diskusi para karyawan juga menyampaikan pelanggaran HAM lainnya. PT. Freeport Indonesia selalu menolak permintaan berunding dengan karyawan. Terjadi intimidasi dan intervensi yang dilakukan oknum kepolisian. Dan indikasi pemberangusan  serikat pekerja.

Mereka menuntut pemerintah turun tangan menekan PT. Freeport untuk mengembalikan hak-hak pekerjanya. Mereka juga meminta pemerintah untuk mengembalikan dan mengaktifkan kembali layanan kesehatan yang telah diblokir oleh BPJS atas permintaan PT. Freeport.

Para pekerja juga meminta pemerintah sebagai pemegang otoritas agar tidak memberikan izin ekspor konsentrat oleh PT. Freeport Indonesia sebelum menyelesaikan dan memenuhi hak-hak pekerjanya.