Iklan terakota

Terakota.idSutomo atau lebih dikenal sebagai Bung Tomo, merupakan tokoh pembakar semangat para pejuang untuk melawan penjajah Belanda. Pidato Bung Tomo di radio membangkitkan semangat perjuangan Arek-arek Surabaya dalam pertempuran 10 November 1945. Pahlawan nasional yang pernah menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi era Presiden Sukarno ini sempat membangun usaha percetakan milik veteran perang.

Percetakan Balapan, berkantor di Jalan Glintung Nomor 32 Kota Malang. Pada 1950-an Sutomo menyewa sebuah rumah untuk perusahaan percetakan. Penelusuran Terakota.id percetakan itu dikelola mendiang purnawirawan Kapten Mulyadi. Tuti Musiwati, 65 tahun, putri ke tiga Mulyadi dari delapan bersaudara, menceritakan bangunan itu menjadi kantor percetakan sekaligus rumah tinggalnya.

“Saya lahir dan besar di rumah peninggalan Belanda itu,” katanya.

Ruang tamu sekaligus berfungsi menjadi kantor dan ruang kerja para pegawai. Bahkan sejumlah pegawai juga tidur di salah satu kamar di rumah itu. “Saya tak tahu model kerjasamanya, bapak menjabat Direktur. Dipercaya mengelola percetakan,” ujarnya.

Percetakan menggunakan mesin cetak modern kala itu. Didatangkan dari Jerman, mempekerjakan 15 pegawai. Empat pegawai mengurusi administrasi, selebihnya bekerja di bagian produksi. Seluruh mesin telah menggunakan motor listrik untuk menggerakkan mesin cetak. Terdiri dari dua mesin cetak kecil dan dua mesin cetak besar beserta sebuah mesin potong.

Percetakan menempati lahan seluas 1.600 meter persegi. Setiap tahun, mereka kompak liburan bersama. Terkesan kompak dan persaudaraannya kuat. “Seperti keluarga sendiri,” tutur Tuti.

Termasuk Bung Tomo, akrab dengan karyawan. Menganggap para karyawan seperti keluarga. Saat berada di Malang, katanya, Bung Tomo menyempatkan mampir untuk menyapa pegawai dan melihat perkembangan percetakan. “Pakde Tomo  akrab dengan pegawai, orangnya supel,” katanya.

Bung Tomo sering bercanda dengan para pegawai. Pada masa 1960-1970 menjadi masa keemasan percetakan Balapan. Setiap hari order cetakan menumpuk. Mulai undangan, buku pelajaran, kartu nama sampai karcis bus kota juga mencetak di situ.

Bahkan para pegawai sampai kewalahan dan harus lembur untuk menyelesaikan pesanan.Tuti yang saat itu tengah menempuh pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) ikut dilibatkan membantu menata dan menjilid buku pelajaran sekolah yang dipesan. Dia dan sekitar delapan adik dan sepupunya membantu pekerjaan itu.

Selepas sekolah, Tuti membantu sampai pukul 16.00 WIB. Setelah itu mereka belajar sampai pukul 18.00 WIB, lantas mereka meneruskan pekerjaan sampai pukul 21.00 WIB. “Kami dibayar, senang untuk jajan,” kata Tuti.

 

img_20151029_162918
(Repro) Aktifitas kerja di dalam percetakan Balapan

Mencetak Dokumen Rahasia.

Sejumlah instansi militer sering mencetak barang cetakan yang bersifat rahasia. Seperti buku dan aneka barang cetakan lain. Mereka menggedor rumah atau telepon malam hari. Mulyadi sigap dan langsung mengerjakan cetakan meski harus lembur diluar jam kerja.

Percetakan Balapan milik Bung Tomo merupakan hasil kerjasama dengan para veteran kemerdekaan. Namun tak ada catatan dan dokumentasi yang menerangkan usaha bersama dengan Bung Tomo.

Sekretaris Legiun Veteran Republik Indonesia Cabang Malang, Muji mengaku tak tahu usaha percetakan milik Bung Tomo. “Veteran Kemerdekaan tinggal 19 orang, mereka tak pernah cerita,” ujarnya.

Pudi Hartoyo, 56 tahun warga Kelurahan Glintung, Blimbing Kota Malang mengenang semasa sekolah dasar sering bermain sepak bola di samping sebuah gedung percetakan. Samping gedung percetakan merupakan lapangan sepak bola. Selepas sekolah, Pudi rutin bermain sepak bola. Di sela bermain sepak bola, ia melihat aktivitas percetakan melalui jendela ruangan percetakan.

Namun ia tak tahu persis kesibukan di dalam percetakan Balapan. Para pekerja sengaja membuka jendela untuk sekedar mencari udara segar dan angin. “Saya tak tahu, tak pernah masuk,” kata Pudi pengusaha biro perjalanan yang membuka usaha tak jauh dari bekas percetakan Balapan.

Dia hanya mengingat jika siang berjajar tiga truk di belakang percetakan. Truk tersebut mengangkut barang cetakan dari percetakan Balapan.  Bagian belakang rumah berdiri aula seluas lapangan bulu tangkis. Aula itu berfungsi menjadi tempat produksi percetakan. “Saat siang jendela di belakang dibuka, terlihat pegawai percetakan sibuk di depan mesin cetak,” ujarnya.

 

(Terakota.id) Bangunan klasik percetakan dipugar total, berubah menjadi toko
(Terakota.id) Bangunan klasik percetakan dipugar total, berubah menjadi toko

Kalah Bersaing

Belakangan usaha percetakan surut karena lebih banyak perusahaan percetakan yang baru dengan mesin lebih modern. Persaingan ketat, percetakan baru menggunakan mesin dengan produksi lebih cepat. Percetakan Balapan kalah modal, terutama menghadapi pengusaha keturunan Thionghoa.

“Pribumi jelas kalah modal,” ujarnya. Pada sekitar 1990 an, Mulyadi tak lagi mengelola percetakan. Mulyadi bersama keluarganya keluar dari rumah yang merangkap tempat produksi percatakan yang dirintis sejak 1953. Sebagian pegawainya juga keluar dan berhasil mengembangkan bisnis pecetakan. Seperti Sasrawi yang kini menjadi bos percetakan di Bali.

Lokasi percetakan kini berada di Jalan Letjen S Parman, tak menyisakan bekas dan tanda percetakan. Kini di lahan bekas percetakan berdiri rumah toko (Ruko) dua lantai terdiri dari kantor perusahaan  asuransi dan agen kredit kendaraan bermotor. Bangunannya tak menonjol, berbeda dengan sejumlah ruko di deret sampingnya yang dibangun dengan arsitektur eropa.

4 KOMENTAR