Jangan Menghina, Apalagi Pada Presiden

Iklan terakota

Terakota.id-Awas, jangan menghina, apalagi pada presiden. Menghina adalah perbuatan tercela. Menghina pada siapapun. Tak jarang orang yang punya lebih tinggi kedudukan atau status ekonomi, lebih mampu secara materi, lebih pintar, dan lebih sempurna fisik suka menghina pada mereka yang lemah. Hinaan sering muncul karena faktor tak suka, cemburu, dan upaya menjatuhkan orang lain.

Si kaya seperti selalu punya pembenaran bisa menghina yang miskin. Demikian si cantik dan tampan, hinaan sering dilakukan pada si cacat fisik. Demikian pula dengan si pintar. Tak jarang si pandai menghina dan merendahkan si bodoh. Apalagi si kaya, tak jarang para majikan kaya itu yang menghina para bawahan yang menjadi buruhnya. Para bos besar itu seperti sah-sah saja menghina anak buahnya.

Penghinaan juga muncul bisa jadi dilakukan oleh si lemah pada si kuat. Bisa jadi si miskin berani menghina si kaya karena cemburu. Bisa juga si buruk muka menghina si rupawan lewat sisi kelemahan yang dimiliki si tampan atau si cantik. Mungkin juga penghinaan bisa terjadi antara bawahan pada atasan, antara anak buah pada bos, antara rakyat pada pemimpin, termasuk antara warga negara pada presidennya.

Penghinaan pada Presiden

Rencana DPR menghidupkan kembali pasal penghinaan pada presiden, yang sudah masuk dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) memicu banyak perdebatan. Komunitas pers menilai sejumlah pasal dalam RKUHP yang akan disahkan DPR pada akhir September ini dapat mengancam kebebasan pers. Dikhawatirkan pengesahan RKUHP hanya akan menyuburkan praktik kriminalisasi pada insan pers.

Pasal terkait penghinaan pada presiden sejatinya sudah tak sesuai lagi dengan zaman sekarang. Sejumlah pasal tentang penghinaan itu merupakan peninggalan zaman kolonial yang sudah tak relevan lagi dengan kondisi Indonesia saat ini yang menganut sistem demokrasi. Sejumlah pasal yang ada dalam RKUHP justru dapat memperburuk penegakan demokratisi di Indonesia.

Sebelumnya sejumlah pasal terkait penghinaan pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006. Melalui putusan Nomor 013-22/PUU-IV/2006, MK pun menerima permohonan gugatan tersebut serta mencabut pasal tentang menghina presiden karena dinilai bertentangan dengan semangat demokrasi.

Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) mengritisi keberadaan pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP. Penerapan pasal penghinaan pada presiden dianggap mengembalikan watak kolonial dan menumbuhkan kanker demokrasi. Ini tentu sebuah kemunduran dan mengancam kebebasan pers dan demokrasi di negeri ini.

Merujuk pada Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers telah mencatat sedikitnya 10 pasal dalam RKUHP yang bisa mengancam kebebasan pers dan mengawatirkan munculnya kriminalisasi. Menurut data dari AJI, dalam lima tahun terakhir setidaknya ada 16 kasus kriminalisasi terhadap jurnalis. Kondisi ini bisa mengidikasikan semakin buruknya kebebasan pers di Indonesia.

Menurut data dari Reporters Without Borders for Freedom of Information bahwa indeks kebebasan pers di Indonesia jalan di tempat. Selama tiga tahun berturut-turut indeks kebebasan pers Indonesia masih menempati peringkat 124 dari 180 negara. Kebebasan pers sangat terkait dengan bagaimana pers bisa punya ruang yang leluasa dalam melakukan liputan dan menyampaikan fungsi kritiknya.

jangan-menghina-apalagi-pada-presiden
Aksi jurnalis di Malang memperingati hari kemerdekaan pers 3 Mei 2018. (Foto : Deny Irwansyah).

Dalam RKUHP, pasal penghinaan presiden diatur dalam pasal 239 ayat (1). Dalam pasal dimaksud disebutkan bahwa setiap orang di muka umum yang menghina presiden dan wakil presiden akan dipidana dengan hukuman penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Kategori IV (Rp 500 juta). Sementara pada pasal 239 Ayat (2) menyebutkan bahwa perbuatan itu tidak merupakan penghinaan jika “jelas dilakukan untuk kepentingan umum, demi kebenaran, atau pembelaan diri”.

Mengritik Bukan Menghina

Presiden adalah pejabat publik, yang keberadaanya harus terbuka dengan kritik, komentar, dan pendapat terkait jabatannya. Tentu kritik yang tertuju pada presiden adalah wujud kritik secara terlembaga. Kritik yang diperkenankan adalah kritik yang tak terkait dengan presiden sebagai pribadi. Mengritik bukan menghina, sehingga tak bisa orang mengritik dipenjara dengan tuduhan penghinaan.

Namun ada sejumlah kasus yang menjadikan presiden sebagai sasaran penghinaan. Penghinaan pada presiden bisa berwujud tulisan, gambar, dan rekaman suara yang menyerang kehormatan presiden dan wakil presiden. Masyarakat sempat dihebohkan oleh RJ alias S, bocah 16 tahun, yang bersama temannya membuat video dengan durasi 19 detik menghina Jokowi. Sementara itu, SD (20) dan FZ (16) menjadi tersangka atas dugaan melakukan penghinaan kepada Presiden Jokowi lewat aplikasi pesan WhatsApp.

Penghinaan serius pada presiden juga telah ditindak. Contohnya remaja berinisial MFB, menjadi terdakwa penghina Presiden Joko Widodo dan Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, divonis 1,5 tahun penjara dalam sidang vonis di Pengadilan Negeri Medan, Selasa (16/1/2018). Dia juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 10 juta subsider satu bulan kurungan.

Masih banyak contoh kasus lain soal penghinaan pada presiden. Sejumlah kasus penghinaan yang terjadi banyak dilakukan lewat media sosial. Beberapa kasus setelah diproses memang memenuhi unsur-unsur penghinaan, bukan dalam rangka mengritik. Penghinaan yang dilakukan lebih didasari karena alasan kebencian. Sejumlah kasus penghinaan yang divonis bersalah lebih banyak dilakukan oleh pribadi.

Batasan antara kritik dan penghinaan memang sangat tipis. Mengritrik dengan menghina sering dirancukan. Mengritik sebagai salah satu upaya untuk tujuan perbaikan tak jarang justru bisa dinilai sebagai menghina. Untuk itu pers tak bisa dikriminalisasi ketika sedang melakukan kritik dan tak bisa kritikan itu dinilai sebagai penghinaan.

Khawatirnya kalau kritik dinilai sebagai penghinaan, maka tak ada lagi orang yang berani mengritik. Padahal fungsi kritik sebenarnya sangat bagus untuk upaya perbaikan. Sikap masyarakat dan pers sangat berbahaya kalau kemudian alergi untuk mengritik. Bagi pihak yang dikritik juga berbahaya kalau kemudian tak legawa dan marah kalau di kritik. Fungsi check and balance antara penguasa dan masyarakat jadi tak berjalan ideal.

Menghina memang tak selayaknya dilakukan oleh siapapun. Karena penghinaan sesungguhnya bertentangan dengan perwujudan kehidupan yang demokratis. Sementara mengritik itu bukan menghina. Selalu ada nilai positif dari sebuah kritikan, karena kritik muncul dengan semangat perubahan ke arah yang lebih baik. Jangan takut mengritik, namun takutlah menghina, pada siapapun. (*)

 

 

 

Tinggalkan Komentar

Silakan tulis komentar anda
Silakan tulis nama anda di sini