
Terakota.id–Ketepatan dan patokan waktu sebagai acuan kegiatan penduduk Kota Malang dan administrasi kotanya harus beracuan pada satu pedoman penunjuk waktu kota. Jam kota (Bahasa Belanda : stadsklok) perlu dibangun sebagai pedoman ini. Pedoman sebelumnya berasal pada jam-jam yang berada pada menara-menara gereja yang otomatis dimiliki dan beracuan pada otoritas gereja tentang ketepatannya.
Melalui usulan dewan kota serta berbagai pertimbangan, desain Jam Kota Malang disetujui oleh Walikota (Burgemeester) saat itu, H.I. Bussemaker (Menjabat 1919-1929). Pada masa itu, Malang gencar berbenah sebagai mandat menjadi sebuah Gemeente/Kotapraja baru, dan penerus misi dan visi 2 (dua) walikota terdahulu. Desain Jam Kota tersebut dibuat hampir berbarengan dengan selesainya pembangunan Balai Kota (Stadhuis) Malang. Yakni sekitar pertengahan 1926, karya arsitek lokal terkenal Malang, Van Os. (Harian De Indische Courant, 22 Juni 1926).
Desain Jam Kota tersebut dibangun sebagai pengganti jam kota sederhana sebelumnya. Awalnya terdiri dari sebuah tiang kolom setinggi 6 meter dengan tiga kelopak mahkota/palung bunga menurut ketiga arah yang menjadi kaki pertigaan. Pertigaan lokasi jam kota ini mempertemukan 3 ruas jalan; yaitu Jalan Celaket (Tjelaketstraat), sekarang Jalan Jaksa Agung Suprapto, Jalan Kayutangan (Kajoetanganstraat), sekarang Jalan Basuki Rachmat dan Jalan Oro-oro Dowo (Oro-oro Dowostraat) sekarang Jalan Brigjen. Slamet Riadi. Lokasi dilengkapi trotoar ramah pejalan kaki, penataan lebar lajur sesuai standar lalu lintas bagi volume mobil yang melintas maupun berbelok. Serta ‘pulau’ atau median pemisah jalur.
Dalam desain tersebut, disediakan kolom sebagai pemegang/tumpuan arah kota tujuan (afstandwijzer) yang dapat memuat iklan/pariwara pada badan penyangga jam kota tersebut. Iklan atau pariwara/reklame tersebut tidak permanen, dipasang sesuai kontrak dengan Kotapraja/Gemeente Malang. Media iklan/pariwara/reklame terbuat dari bahan tembus pandang dengan bagian tengah dapat diberi lampu sebagai penerang iklan/pariwara tersebut saat malam hari.

Data kapan jam tersebut resmi digunakan, penulis belum mendapatkan datanya. (kemungkinan 1 April 1927, sebagai kado HUT Gemeente Malang). Lokasi jam kota Malang sangat strategis, mengingat sekelilingnya terdapat pertokoan mewah di masanya, Winkel Complex Lux (Toko Semarang, sekarang Toko Avia dll), kantor pusat Aniem (Sekarang PLN), dan rumah dinas Kontrolir (Controleur; Bhs. Belanda) Malang, yang kemudian juga rumah Asisten Residen Malang (pindah dari Alun-alun Selatan ke rumah pojok Kayutangan dengan Oro-oro Dowo) pada tahun 1931.
Kontrolir adalah adalah sebuah jabatan pemerintahan yang pernah ada di Indonesia pada zaman Hindia Belanda. Dalam penyelenggaraannya, dibentuk sebuah jabatan fungsional di antara pemerintahan Belanda dan bumiputera yang hanya dapat dijabat oleh orang kulit putih. Sifatnya nonstruktural dan berfungsi sebagai penghubung antara pemerintah Belanda dengan pemerintah bumiputera.
Lokasi Jam Kota Malang yang strategis, pemasang iklan/pariwara/reklame ibarat antre dan berebut. Pemasangan jam kota menjadi semacam tren/gaya yang menjangkiti kota-kota baru (gemeente), ibukota karesidenan dan kabupaten dengan masalah yang hampir sama. Retribusi serta tagihan listrik, -karena jam kota lazim menggunakan listrik- serta estetika pemasangan iklan/pariwara menjadi masalah klasik dimana pun jam kota didirikan.
Akibat mahalnya biaya listrik jam kota ini, tercatat satu jam kota di pertigaan tersebut diambil atas seijin dewan kota untuk dipindahkan ke kantor Residen Malang yang baru. Setelah 1931 Residen Pasuruan sebagai penanggung jawab afdeling Pasuruan berpindah pusat ke Malang, sekaligus sebagai ibukota Karesidenan Malang. Pemindahan satu jam kota ke kantor Residen Malang dijadwalkan pada Senin, tanggal 26 April 1937. (Harian Soerabaijasch Handelsblad 13 April 1937).
Saat otomatisasi lampu lalu lintas, lokasi jam kota Malang menjadi sebuah polemik dan diskusi panjang antara dewan kota dan walikota. Keberadaan trem uap yang melintas Kayutangan dan makin ramainya pelintas menjadi pertimbangan. Sehingga pemasangan lampu lalu lintas otomatis dipasang belakangan, dibanding persimpangan lainnya.
Keindahan dari riuh rendah pemasangan iklan/pariwara/reklame, sejak 1929 menjadi perdebatan pada komisi kecantikan tata kota, pengurus/dinas, walikota dan dewan kota terhadap keindahan lanmark kota. (Harian Indische Courant, 20 Mei 1935). Di buku perjalanan trem uap Malang Stoomtram Mijs. (Officieele Reisgids) lokasi tersebut lazim disebut ‘zigweg naar Batoe’.
Hingga kini di era milenial, kebijakan daerah bebas iklan/pariwara di sekitar jam kota Malang (yang notabene adalah lanmark kota) dan kota-kota lain selalu menjadi polemik. Silih berganti selaras bergantinya pimpinan dan dewan kota.

Jam kota (stadsklok) Malang, lokasi legendaris tempat kaum muda, komunitas berjanjian untuk menjadi tempat berkumpul. (Harian Indische Courant, 26 Juli 1930). Pertemuan awal urusan bisnis bisa berawal juga di jam kota ini, berlanjut ke Societeit Concordia atau Rumah Makan Oen untuk ditindak lanjuti ke kantor-kantor pemerintahan dan bank yang menyebar tapi terpusat di Alun-alun Malang. (Harian De Kourir, 30 Oktober 1929).
Bagi kaum muda, lokasi tersebut akan berlanjut KPM!… tahu arti KPM? KPM start di jam kota itu! KPM adalah jalan-jalan sore Kayutangan-Pecinan-Mulih (pulang)!… sambil membeli gula-kacang, gulali, arbanat dan kacang rebus seantero Kayutangan yang dijajakan secara acung oleh penjualnya, atau kudapan hangat; bakso atau cwiemi Malang!
Ini mirip ritual kaum muda Malang lintas masa. Sejak era modernisasi Kayutangan 1930-an hingga era 90-an. Menjelang Kayutangan redup kalah bersaing dengan berdirinya mal-plaza yang menyebar seantero kota.
Jam kota (stadsklok) Malang, beserta afstandwijzer-nya semoga abadi, tertib dalam perawatan, tepat waktu sesuai fungsinya dan makin cantik. Tidak riuh asesori dan iklan/reklame atau pariwara.
Salam pemerhati dan pengumpul serakan info sejarah!

Pemerhati Sejarah dan Cagar Budaya, Assesor Kepemanduan Museum.