
Terakota.id—Setiap bentuk ingatan, baik individual maupun kolektif, adalah suatu upaya untuk melukiskan kembali apa yang pernah terjadi pada masa lalu. Masa lalu laksana cerita menarik yang menghadirkan imajinasi dan kejadian nyata yang saling berkelit-kelindan. Peristiwa-peristiwa itu menjadi ingatan, di antaranya melalui jejak-jejak fisik yang masih ada.
Para sejarawan dan ahli kebudayaan menyebutnya sebagai artefak, yakni jejak-jejak yang bisa mereka gunakan untuk membuat sebuah cerita atau narasi tentang masa lalu. Beragam fakta dan artefak selanjutnya akan memiliki arti jika ada cerita yang merangkainya menjadi suatu penjelasan yang bisa diterima oleh akal sehat. Upaya merangkai cerita itulah yang disebut “rekonstruksi”.
Ingatan selalu dibangun dari cerita atau narasi. Cerita atau narasi tersebut dapat berubah sesuai dengan lahirnya kesadaran atau bukti-bukti baru tentang masa lalu. Di sisi lain, dalam konteks ingatan kolektif, setiap orang bisa memiliki ingatan yang berbeda tentang apa yang sungguh terjadi di masa lalu. Salah satu upaya untuk menghidupkan kembali kawasan Kota Lama Semarang adalah dengan pengembangan kawasan Sungai Kali Semarang.
Kali Semarang mempunyai nilai sejarah yang yang penting dan merupakan urat nadi perekonomian pada masa lalu. Kali Semarang merupakan satu-satunya sarana transportasi yang bisa dilayari perahu hingga ke pusat perdagangan di Pedamaran (kawasan Pecinan sekarang). Para pedagang dapat melintas dengan membawa barang-barang dagangannya dan melakukan bongkar muat di sepanjang pinggir-pinggir sungai.
Saat ini, Kali Semarang memiliki view bagus dengan latar belakang bangunan-bangunan lama Kota Lama dan memiliki jembatan yang legendaris, yaitu Jembatan Mberok. Jembatan ini dibentuk dari empat buah kolom utama dengan bentuk menyerupai obelisk dan pada puncak kolom terdapat lampu yang cukup unik. Bentuk tiang jembatan berok menyerupai tiang pada taman di depan Stasiun Tawang. Pagar pembatas jembatan terbuat dari besi.
Pada masa lalu, jembatan ini berfungsi untuk menghubungkan Kota lama yang dipagari benteng berbentuk segi lima (Benteng Vijfhoek) dengan bagian kota yang lain. Namun, setelah benteng ini dibongkar pada tahun 1842, jembatan ini dibiarkan saja. Jembatan ini terletak pada gerbang sebelah barat. Jembatan ini pada awalnya terbuat dari kayu dan sangat sederhana.
Sebelum tahun 1910, bentuknya lebih pendek dan gemuk, serta memiliki “antena” pada puncaknya. Masih terdapat jalur pemisah di tengah jalan dan pagar besinya masih membentuk silang. Tahun 1980 kolom diubah dengan menambahkan lampu pada ujungnya. Bentuknya juga menjadi lebih tinggi dan masif. Railingnya sudah diubah menjadi deretan besi serupa dengan kondisi sekarang.
Riwayat Jembatan Mberok
Jembatan Mberok terletak di dekat Kantor Pos Besar Kota Semarang dengan panjang 10 m. Pada masa lalu merupakan penghubung utama masyarakat yang tinggal di Kota Lama dengan kawasan luar. Dulu kawasan Kota Lama dipagari benteng berbentuk segilima yang pada zamannya dikenal dengan sebutan Benteng Vijfhoek dan hanya melalui Jembatan Mberok itulah akses keluar dan masuknya. Jembatan Mberok juga merepresentasikan simbol pembatasan antara golongan kaya kolonialis Belanda dengan pribumi miskin.

Jembatan ini dibuat sekitar 1705 dan masyarakat biasa pada waktu itu hanya bisa memandang dari kejauhan kawasan elit Kota Lama yang dulunya merupakan kawasan perkantoran, perumahan elit, dan pusat perdagangan orang Eropa (Belanda). Pada awalnya jembatan itu disebut “Brug” yang dalam bahasa Belanda artinya jembatan. Karena sulit dilafalkan, orang Jawa kemudian menyebutnya “Berok” yang kemudian berkembang menjadi Mberok.
Nama asli jembatan Mberok dahulunya adalah Gouvernementsbrug diganti dengan Sociteisbrug. Dalam perkembangannya, Pemerintah Kolonial Belanda membuat kebijakan baru, yaitu masyarakat pribumi yang ada di sekitar Kota Lama seperti Kampung Melayu, Pecinan, Kampung Arab, dan Kampung Jawa bisa berinteraksi dengan masyarakat Eropa.
Dari hal di atas, kita bisa melihat bahwa Jembatan Mberok pernah berfungsi sebagai pemisah dan sekaligus, selanjutnya, penghubung dua kasta yang berbeda. Jembatan ini pada awalnya sebagai pembatas antara kaum kolonial yang notabene sebagai konglomerat sehingga isi didalam Kota Lama tersebut berpenghuni kaum saudagar dan profesional kolonial dan di luar jembatan Mberok adalah kaum pribumi yang notabene dari ekonomi menengah ke bawah. Bukti kemajuan kawasan Kota Lama tampak, misalnya, bahwa pada tahun 1916 sudah ada lift, konon yang pertama di Indonesia.
Semarang (dan Jawa) dalam Mimpi Seorang Penyair Eropa
Saya merasa beruntung sempat membimbing, berdiskusi, dan sekaligus bisa mendapatkan banyak informasi terutama dari tugas akhir mahasiswa asing peserta Program Beasiswa Darmasiswa Republik Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya Undip yang bernama Michala Tomanová antara tahun 2013-2014, seorang mahasiswa dari Ceko. Ia pertama kali mengunjungi Indonesia adalah pada tahun 2008.
Tujuan perjalanan itu bersama dengan teman-teman Ceko adalah ke Jawa, terutama karena masih ada banyak pabrik gula di Jawa yang masih memakai mesin dan lokomotif uap. Beberapa temannya kebetulan bekerja di museum mesin-mesin tua. Mika (panggilan Michala Tomanová) sendiri lebih tertarik pada bidang sastra dan penyair Biebl adalah sosok yang sangat dikagumi. Saat mempersiapkan perjalanannya ke Jawa, ia teringat sajak terkenal di negara asalnya, Ceko.
S lodí jež dováží čaj a kávu pojedu jednou na dalekou Jávu……..(Dengan kapal yang membawa teh dan kopisuatu hari saya akan berjalan ke pulau Jawa yang jauh sekali…)
Sajak tersebut ditulis oleh seorang penyair terkemuka Ceko, Konstantin Biebl, pada tahun 1927 dalam perjalanannya ke Pulau Jawa antara 1926 hingga 1927. Biebl menulis beberapa puisi dan prosa tentang keindahan alam Jawa dan penderitaan orang- orang Jawa di bawah penjajahan Belanda. Dokumen dan naskah Biebl tentang perjalanannya ke Jawa berupa 131 dan dua buku catatan yang ditulis dalam bentuk puisi dan prosa. Dokumen dan naskah Biebl sekarang tersimpan di Památník Národního Písemnictví. Památník Národního Písemnictví adalah lembaga arsip sastra nasional Ceko yang mengumpulkan warisan tulisan para penulis Ceko.
Biebl adalah salah satu penyair terkemuka di Cekoslovakia antara tahun 1920 hingga 1930-an. Negara Cekoslovakia eksis pada tahun 1918 hingga 1991. Setelah itu, negara pecah menjadi Republik Ceko dan Slovakia. Puisi lirik Biebl kebanyakan bertema tentang kampung halaman di Slavětín yang ia cintai, tentang pengalaman dari Perang Dunia pertama yang ia harus ikuti, dan puisi terkait isu-isu sosial. Berkat perjalanannya ke Jawa pada 1926 hingga 1927, karya-karyanya turut memperkaya sastra Ceko dengan tema-tema tropis dari Indonesia, khususnya Pulau Jawa. Biebl meninggal pada tanggal 12 November 1951.

Kawasan Kota Lama Semarang (Foto: Sukarjo Waluyo)
Biebl tiba di negeri Hindia-Belanda pada awal bulan Desember 1926 dan tinggal di Batavia beberapa hari. Dari Batavia ia melanjutkan perjalanan dengan kereta api ke Semarang dan tinggal di rumah seorang dokter Ceko bernama Alois Kselík, kemungkinan besar berada di kawasan Kota Lama Semarang. Bersama Alois Kselík, Biebl bisa berjalan-jalan di beberapa tempat di Jawa, di antaranya ke Candi Prambanan, Candi Borobudur, Kota Solo, Kota Yogyakarta, dan Pegunungan Dieng. Ia kemudian mengunjungi Surabaya dan Bondowoso. Biebl tinggal di Jawa selama enam minggu. Sebenarnya ia ingin tinggal lebih lama, tetapi ia harus segera pulang karena ada pemberontakan di Jawa.
Puisi Bielbl berikut barangkali bisa menggambarkan Jembatan Mberok yang ditulis Biebl saat merenung pada sebuah rumah teman yang ditumpanginya di kawasan Kota Lama tempo dulu yang melukiskan jembatan pembatas kaum penjajah dan kaum terjajah.
Gadis Jawa
Tuan besar
bermuka agak aneh
waktu saya pada suatu malam
bertanya kepadanya
Bagaimana kabar nyonya
isterinya di Kota Amsterdam?
Saya mengatakannya
sekedar untuk sopan santun.
Tidak ada alasan lain,
untuk apa saya berdusta?
Saya hanya ingin tanya berapa
tamu datang ke rumahnya berapa
tamu datang
ke rumah isterinya,
kalau dia seluruh hidupnya
sendirian di kota Amsterdam.
Berapa tamu datang kepadanya
sehingga dari kota Surabaya
tuan besar mengirimkan
begitu banyak peti-peti kepadanya.
Begitu banyak peti-peti teh,
begitu banyak buah-buah coklat
dikirimkan tuan besar
pada tiap-tiap musim.
Begitu banyak peti-peti teh,
begitu banyak karung-karung kopi
dikirimkan tuan besar
saben minggu dari pulau Jawa.
Begitu banyak karung-karung gula,
dari tabu yang menggetar,
yang di perkebunan meninggalkan
bayangan-bayangan hitam dan panjang.
Begitu banyak karung-karung, peti-peti,
semua itu kepada seorang wanita yang
harinya minum
pagi hari sebuah mangkok kopi susu saja.
(Javanka. Gadis Jawa, 1949, Diterjemahkan oleh Dr. M. Oplt).

Penulis adalah dosen dan peneliti pada Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang