
Terakota.id–Ratusan dokter meninggal dunia akibat virus covid-19. Puluhan perawat sudah menjemput kematian. Ribuan nyawa melayang pun terus kian meningkat. Bahkan angka kematian Indonesia paling tinggi se Asia tenggara. Ratusan ribu yang terpapar virus itu juga terus terjadi dan belum menunjukkan tanda-tanda menurun.
Seandainya kita diberikan umur panjang, apa yang bisa kita ceritakan pada generasi mendatang tentang pandemi yang tak kunjung usai ini? Pelajaran apa yang bisa dipetik untuk bahan cerita, renungan, dan pelajaran di masa datang? Kita bisa belajar dari catatan sejarah yang terjadi saat ini. Puluhan tahun yang akan datang pun dengan generasi yang berbeda mereka hanya belajar dari teks tertulis. Teks tertulis itu diproduksi, dibaca, lalu disampaikan ke generasi mendatang.
Jualan Sejarah
Lalu apakah yang bisa dilakukan jika kita tak belajar sejarah? Ini bahasan menarik. Masalahnya, pelajaran sejarah hanya akan menjadi mata pelajaran pilihan di Sekolah Menengah Atas (SMA) dan bahkan akan dihilangkan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Itu rencana dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Tentu saja ide itu mendapat tanggapan beragam dan riuh. Meskipun Kementerian akhirnya membantah dengan tak ada rencana menghapus mata pelajaran tersebut.
Masalahnya, wacana sudah dikemukakan. Sudah menjadi viral dan seperti biasanya setelah mendapat tanggapan beragam, lalu dibatalkan. Apakah kita terbiasa dengan sesuatu dikemukakan dulu, diviralkan, lalu klarifikasi? Seperti perilaku buzzer, upload, viral, hapus.
Penting kiranya kita membahas pentingnya mata pelajaran sejarah. Bagi pemerintah mata pelajaran itu sangat berguna. Sejarah bisa dijadikan bagian penting dalam menjelaskan perjalanan sejarah bangsa ini di masa datang. Ia juga bagus untuk usaha menanamkan nilai kebangsaan dan kenegaraan. Biar masyarakat tidak lupa sejarah bangsa ini. Hal demikian tentu harus ditatanamkan sejak dini. Karena sejarah adalah daya gerak bangsa di masa datang. Bagaimana mungkin sebuah bangsa akan maju tanpa belajar sejarah?
Meskipun kita sama-sama tahu, sejarah itu identik dengan karakter suatu pemerintahan. Misalnya, jika pemerintahannya otoriter, pemerintah akan dengan leluasa untuk membuat muatan isi sejarah sesuai kepentingannya. Perilaku otoriter pemimpinnya tentu tidak akan dicerminkan dalam pelajaran sejarah. Jadi untuk mengetahui karakter suatu pemerintahan lihat saja muatan pelajaran sejarah yang ada.
Bagaimana framing Partai Komunis Indonesia (PKI) era Orde Baru (Orba)? Kita bisa melihat. Bagaimana Pancasila dijadikan “jualan” untuk mengukuhkan kekuasaan zaman itu? Kita bisa membacanya. Bahkan “jualan” Pancasila pun seolah akan diikuti oleh pemerintahan saat ini. Artinya, ada kecenderungan Pancasila dijadikan mantra “penggebug” perbedaan yang ada dalam masyarakat. Sementara Pancasila itu sudah final. Tak ada yang akan menolaknya.
Bisa jadi Pancasila menjadi “mantra” karena ketakutan pemerintah pada gerakan-gerakan yang dianggap “menggoyang” Pancasila. Kelompok-kelompok yang dituduh “penggoyang” itu tidak akan besar manakala implementasi kebijakan pemerintah sudah adil. Menjadi ladang empuk dalam melakukan sebuah gerakan yang mengancam persatuan dan kesatuan negara karena ada sesuatu yang timpang sedang dijalankan. Kemudaian, pemerintah melawannya dengan sekadar wacara tentang Pancasila tersebut?
Bagi saya Pancasila itu sudah final. Yang belum selesai implementasinya saja. Gerakan pengancam Pancasila tidak akan menjadi besar. Semakin diprotes, semakin populer dan semakin percaya diri. Yang jelas tak ada sistem pemerintahan dimanapun yang aman dari gerakan-gerakan pengancam. Tinggal bagaimana mengelolanya. Saatnya hantu-hantu PKI, HTI itu hilang dalam wacana perpolitikan Indonesia. Bukan digembar-geborkan akibat ketakutan sepihak dan kepentingan politik.
Dan lagi, seandainya sejarah ada yang dibengkokkan untuk kepentingan politik masyarakat bisa mengkritisinya. Saat ini tak mudah sebuah teks pelajaran tanpa sorotan masyarakat. Tentu itu beda dengan zaman sebelum ada internet.
Dalam hal ini pemerintah perlu menjadikan sumber-sumber sejarah dalam masyarakat sebagai rujukan pula. Meskipun sering kita mendengar bahwa sejarah itu milik pemenang. Tetapi era sekarang pemenang tidak akan bisa berbuat seenaknya karena teknologi untuk mengawasinya itu sudah sedemikian canggih.
Tak Mau Belajar
Lepas dari kekurangan soal pelajaran sejarah yang sering dinonopoli penguasa bukan serta merta pelajaran sejarah di sekolah terus dihapuskan. Itu bukan solusi. Pelajaran sejarah juga penting dalam pembentukan karakter anak didik. Perkara sejarah itu soal hafalan memang kenyataannya itu.
Dengan sejarah anak didik akan mengetahui peristiwa, karakter tokoh, dinamika sejarah bangsanya untuk dijadikan teladan di masa datang. Tentu saja, pembentukan karakter tak bisa diciptakan hanya dengan pelajaran sejarah. Harapanya suatu saat nanti jika menjadi dewasa, anak didik tak melupakan sejarah.
Minimal menjadi bahan pertimbangan dalam membuat keputusan. Perkara sejarah itu membekas atau tidak bagi generasi mendatang, tugas kita semua meninjau ulang. Juga, apakah pelajaran sejarah sudah sesuai dengan kebutuhan saat ini dan generasi mendatang, perlu rekonstruksi proses pembelajaran sejarah. Jadi bukan serta merta dihapus begitu saja.
Pelajaran sejarah kita selama ini memang masih sekadar hafalan, belum membuat kesadaran penuh karakter seseorang benar-benar belajar dari sejarah. Pelajaran sejarah sebenarnya bukan ornamen yang hanya dikenang, disampaikan lalu dilupakan. Sejarah itu cara seseorang untuk belajar dan memutuskan untuk kepentingan masa datang. Bahan-bahan sejarah telah memberikan teladan, hanya kita sering tidak meneladaninya.
Kita bisa ambil contoh sederhana sebagaimana saya kemukakan dibagian awal tulisan ini. Apakah pelajaran yang bisa kita petik dari kematian ratusan dokter akibat covid-19? Adakah kebijakan pemerintah yang revolusioner untuk menekan itu? Apakah masyarakat juga semakin sadar atas bahayanya virus covid-19 dengan memakai masker, jaga jarak dan sering cuci tangan? Adakah pelajaran (sejarah) sejak virus ini berkembang di Indonesia membuat kita benar-benar sadar?
Pemerintah dan sebagian masyarakat tidak kendor dalam melakukan kampanye terkait pencegahan virus covid-19. Tetapi masyarakat juga mulai bosan karena tak ada ketegasan pemerintah sejak awal munculnya virus ini. Ini bukan menyalahkan pemerintah. Bukan itu. Ini refleksi dan belajar data dari peristiwa, sebut saja pelajaran sejarah. Paling tidak sejarah tentang penanganan pandemi covid-19.
Masih ingat guyonan para pejabat Indonesia saat virus ini mulai mewabah di beberapa negara? Kebijakan apa yang sudah dibuat dengan memandang sebelah mata masukan masyarakat umum? Sebelum virus ini ditekan apa kebijakan yang dibuat? Masih ingatkah istilah new normal? Mengapa istilah itu muncul sebelum wabah ini benar-benar bisa ditekan? Bukankah itu contoh kebingungan—untuk tak mengatakan ketidakseriusan pemerintah – dalam menangani virus mematikan ini?
Jadi jangan melulu menyalahkan masyrakat jika mereka mulai bosan dan berkeliaran di jalan-jalan. Jurus apatis biasanya begini, “Biarlah nanti masyarakat yang merasakan sendiri karena susah diatur. Biarah mereka menjadi korban keganasan virus”. Contoh susah diaturnya masyarakat tersebut bukankah ada contohnya? Dan banyak pertanyaan lain yang tak mungkin saya sebutkan satu per satu. Semua pertanyaan itu menegaskan pentingnya kita belajar sejarah. Tentu saja belajar dalam arti sesungguhnya, bukan sekadar hanya hiasan kosmetik.