Jalan Panjang Seorang Geologis

Andang Bachtiar dan Penyelaras meluncurkan album geopuisilosofi kedua dengan label "Mata Air Mata" di Ubud Hotel and Cottage Malang. Venue yang pagar bawahnya berbatasan dengan Sungai Kalimetro pada Sabtu, 11 Maret 2023. (Foto: Yono Ndoyit).
Iklan terakota

Terakota.ID–“… Cukup sudah kerja gegap gempita

Dengan perintah dan kuasa

Citra gemerlap silau cahaya…

Membutakan rasa… Jadi myopia…

Sudah saatnya bekerja dalam diam

Dengan bijak pengetahuan

Jauh dari pusat kuasa…

Meneguhkan setia… Menjaga cakrawala…”

Sebagian dari lirik lagu dan puisi yang berjudul Titik Belok karya Andang Bachtiar dalam album keduanya. Lirik yang dengan segera dapat diterjemahkan sebagai isyarat akan pengunduran diri dari pesona sebuah panggung gemerlap namun baginya membutakan rasa. Arena yang puluhan tahun menjadi medan pergumulan dan gairahnya.

Sebagai catatan, Andang Bachtiar, geolog yang lulus SMA Negeri 3 Malang (Bhawikarsu) tahun 1977 saat berumur 16 tahun, dalam karirnya pernah menjadi Ketua IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia) selama dua periode: 2000 – 2002 dan 2002 – 2005. Sejak 2002, aktif sebagai anggota Dewan Pakar Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas (FKDPM) yang pada 2014 berubah nama menjadi Asosiasi Daerah Penghasil Migas (ADPM). Andang juga pernah membantu pemerintah dengan menjadi Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) masa bakti 2014 – 2019, namun mengundurkan diri pada tahun 2017 yang salah satu alasannya adalah karena tidak berjalannya secara optimal fungsi pengawasan dari DEN. Dia juga pernah menjadi Tenaga Ahli di Kementerian ESDM pada tahun 2015 – 2016 serta Ketua Komite Eksplorasi Nasional (KEN) dari April 2015 hingga Agustus 2016.

Lirik itu sekaligus menjadi pernyataan sikap akan pilihannya di titik belok untuk menapaki jalan sunyi. Berkarya dalam sepi. Jalan ninja, begitu anak-anak muda zaman sekarang kerap menyebutnya. Jalan yang jauh dari kesan pamer akan suatu pencapaian materi layaknya para pemungut cukai yang ramai jadi sorotan. Jalan pilihan yang ditunjukkannya dalam sebagian syair yang berjudul Kokas:

“… Biar saja kita yang jadi kokas, mereka yang jadi intan

sama-sama kita semua berasal dari arang

kita pancarkan tenaga panas, mereka pamerkan keindahan

sama-sama kita hadir di dalam ruang…”

Seperti kita tahu, adalah fitrah sebagai manusia yang hidup dengan masing-masing perannya di dunia ini untuk hidup berdampak dengan lumrahnya. Dalam lirik Digdaya Tanpa Aji, Andang Bachtiar, yang kala SMA mendirikan Teater Putih di sekolahnya, dengan pendekatan yang subtil seolah memantapkan keyakinannya akan jati diri dan peran yang dia lakoni.

“… Ketika engkau angin, engkau pasti bergerak

Ketika engkau air, engkau pasti basahi

Seperti angin, air, bumi dan api

Ketika engkau api, engkau pasti membakar

Dan kekekalan energi

Ketika engkau bumi, engkau pasti merengkuh

Engkau tak lakukan apa-apa… Dan engkaupun mempengaruhi…

Itulah inti Ma’rifat kuasa… Tanpa harus menguasai…”

 

***

Sabtu, 11 Maret 2023, Andang Bachtiar dan Penyelaras meluncurkan album geopuisilosofi kedua dengan label “Mata Air Mata” di Ubud Hotel and Cottage Malang. Venue yang pagar bawahnya berbatasan dengan Sungai Kalimetro.

Menarik, saat melihat seluruh panitia dan para pemain memakai kaos warna dasar hitam dan puisi dengan desain yang berasal dari beberapa ilustrator yang merespon semua lirik yang ada dalam album. Lima belas desain jumlahnya. Melihatnya, seolah menonton sebuah pameran seni rupa yang berjalan sebelum pertunjukan musik digelar. Ilustrasi itu berasal dari beberapa seniman, budayawan juga pejabat lintas wilayah. Beberapa diantaranya adalah, Duta Besar RI untuk Kerajaan Thailand merangkap UNESCAP, Rachmat Budiman, yang menyumbang ilustrasi untuk lirik Cerdas Merdeka. Leck Budi, seniman yang beberapa tahun terakhir terlihat aktif menjadi kurator pameran seni rupa, merespon lirik Bumi Manusia (Antiklin Bersayap). Seluruh ilustrator tercatat dalam katalog yang dibagikan pada para undangan yang hadir.

Hujan turun cukup deras saat lagu pembuka yang mereka bawakan berjudul “Ngalam Apa Kabar?” belum usai. Semesta Malang dengan segera menjawabnya. Namun pengunjung yang datang makin ramai, memadati tempat pertunjukan. Sebagian dari mereka rela duduk di ruang makan yang bersebelahan dengan ruang pertunjukan karena tidak kebagian kursi, sebagiannya lagi bertahan berdiri di sekeliling ruang pertunjukan. Terlihat juga undangan yang antri registrasi dengan membawa payung saat datang.

“Genre musikku ya genre geopuisilosofi. Genre yang menggabungkan antara geologi, puisi dan filosofi, ” jawab Andang, pria yang lahir di Malang, 7 Oktober 1961, saat ditanya pembawa acara tentang genre musik apa, di sela pertunjukannya. Gabungan itu memang terasa dalam keseluruhan liriknya. Dalam beberapa liriknya, Andang mereinterpretasikan karya filosofis dari sastrawan besar serta ulama yang kemudian dia racik dengan metafora dan istilah geologi. Belajar dari Rumi, Akua Dadalam, Digdaya Tanpa Aji, Bumi Manusia (Antiklin Bersayap) adalah beberapa judul yang mengerucutkan genre tersebut dengan referensinya.

Andang Bachtiar dan Penyelaras meluncurkan album geopuisilosofi kedua dengan label “Mata Air Mata” di Ubud Hotel and Cottage Malang. Venue yang pagar bawahnya berbatasan dengan Sungai Kalimetro pada Sabtu, 11 Maret 2023. (Foto: Yono Ndoyit).

“Koq bisa, istilah-istilah science itu menjadi sebuah karya seni yang bahkan dilagukan,” kata pengajar dari ITS yang datang dari Surabaya, kolega Andang di bidang geologi, saat diminta naik panggung untuk dimintai komentar tentang album geopuisilosofi.

Istilah geopuisilosofi ini sendiri merupakan istilah baru dalam sebuah pertunjukan seni. Mungkin juga satu-satunya. “Karya yang luar biasa,” komentar pendek dari Herman Aga, seniman dan budayawan dari Kota Batu, saat bertemu penulis seusai pertunjukan.

Penampilan Andang sendiri cukup total yang merepresentasikan sebagai seseorang yang lama berkecimpung di dunia teater. Tangannya kerap bergerak mengembang lebar kesana-kemari layaknya seorang teaterawan yang sedang bermonolog. Bahkan dia nampak begitu larut masuk ke dalam arus lirik saat membawakan “Akua Dadalam”, emosinya terhanyut hingga membuatnya harus sekilas melepas kacamata untuk mengusap air mata di akhir lagu.

Lirik-lirik dalam album ini sebagiannya cukup mewakili apa-apa yang menjadi uneg-uneg, pemikiran dan kegelisahannya hingga tersirat kegeramannya selama menjadi seorang geologis. Andang sendiri dikenal sebagai orang yang kritis dalam menyikapi persoalan hidup terutama di bidang geologi. Bahkan, seperti ada dalam tulisan di atas, Dia pernah mengundurkan diri dari anggota DEN ketika menemukan ketidaksesuaian dalam sebuah sistem. Di kata pengantar yang dibagikan dalam bentuk buku kecil, Andang merasa lebih tenggelam walau terasa ringan, lebih terang melihat walau terasa dalam gelap, dan lebih lega karena bisa bersuara biasa-biasa saja – meski terdengarnya nada tinggi dan marah-marah.

Tanpa beban. Karena memang ingin memberikan semuanya ke siapapun yang berniat mendengar, meresapi dan ikut menghayati perjalanan ini. Dalam uraiannya, album geopuisilosofi kedua ini bicara, bernyanyi, bersuara, tentang sesuatu yang lebih hulu daripada yang biasa dipersepsikan orang kebanyakan sebagai hulu. Kalau dari muara sungai ke mata air kita hanya bicara tentang air permukaan, dari hulu sungai ke arah daerah imbuhan kita bicara tentang air tanah; kita bicara tentang lapisan-lapisan bumi pembawa air tanah (akuifer). Uraian yang kemudian secara filosofis dikembangkan menjadi; “Bukan sekedar riak jiwa di permukaan, tapi juga aliran lapisan rasa di bawah permukaan jiwa-jiwa.”

Seperti album geopuisilosofi pertama “Melembutkan Batu”, album kedua “Mata Air Mata” ini juga berasal dari sekumpulan puisi yang ditulis otomatis di gadget-gadget yang dia pegang 25 tahun belakangan ini. Ditulis di lapangan, ditulis di ruang kuliah, di depan batuan, di kemacetan kota Jakarta, di atas pesawat menuju Eropa, di ruang-ruang pertemuan bisnis maupun pemerintahan, di rawa-rawa lokasi pemboran, dan di berbagai tempat lainnya. Dalam pernyataannya, catatan hariannya ini tidak akan pernah jadi album geopuisilosofi tanpa Jalu, Endri, Retno, Andika dan Redy (dan Angga juga Wahyu) yang kemudian menjadi Penyelaras.

“Aku gak ngerti artinya, tapi musiknya asik,” jawab Sugeng Hariadi atau yang akrab disapa Peyek pada penulis, saat ditanya menjelang makan malam, seusai pertunjukan. Jawaban pendek tanpa ulasan panjang lebar. Penulis sengaja mengundang kawan SMA yang menurut pengakuannya hampir tak pernah menonton pertunjukan seperti ini untuk diminta tanggapannya. Dan memang, sepuluh dari lima belas lagu yang Andang Bachtiar dan Penyelaras bawakan sore itu cukup asik dan menghibur. Komposisi yang digarap Andika dan Jalu ini cukup bisa diterima khalayak, tak seperti yang dibayangkan sebelumnya, memaksa kesan terlalu etnik atau teatrikal.

***

Sekitar dua minggu sebelum dirilis, penulis meminta Redy, yang menjadi bagian dari Penyelaras, untuk mengirim seluruh lirik lagu dan puisi dalam album tersebut. Lima belas lagu jumlahnya. Cukup melimpah untuk sebuah album lagu.

Antiklin, delapsi, kokas, dolomit menjadi istilah-istilah geologi yang sedikit memaksa “warga embongan” dan asing dengan pergaulan ilmiah ini, untuk berusaha mengakrabinya, meski belum bisa dikatakan intim sebab “kadung dedelnya” daya serap – padahal, belajar adalah hak mesra setiap warga yang merdeka. Beberapa kawan juga mengatakan kalau baru pertama kali mendengar istilah-istilah itu. Untungnya, dalam goodie bag yang dibagikan pada undangan sebagai suvenir, terdapat buku kecil yang selain berisi seluruh lirik lagu, juga tertulis secara singkat keterangan tentang istilah geologi tersebut.

Bisa jadi, Andang Bachtiar yang mempunyai jejak sebagai pengajar, dengan caranya, sengaja memberi pelajaran baru bagi siapapun yang mau mendengarnya. Setidaknya, dia telah menawarkan hal baru tentang wawasan kebumian pada khalayak tak terbatas.

Sekali lagi, sebagai catatan, pada tahun 2009, Andang mengajar S1 di jurusan Geologi Institut Teknologi Medan (ITM), dan di tahun 2011, dia mulai mengajar rutin S2 di program Magister Geofisika Reservoir FMIPA Universitas Indonesia (UI). Kedua kegiatan mengajar ini dia hentikan pada akhir tahun 2017 karena hijrah ke Paris, Perancis, di awal 2018 untuk merencanakan dan mengeksplorasi migas di sepuluh negara (Eropa, Amerika Utara-Kanada, Amerika Latin, dan Afrika) bersama perusahaan Maurel et Prom, Perancis.

Mungkin juga, Andang Bachtiar, alumnus ITB, yang pernah menjadi produser album Hitam Putih Orche Konser Rakyat Leo Kristi dengan label “Andang Bachtiar & LKers” ini, suatu saat nanti bisa melanjutkan tour pertunjukan musik yang inspiratif tersebut, masuk ke kantong-kantong musisi dan penggemar musik dalam bentuk konser rakyat untuk membuka wawasan geopuisilosofi dalam lirik. Misal, menggandeng musisi lokal dari Alumni Arek Tugu ’88 Malang (SMAN 1, SMAN 3 dan SMAN 4) sebagai band pembuka konsernya.

Sekaligus menyapa “Nawak-nawak di Ngalam” seperti dalam salah satu judul lirik lagu; “Ngalam Apa Kabar?” dan sedikit mengurai Kota Malang dalam perspektif seorang geologis merdeka;

“Ini kota limpahan cinta

Breksi Lava Pasir dan Tuffa

Lapuk luruh menjadi tanah

Dataran tinggi subur merekah…”

Salam baik dan sehat selalu,

Yono Ndoyit, 12 Maret 2023 pukul 17.29 WIB

Di Kedai Rempah Kapi Kopi – Sawojajar 2 Malang