
Terakota.id–Matahari mulai condong ke barat. Kendaraan lalu lalang melintas di jembatan Brantas, Kota Malang. Biasanya, mudah melihat serombongan wisatawan berswafoto di tepi jembatan. Membidikkan kamera dengan latar Kampung Warna Warni Jodipan.
Tapi, sudah lima bulan ini tidak tampak lagi semua aktivitas itu. Tidak ada pula hilir mudik rombongan wisatawan di Kampung Warna Warni Jodipan. Gerbang masuk kampung di sisi timur jembatan selalu tertutup rapat. Sedangkan akses dari Jalan Juanda biasanya dijaga ketat.
Suasana di dalam kampung terlihat sangat tenang. Beberapa warga duduk di depan rumah. Anak – anak asyik bermain di tengah jalan. Tanpa perlu sungkan akan ada derap langkah pelancong menyusuri tiap jengkal kampung. Maupun akan berpose foto di depan rumah.
Pandemi Corona Covid-19 mengubah segalanya. Suasana permukiman padat penduduk itu menyerupai situasi tiga tahun silam. Sebelum bersalin menjadi kampung wisata bertema warna. Kampung Warna Warni ditutup sejak 17 Maret 2020, tak lama setelah pemerintah mengumumkan pasien pertama positif terjangkit virus corona baru di Malang.
Soni Parin, Ketua RW 02, Kelurahan Jodipan mengaku belum bisa memastikan kapan kampung akan kembali dibuka untuk kegiatan pariwisata. “Maaf, kami masih belum bisa memastikan. Masih banyak yang perlu dibenahi,” kata Parin melalui layanan pesan pendek.

Prioritas kesehatan warga jadi faktor utama penutupan kampung dari kegiatan pariwisata. Apalagi pasien yang dinyatakan positif Covid-19 terus bertambah. Sampai hari ini juga tidak ada yang berani memastikan kapan pandemi berakhir.
Ada warga yang senang karena bisa beristirahat dengan tenang. Khususnya bagi mereka yang tak mengandalkan kegiatan wisata untuk menunjang perekonomian keluarga. Namun tidak sedikit pula yang hanya bisa menghela nafas panjang. Penghasilan mereka berkurang drastis lantaran tidak bisa lagi berjualan.
Di balik Pandemi
Banyak perubahan sejak kampung di tepi Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas ini jadi salah satu tujuan wisata populer di Kota Malang. Tidak sedikit warga mulai berdagang makan, minuman dan buah tangan di rumah sejak wisatawan terus berdatangan. Kendaraan wisatawan yang berjubel di tepi jalan jadi pendapatan tambahan warga dari jasa parkir.
Ilham satu dari beberapa warga yang tak menggantungkan urusan dapur dari industri wisata ini. Di satu sisi, ia bersyukur karena bisa tidur siang dengan nyaman. Tanpa perlu terganggu dengan rombongan wisatawan yang datang nyaris tiada henti setiap hari.
“Jadi lebih tenang beristirahat. Kadang kalau siang, cukup berisik karena banyak wisatawan di kampung,” ujar Ilham.

Di sisi lain, ia menyadari banyak tetangganya yang membuka usaha di rumah sejak kampung di tepi aliran Sungai Brantas ini berubah jadi salah tujuan wisata populer. Mereka turut terdampak karena tidak bisa lagi berjualan.
“Apalagi bantuan sosial untuk warga yang secara ekonomi terdampak juga belum merata didapat warga,” ujarnya.
Sebut saja Andi, seorang warga lainnya. Ia berdagang sepatu di depan pintu masuk Kampung Warna Warni di sisi Jalan Juanda. Ia tak terlalu risau bila kampungnya tutup sebab tak menggantungkan ekonomi dari wisatawan.
“Antara enak dan tidak. Saya bantu parkir untuk tambahan saja, penghasilan utama tetap dari berjualan sepatu,” tuturnya.
Justru keputusan menutup kampung dari kegiatan wisata adalah langka terbaik. Lantaran bisa meminimalisir potensi penyebaran Corona Covid-19. Kesehatan warga jauh lebih utama dibanding memaksa buka di tengah situasi pendemi.
“Sekarang kan Malang masih zona merah. Kalau saya sementara ini lebih baik wisata tidak perlu buka,” ujar Andi.
Lain lagi dengan Dami. Perempuan paruh baya ini semula bekerja di pabrik namun kena pemutusan hubungan kerja. Ia pun mulai berjualan mie pangsit di depan rumah, melihat peluang kampungnya ramai dengan wisatawan.
“Kalau banyak wisatawan hasilnya ya lumayan. Sejak kampung tutup, ya ikut berhenti,” ujar Dami.
Ia tak mau memaksa tetap berjualan di tengah situasi yang tak menentu ini. Sebab pendapatan tak seberapa bila hanya mengandalkan pembeli dari tetangga di lingkungan sekitar. “Daripada cuma dapat lelah, lebih baik tutup dulu. Istirahat,” ucapnya.
Baik Ilham, Andi maupun Dami belum tahu kapan Kampung Warna Warni akan kembali buka. Sebab belum ada musyawarah warga untuk menentukan kapan kampung buka atau tetap tutup dulu dari kegiatan wisata.
“Dulu saat kampung memutuskan tutup ya lewat musyawarah warga,” kata Dami.

Kampung Warna Warni Malang diresmikan sebagai kampung wisata pada Oktober 2017 silam. Semenjak itu pula ribuan wisatawan datang berbondong – bondong. Terlebih kampung di kawasan DAS Brantas ini kemudian juga dilengkapi dengan jembatan kaca. Sekaligus penghubung ke Kampung Tridi yang juga mengusung konsep wisata serupa.
Topografi kampung dikemas dengan tema warna jadi andalan utama. Magnet bagi wisatawan terutama di kalangan penyuka foto. Tiket masuk Kampung Warna Warni Jodipan hanya sebesar Rp 3 ribu. Setiap hari ada puluhan sampai ratusan pengunjung. Bisa lebih dari seribu orang di hari libur. Sekarang, karena pandemi, Kampng Warna Warni istirahat sejenak.

Redaktur Pelaksana