Yusa bersama relawan Covid-19 di RSI Aisyiyah Malang. (Foto: dokumen pribadi).
Iklan terakota

Terakota.id-Yusa Feriyadi sempat tersedu-sedu tatkala menceritakan pengalamannya menjadi sukarelawan penanggulangan Covid-19. Ia sedang amat berduka. Pria berusia 27 tahun itu menangis bukan saat menceritakan pengalaman mengurusi orang-orang yang sekarat menjelang ajal, melainkan saat menceritakan istrinya sendiri yang wafat pada Jumat, 6 Agustus 2021, pukul 19.00 WIB.

“Saya masih trauma setiap kali melihat ruangan tempat istri saya dirawat dan meninggal di situ. Saya sempat merawatnya langsung sampai akhirnya saya kena Covid lagi,” kata Yusa kepada Terakota.id, Rabu malam, 11 Agustus 2021. Obrolan sempat disambung di hari berbeda dan Yusa sendiri masih menjalani isolasi mandiri.

Istri Yusa bernama Siti Nur Latifah, 29 tahun. Pasangan Yusa dan Latifah berumah tangga selama tiga tahun dan dikaruniai seorang bayi laki-laki berumur 2,5 tahun. Sang istri wafat setelah hampir sepuluh hari berjuang melawan serangan virus corona. Siti dirawat di ruangan khusus pasien Covid-19 Rumah Sakit Islam (RSI) Aisyiyah, Jalan Sulawesi 16, Kelurahan Kasin, Kecamatan Klojen, Kota Malang, Provinsi Jawa Timur.

Sebelumnya, Yusa terpapar virus corona pada 2020. Ia terinfeksi Covid-19 untuk kedua kalinya empat hari setelah istrinya dinyatakan positif kena Covid-19. Pasangan suami-istri itu dirawat di bilik berbeda dalam ruangan yang sama di RSI Aisyiyah.

Yusa sendiri sejatinya seorang staf houskeeping di RSI Aisyiyah. Sebagai housekeeper, Yusa turut bertanggung jawab mengurusi ruangan pasien Covid-19. Jadi, praktis, ia turut terlibat merawat sang istri sampai ia pun ketularan dan menyaksikan istri wafat.

“Istri saya memeluk tubuh dan menggenggam tangan saya seerat-eratnya seolah-olah tak mau lepas. Karena itu saya masih trauma kalau lihat ruangan tempat dia dirawat karena saya jadi housekeeper-nya,” ujar Yusa, pria kelahiran Singkawang, Kalimatan Barat, 30 Juni 1994.

Namun, Yusa menegaskan, dirinya takkan kapok menjadi sukarelawan melawan virus corona yang sudah ia jalani bersama kawan-kawannya sejak Maret 2020 atau semenjak awal kemunculan pandemi Covid-19.

Di awal-awal pandemi, tata kerja dan koordinasi penanganan antar-lembaga masih parah banget. Semua terkaget-kaget dan gelagapan. Banyak rumah sakit yang mendadak kewalahan menampung pasien Covid-19.

Begitu pula yang dialami RSI Aisyiyah. Pihak rumah sakit menyediakan satu ruang besar untuk 25 pasien. Tapi karena jumlah pasien membeludak, ruangan terpaksa diisi 28-30 pasien Covid-19. Pasien sebanyak ini hanya diurus oleh seorang perawat ditambah seorang housekeeper. Mereka bergantian dengan petugas lain. Mereka tentu sungguh kelabakan.

Pasien yang tak tertampung terpaksa dikirim ke rumah sakit lain. Waktu itu belum ditentukan rumah sakit mana saja yang ditetapkan sebagai rumah sakit rujukan pasien Covid-19 kecuali Rumah Sakit dr Sjaiful Anwar (RSSA), rumah sakit umum kepunyaan Pemerintah Provinsi Jawa Timur di Kota Malang.

Menurut Yusa, dalam kondisi yang masih kacau, pihak Bimbingan Rohani (Binroh) RSI Aisyiyah berinisiatif membentuk tim tenaga sukarelawan yang bertugas memberikan pelayanan spiritual untuk pasien, serta pemulasaran jenazah. Lalu Binroh mengumumkan pembukaan lowongan bagi karyawan—disebut sumber daya insani—RSI Aisyiyah untuk jadi sukarelawan.

Relawan Penanganan Covid-19

Yusa dan tiga karyawan mendaftar dan diterima jadi sukarelawan pada Maret 2020. Mereka terdiri dari seorang Binroh, dua orang tenaga teknologi informasi, dan seorang housekeeper (Yusa). Keempatnya disatukan jadi Tim Pemulasaran Jenazah Pasien Covid-19 RSI Aisyiyah.

Setahu dan seingat Yusa, tim sukarelawan RSI Aisyiyah termasuk tim sukarelawan pertama yang dibentuk di Kota Malang, saat Satuan Tugas Penanggulangan Covid-19 atau Satgas Covid-19 di Malang Raya (Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu) belum terbentuk.

Yusa sendiri berpengalaman jadi sukarelawan di lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) dan sejak 2018 aktif di Pusat Penanggulangan Bencana Muhammadiyah atau MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center).

Kendati bersifat sukarela, menjadi sukarelawan ternyata tidak gampang. Mereka harus memenuhi sejumlah syarat seperti bermental tangguh, serta berfisik sehat dan kuat. Mereka harus bebas dari komorbid alias penyakit berat bawaan/penyerta.

Lalu, mereka dilatih setelah resmi jadi sukarelawan. Materi pelatihan antara lain tentang cara memasang dan melepas alat pelindung diri (APD), cara merawat pasien Covid-19, dan terutama tata cara menangani jenazah pasien Covid-19. Pelatihannya cuma satu hari dan sehabis itu mereka diterjunkan ke lapangan.

“Saya dan kawan-kawan sebenarnya bermodal nekat saja karena kami ingin membantu negara atas nama kemanusiaan. Apalagi waktu itu tempat kami kerja sangat kewalahan menangani pasien Covid yang terus berdatangan akibat tidak ada tim khusus yang menanganinya,” ujar Yusa, merendah.

Yusa mengaku sempat ragu-ragu dan takut saat pertama kali bertugas. Apalagi istri dan keluarga besarnya sempat keberatan hingga menolak keputusan Yusa. Mereka sangat ketakutan Yusa terkena Covid-19. Namun, akhirnya Yusa membulatkan tekad bahwa menjadi sukarelawan adalah kesempatan bagi dirinya untuk menambah amal kebaikan yang berganjar pahala.

Yusa bersama relawan Covid-19 di RSI Aisyiyah Malang. (Foto: dokumen pribadi).

“Menjadi sukarelawan juga jadi kesempatan bagi saya untuk menolong banyak orang karena saat itu kebanyakan orang tidak memercayai adanya Covid meski sudah banyak yang kena,” kata Yusa, tamatan 2013 dari Sekolah Pertanian Pembangunan-Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPP-SPMA) Negeri Kalimatan Barat di Singkawang—sekarang SMK Negeri IV SPP-SPMA Singkawang.

Maka, Yusa bersama tiga kawan (Jemi Anggara, Fauzi Safar Hakim, dan Anang Wahyudi) berjibaku menangani jenazah dengan bermodal alat pelindung diri (APD) dan satu unit ambulans milik RSI Aisyiyah. Mereka memandikan, mengkafani, mensalatkan, memasukkan jasad ke dalam peti, dan membawa jenazah ke pemakaman.

Namun, tugas utama Yusa sebagai housekeeper bertambah, yaitu mengedukasi keluarga pasien dan pasien agar tetap sabar dan ikhlas; mengajari mereka cara-cara menghadapi Covid-19, sekaligus ikut menjelaskan hoaks tentang Covid-19 yang banyak bermunculan di media sosial.

Bukan cuma memberikan obat dan vitamin, sekretaris KOKAM (Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah) Kota Malang itu bahkan harus membiasakan diri mengurusi hal-hal yang kerap menjijikkan bagi banyak orang, termasuk bagi dirinya di awal-awal bekerja sebagai sukarelawan.

“Sebagai housekeeper, saya jadi makin terbiasa menyuapkan makanan ke mulut pasien, membersihkan pipis dan kotoran, mengganti pampers atau popok orang dewasa, sekaligus menyemangati mereka untuk tetap kuat menghadapi cobaan mahabesar ini,” ucap pria yang aktif di KOKAM sejak lima tahun silam ini.

Tentu banyak suka dan duka yang dialami Yusa dan kawan-kawan. Yusa pernah menjumpai bayi berusia satu minggu yang terpapar virus corona bersama ibunya, juga menemukan anak-anak usia sekolah yang terkena Covid-19.

Kesembuhan dan Maut

Yusa juga sering menjumpai pasien Covid-19 dalam kondisi berat. Ia bahkan pernah melihat sendiri empat-lima pasien tanpa keluarga yang sedang menghadapi sakaratul maut alias sekarat, saat layar monitor pasien di ruang unit perawatan intensif atau intensive care unit (ICU) menunjukkan saturasi oksigen di bilangan 16 sampai 20.

Para pasien yang sedang sekarat itu memeluk erat Yusa sambil bercucuran air mata. Mereka meminta Yusa tetap di tempat. Yusa pun berusaha sekuat tenaga menahan tangisan dan sebaliknya mengajari atau membimbing (talqin) mereka untuk mengucapkan kalimat syahadat laa ilaha illallah, tiada Tuhan selain Allah.

Dan, setelah itu, Yusa hanya bisa menyeka tangisan dan memanjatkan doa buat mereka yang wafat. Makanya jangan heran jika di tempat pemakaman khusus Covid-19 cukup banyak kuburan tanpa nama.

Bukan duka melulu yang ia rasakan. Lebih banyak pasien yang sembuh. Kesabaran, ketelatenan, dan kelembutan Yusa mengurus mereka berbuah banyak persaudaraan baru. Banyak pasien sembuh yang menganggap Yusa bagai saudara sendiri. Sebagian dari mereka masih rajin bertegur sapa lewat telepon maupun lewat Whatsapp.

“Ada juga yang suka memberi oleh-oleh untuk saya dan kawan-kawan. Pokoknya senang juga pandemi ini membawa berkah seduluran,” ujar Yusa, yang berdomisili di Kelurahan Arjowinangun, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang.

Kegiatan mengurus pasien Covid-19 di RSI Aisyiyah dialami Yusa sejak Agustus 2020. Sebelumnya, Maret-Juli 2020, ia dan kawan-kawan lebih banyak di lapangan. Mereka sudah bekerja sebelum ada Satgas Covid, serta sangat minim tenaga sukarelawan.

Di awal-awal pandemi, Yusa dan tiga kawannya benar-benar tidak mengenal waktu kerja. Mereka sangat sering mendapat tugas tambahan di luar tugas pokok. Mereka harus senantiasa siap siaga dan pantang menolak panggilan dari rumah sakit untuk mengurus pasien, serta yang terutama memandikan dan mengubur jenazah.

Yusa sering dipanggil balik ke rumah sakit untuk mengurus jenazah di saat waktunya ia rehat dan bermain bersama bayi cowoknya di rumah. Ia sering meninggalkan anak dan istri di tengah malam buta untuk mengurus jenazah pasien Covid-19 di rumah sakit dan kemudian membawanya ke pemakaman.m

Yusa mengalami suka dan duka selama selama menjadi relawan Covid-19 di RSI Aisyiyah Malang. (Foto: dokumen pribadi).

Bahkan, mereka pernah terpaksa menggali liang lahat dan menguburkan sendiri jenazah yang mereka bawa lantaran pihak keluarga tidak siap menerima jenazah pasien Covid. Saat itu, masih banyak sekali warga yang menganggap pasien Covid-19 sebagai aib dan mereka ketakutan tertular dari jenazah sehingga tega membiarkan tim sukarelawan bekerja sendirian.

Padahal wilayah kerja mereka pun bukan hanya Kota Malang. Banyak jenazah yang mereka kuburkan justru ada di pelosok desa Kabupaten Malang, jauh dari RSI Aisyiyah dan tempat tinggal mereka. Walhasil, siklus tidur Yusa dan kawan-kawan sangat berantakan di awal-awal pandemi.

“Kami sudah biasa berangkat pagi dinihari dan sudah biasa juga tiba di rumah jam 2-3 pagi. Orang-orang sudah pada tidur, kami malah masih mengurus jenazah. Tidur di rumah sakit, tidur di area pemakaman dan tidur di ambulans pun kami pernah,” kata Yusa.

Tantangan menjadi Sukrelawan

Parahnya lagi, masih di awal-awal pandemi, tim Yusa sering mendapat beragam hambatan. Ia mencontohkan kerepotan menghadapi keluarga yang marah-marah sampai memukul personel sukarelawan, seperti yang mereka alami di Kecamatan Tajinan, Kabupaten Malang. Pihak yang keluarga menganggap virus corona sebagai kebohongan dan hasil konspirasi ini nekat merampas peti mati dan mengeluarkan jenazah dari peti untuk dimakamkan sendiri tanpa pakai protokol kesehatan.

Itu seperti kebalikan dari pengalaman Yusa dan kawan-kawan saat menghadapi masyarakat yang menganggap pasien Covid-19 sebagai aib dan ketakutan tertular sehingga tega membiarkan tim sukarelawan bekerja sendiri menggali lubang kubur sampai memakamkan jenazah.

“Pokoknya,” Yusa menekankan, “di awal-awal pandemi kami sering alami kejadian seperti itu karena waktu itu belum ada Satgas Covid-nya. Banyaklah pengalaman seru dan dramatis yang kami alami yang bisa saya ceritakan.”

Namun, Yusa dan kawan-kawan sudah bersumpah pantang mengeluh meski pekerjaan sukarelawan tanpa imbalan rupiah sepeser pun. Perkara imbalan ini juga pernah jadi masalah yang sangat melukai perasaan mereka, seperti yang mereka alami di Kecamatan Turen, Kabupaten Malang.

Yusa ingat betul beberapa warga desa di sana mengatakan langsung kepada mereka bahwa enak jadi sukarelawan karena dapat imbalan Rp 10 juta dari tiap jenazah. Padahal, Yusa berani bersumpah, mereka tidak mendapatkan rupiah sepeser pun dari pemerintah.

Pihak RSI Aisyiyah hanya memberikan susu kepada para sukarelawan tiap sehabis memandikan jenazah. Pihak rumah sakit juga selalu menyediakan APD yang harus diganti tiap 4 jam sekali.

Sedangkan untuk biaya operasional, Yusa dan kawan-kawan memanfaatkan uang kas yang diberikan Lazismu (Lembaga Zakat, Infak, dan Sedekah Muhamamdiyah) RSI Aisyiyah. Lazismu mengalokasikan Rp 200 ribu per jenazah.

“Uangnya dikumpulkan dulu oleh Lazismu dan di akhir bulan dibagikan kepada kami. Istilahnya pengganti uang bensin. Jujur, sebenarnya uangnya tidak cukup, tapi dicukup-cukupkan dan tetap kami syukuri karena niat kami ikhlas lahir dan batin menolong jenazah.”

Selain dari Lazismu RSI Aisyiyah, terkadang Yusa dan kawan-kawan mendapat saweran dari tenaga kesehatan seperti dokter dan perawat, yang notabene memang mendapat bantuan dana dari pemerintah.

Yusa mengurus pasien Covid-19 di RSI Aisyiyah dialami Yusa sejak Agustus 2020. (Foto: dokumen pribadi).

Yusa dan kawan-kawan masih aktif di lapangan sampai akhir Juli 2020. Pekerjaan mereka akhirnya diambil alih tim Satgas Covid-19 mulai Agustus tahun lalu dan kemudian mereka ditarik ke RSI Aisyiyah.

Semenjak itu Yusa pun lebih banyak mengurus pasien di ruang ICU dan mengurus jenazah pasien Covid-19 di area RSI Asyiyiah saja lantaran sudah ada tim Satgas yang membawa jenazah untuk dimakamkan.

“Tapi sesekali kami tetap turun ke lapangan jika kondisi mendesak dan darurat atau saat tim Satgas dan sukarelawan sedang sangat kewalahan akibat membeludaknya jumlah jenazah, seperti di masa PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) Darurat kemarin,” kata dia.

Saat ini, tim sukarelawan RSI Aisyiyah bertambah dari empat menjadi 11 orang. Sukarelawan baru ini berprofesi sebagai petugas sekuriti, petugas pendaftaran pasien, kasir, dan supir.

Seingat Yusa, ia dan kawan-kawan sudah mengurus 300-an jenazah pasien Covid-19 sejak 2020 hingga sekarang. Lebih dari 150 jenazah mereka urus pada 2020.

Yusa bertekad tetap meneruskan pekerjaan sebagai sukarelawan sampai Indonesia benar-benar terbebas dari pandemi Covid-19. Sekali lagi ia menekankan tidak kapok jadi sukarelawan walau sudah kehilangan istri.

“Sudah sejak sekolah dulu saya sangat tertarik ikut kegiatan filantropi. Saya senang mencari saudara dan melihat orang lain bahagia dalam kondisi yang mungkin tertekan atau berduka. Semoga kisah saya bisa menginspirasi banyak pemuda untuk lebih peduli terhadap sesama. Semoga juga bisa jadi amal jariyah saya dan almarhumah istri saya di akhirat nanti,” kata Yusa.

Sekarang ini, ia hanya butuh waktu untuk mengalahkan rasa traumatik tiap kali melihat ruang tempat istrinya dirawat dan meninggal.

Tinggalkan Komentar

Silakan tulis komentar anda
Silakan tulis nama anda di sini