Iklan terakota

Oleh : M. Dwi Cahyono

Tambahan Predikat buat Malangraya

Terakota.id–Setiap daerah memiliki fase sejarah kepahlawanannya masing-masing. Tak hanya Soerabaia (kini “Surabaya”) yang layak menyadang predikat sebagai “Kota Pahlawan”, namun Malangraya pun juga punya fase sejarah kepahawanannya sendiri, sehingga layak juga menyandang predikat sebagai “Kota Pahllawan (Heroes City)”. Bahkan, peristiwa heroik di kawasan Malangraya bukan baru ada di (1) Masa Perjuangan Mendapatkan Kemerdekaan RI, dan (2) Masa Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan RI, namun telah beberapa kali berlangsung di masa-masa sebelumnya.

Alun-alun Tugu Malang, salah satu cagar budaya di Kota Malang (Terakota/Zainul Arifin).

Malangraya oleh karenanya beralasan untuk dipredikati sebagai “Kawasan Kejuangan Lintas Masa”. Bagi warga Malang spirit kejuangan telah beurat-akar, sudah menyebarang. Ekologi kawasan Malang yang berada di dataran tinggi debgan karakter topografinya yang berbukit-bukit mensyaratkannya untuk terus-menerus beradaptasi secara tepat guna terhadap alam sekitarnya yang dikepung oleh gunung api, diiris-iris oleh sungai-sungai purba dan berhutang di sana-sini.

Keberhasilan “Wing Malang” untuk memajukan daerahnya adalah buah keberhasilan kejuangan panjang itu. Tidak mudah untuk hidup layak di Malang, nanun bukan tiak mungkin kehidupan yang layak-sejahtera ditumbuhkembangkan di Malang, tergantung kegigihan juangnya. Pendek kata, spirit “kejuangan” telah “nyego-jangan (nasi dan lauknya)” bagi warga Malang.

Sejarah Kejuangan Panjang di Malangraya

Malangraya pernah menjadi “titik pertahanan terakhir dari perjuangan Trunojoyo dan Karaeng Gelengsong”, dengan menjadikan topogradlfi “yang terlindung” di bukit Selokurung sebagai “benteng alam” — suatu bukit yang merupakan “anak Gunung Kelud” sisi Utara di Ngantang, Selain itu, di daerah tengah Malangraya (kini areal pusat Kota Malang), pada medio abad XVIII Untung Surapati dan para lasykarnya melakukan konsulidasi untuk kemudian mendeklarasikan diri sebagai Adipati Winanagara yang berkedudukan di Pasuruan.

Setelah VOC berhasil mengalahkan Untung Surapati di Pasuruan, sanak keturunannya melanjutkan perjuangan di daerah Malang berfusi dengan Tumenggung Malayakysuma, Pangeran Singosari, Sunan Mas, dsb. pada tahun 1767-1781. Geografis Malang yang berada di pedalaman Jawa Timur, berkunjung gunung-gunung, diiris-iris semlah sungai dan berhutang di beberapa tempat kala itu, cocok untuk dijadikan “terugvaal basis (basis pengunduran diri untuk kepentingan konsulidasi).

Perimbangan surupa itu terjadi pula pada akhir perlawanan Pangeran Diponegoro manakala berkecamuk “Perang Jawa (1825-1830)”. Demikian perlawanan Diponegoro dan para lasykarbya berasung-angsur didesak oleh VOC lewat strategi perang “Benteng Stelsel”, maka sisa lasykar Diponegoro pun eksodus ke sejumlah daerah di Jawa Timur, utamanya pada sub-area selatan di sekitar deretan Pegunungan Kendeng (Kapur) Selatan, tudak terkecuali di kawasan Malang Raya.

Bahkan, para eks lasykar Diponegoro itu hingga kini dihormati di sejumlah desa pada kawasani Malangraya sebagai tokoh masyarakat dan inovator bagi daerahnya di masa lampau. Malahan, tak jarang diantaranya diposisikan sebagai “sing bedah Karawang” dari suatu desa atau dusun, dan makam darinya dijadikan “punden” desa atau dusun. Musalnya, Eyang Joego yang menjadi ulama di era kejuangan Dipinegoro di pundenkan di Kesamben dan Gunung Kawi

Pada Nasa Hindu-Buddha, Malangraya tercatat pula sebagai palagan perang, utamanya Hantang (kini Ngantang). Palagan Hantang menurut prasasti Hantang (1135Masehi)merupakan ajang kemenangan (kejayaan) Kadiri dibawah pemerintahan raja Jayabaya atas Hemabhupati yang berupaya untuk melepaskan (panuwal) kawasan timur Gunung Kawi dari kekuasaan Panjalu (Kadiri). Kementan itu diabadikan dengan perkataan ditulis besar dengan huruf kwadrat bertuliskan “Pangjalujayati”.

Semenjak itu, kawasan di timur Gunung Kawi menjadi “daerah pendudukan” kerajaan Kadiri, yang pada akhir abad XII hingga awal abad XIII dikuasakan di bawah keakuwuan Tumapel di bawah pimpinan Tunggul Ametung. Kawasan timur Gunung Kawi (sebagian Malangraya sekarang) baru berhasil lepas dari pendudukan Kadiri ,(Pangjalujayati) sejak tahun 1135 Masehi setelah Ken Angrok berjuang lama untuk merebut kekuasaan dari tangan Akuwu Tunggul Ametung yang menjadi ujung tombak kekuasaan Kadiri di kawasan ini, dan kemudian berhasil mengalahkan Kerajaan Kadiri yang hampir satu abad (1135-1222 Masehi( mengkolonisasi kawasan timur Gunung Kawi.

Kembali daerah Ngantang, tepatnya di Ganter (diprakirakan kini berlokasi di Desa Ganter), terjadi petustuwa “the turning point’ (titik balik)”, dimana kali ini Tumapel di timur Gunung Kawi dibawah pimpinan Ken Angrok (Sri Ranggah Rajasa sang Amurwabhumi) memperoleh kemenangan atas Kadiri yang diperintah oleh raja Seenggaknya (Kertajaya, alias Dandang Gendis)”.

Demikianlah, “sejarah berulang”, dimana daerah Hantang (kini “Ngantang”) menjadi palagan bagi peristiwa heroik. Kisah serupa berulang pada perjuangan Trunojoyo, yang menjadikan bukit Selokurung di Ngantang sebagai benteng pertahanannya yang terakhir. “gostrategis” Ngantang lantaran berkunjung gunung itulah yang menjadi pertimbangan bagi Pemerintah Pendudukan Jepang untuk menjadikan Ngantang sebagai basis Marinirnya. Demikian pula, pasca Agresi Militer I tahun 1947, Ngantang dijadikan sebagai basis pertahanan gerilyawan RI, dengan garis demarkasi (statesquoline) antara Belanda-RI di Pujon (sekitar Monumen Jeep).

Daerah Kotapraja Nalang dan Lawang, sejak Masa Hindia-Belanda dipilih sebagai basis angkatan perangnya, sehingga Malang mendapat predikat sebagai “Kota Garnizoen”. Pemposisiannya yang demikian berlanjut hingga pasca kemerdekaan RI hingga kini, dimana TNI AD (Kostrad, Kavaleri, Zeni Tempur, Arhanud, Linud, bandara militer Abdul Rahman Saleh, tempat pelatihan Marinir, dsb. ) dan sejumlah fasilitas militer di bawah Kodam Brawijaya ditempatkan di Malang, utama di daerah Rampal — yang telah menjadi kompleks tangsi militer sejak Masa Hinfia-Belanda. Oleh karena itu pula, maka Museum Brawijaya di tempat di Malang. Demikian pula, ajang perjuangan TRIP dan TGP bermula dan berpusat di Kota Malang. Monumen “Palang Merah” terkait dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI pun berada di Malangraya, tepatnya di Peniwen

Malangraya Ibarat “Kawah Contridimuko”

Darat panjang peristiwa kejuangan, geostrategis dari sudut kepentingan militer serta keberadaan banyak fasilitas serta institusi militer di Kota Malang dan di Malangraya pada umumnya, menjadi alasan yang tak menyalami bahwa Kota Malang adalah suatu “Heroes City” dan sekaligus Malangraya adalah “Kawasan Kejuangan Lintas Masa”. Geigrafis Malang seakan telah ditakdirkan untuk dijadikan “terugvaal basis (basis pengunduran diri(” oleh berbagai pihak. Bahkan, ketika gembong teroris dr. Asy’ari dikejar-kejar di berbagai tempat persembunyiannya, pada lahirnya menjadikan suatu tempat di Kota Batu sebaik titik akhir petualangan jeterorisannya

Malang City Tour menjadi salah satu wisata favorit di Kota Malang. (Foto: Humas Pemkot Malang)

Upaya konsolidasi politik di daerah Malang juga tergambar pada tahun 1966, dimana perancangan gerakan “Come Back PKI” pada tahun 1967 yang berbasis di Blitar Selatan juga dikonsultasikan secara tersembunyi di Malang. Belajar dari kasus-kasus itu, musti ada kewaspadaan dari warga Malang, bahwa di balik kehidupan warganya yang tenang-damai dan nuansa alam yang elok,sejuk-segar itu, siapa tahu suatu “skenario” tengah disusun untuk dipentaskan — tak harus aksinya dilakukan di Malang, namun bisa di daerah luar Malang, namun konsolidasinya di lakukan di Malang.

Tidak sedikit lembaga pendidikan,, termasuk lembaga pendidikan tinggi, balai Diklat, dan tempat-tempat pembelajaran lain di antero Malang, sehingfa Malang dapat diibaratkan sebagai “kawah codrodimuko” dalam kisah pewayangan, sebagai ajang untuk menggodok suatu program dan untuk meningkatkan kekuatan — kebetulan, di teras I Candi Jsjaghu didapati relief yang menggambarkan “kawah Candradimuka” pada relief cerita Kunjarakarna.

Tidak sedikit momentum positif digodok perencanaannya dan dibidani kelahirannya di Malang. Kongres pertama Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di lakukan di Malang, pada eks Societiet Concordia di pojok utara Alon-alon Kotak pada tahun 1945. Begitu pula, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (UCMI) lahir di Malang, dan banyak lagi. Konsulidasi kekuatan untuk gerakan bermanfaat mustinya yang diproses di Malang, dan bukan yang sebaliknya. Oleh karenanya, marilah ke depan menjadikan Malang sebagai “bumi kelahiran” bagi apapun yang berkontribusi bagi kebaikan. Jangan dicorengi dengan upaya “sluman-slumun” untuk gerakan yang tak membawa kebaikan. Warga Malang lah mustinya menjadi “penjaga” yang senantiasa siaga dan waspada

City Tour Tematik-Kontekstual” Bertema “Kejuangan”

Atas realitas historis Malang sebagai “kawasan kejuangan lintas masa” itulah, maka tema Tour de Macyto #2 kali ini adalah “Malang Heroes City'”. Jelajah historis berkeliling kota ini memang hanya mengenai sepenggal “sejarah miluter dan sejarah kejuangan” di Era Kolonial dan Masa Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan RI” di wilayah Kiota Malang.

Kendati demikian, cukuplah kiranya untuk memberikan sekilas gambaran mengenai itu. Gambaran yang lebih luas mustilah dengan menjelajah kawasan Malangraya, yang dilakukan dengan bentuk kegiatan lain.

Sumnggo berrkenan untuk turut serta dalan kegiatan ini. Waktu pelaksanaan sengaja diitepatkan dengan momentum “Hari Pahlawan” pada Sabtu 10 November 2018 mendatang. Semogo pihak Kodim Kota Malang dan Korem Malang, Museum Brawijaya, Komunitas Sejarah dan Budaya, serta insan pers berminat untuk memitrai kegiatan ini. Salam “juang”. Nuwun.

Kisabra, 17 Oktober 2018
Patembayan CITRALEKHA

Dwi Cahyono

 

*Arkeolog dan sejarawan Universitas Negeri Malang

Pembaca Terakota.id bisa mengirim tulisan reportase, artikel, foto atau video tentang seni, budaya, sejarah dan perjalanan ke email : redaksi@terakota.id. Tulisan yang menarik akan diterbitkan di kanal terasiana.

 

2 KOMENTAR

Tinggalkan Komentar

Silakan tulis komentar anda
Silakan tulis nama anda di sini