
Terakota.id—Pernahkah Anda membiarkan Ridwan Kamil kecil di hati Anda mengapresiasi masjid lebih dari biasanya? Saya pernah, dan rasanya menyenangkan. Lazimnya, kita ke masjid untuk sholat sekaligus bersosialisasi, atau menjadikannya sebagai sebuah sarana. Bagaimana kalau selain dua hal itu kita tambahkan fungsi lain, misal untuk mengagumi elemen-elemennya? Atau, apakah Anda pernah melakukan yang lebih, yaitu sampai menyelami dan memaknainya?
Ada masjid-masjid tertentu yang bisa memberikan paket lengkap seperti itu. Buat saya, baru-baru ini pengalaman semacam itu terjadi di masjid Ar-Rahman, yang lokasinya ada di KM 66 Jalan Tol Pandaan-Malang. Mungkin terdengar klise atau bombastis, tapi masjid ini bisa benar-benar menjadi sebuah oase pada berbagai tingkatan.

Dalam perjalanan ke Sidoarjo dari Malang, saya melihat sebuah bangunan unik seperti prisma di sebelah kanan, sebuah masjid. Siang harinya, ketika balik ke Malang, saya sudah siaga sejak awal setelah melewati Pandaan. Ini terjadi sebelum diberlakukannya larangan mudik, gaes, jadi oke. Begitu dia tampak di depan, pilot saya langsung mengambil jalur keluar menuju ke rest area. Ketika mendekat, ternyata masjid itu kelihatan semakin tidak lazim dan menakjubkan. Saya pun bersiap membuka semua mata untuk mencerapnya: mata fisik, mata batin, dan bahkan mata sharingan.
Benar saja, setelah meluangkan beberapa saat di masjid ini, yang saya dapatkan adalah pengalaman yang cukup membahagiakan. Dengan mencerap semua elemennya dari pintu masuk sampai ke menaranya, jiwa Ridwan Kamil kecil dalam diri saya semakin tak terbendung. Maka saya pun memberanikan diri me-review masjid itu. Jadi begini:
Kita mulai dengan gambaran singkat seperti apa masjid Ar-Rahman di KM 66 Pandaan-Malang itu. Seperti bisa dilihat di gambar, masjid ini punya struktur dari jauh seperti papan-papan benton yang disandarkan miring bertemu dengan papan-papan beton yang disandarkan miring dari posisi lain. Secara umum mirip tenda pramuka berbentuk prisma tapi dindingnya terkesan beberapa lapis. Di depan dan belakang ada bidang tembok cukup luas dengan kaligrafi gaya kufi persegi (kalau dicermati, isinya ayat kursi). Tapi, berbeda dengan tenda yang pintunya ada di bagian depan dan belakang, pintu masuk dan keluar masjid ini ada di salah satu sisi miring prisma.
Selain bangunan utama, masjid ini dilengkapi menara yang mirip dengan bilah-bilah balok yang mencuat dari dalam bumi. Elemen-elemen lancip, ditambah bangunan utama yang cenderung membentuk konstruksi segitiga ini, tak urung akan mengingatkan penggemar Superman akan Fortress of Solitude, tempat persembunyian Superman di Kutub Utara, tempat ia mempelajari asal-usulnya. Tolong jangan dihubung-hubungkan lagi dengan iluminati lho ya.

Di awal saya sebutkan bahwa masjid ini adalah sebuah oase. Bagaimana bisa? Masjid ini sebuah oase berkat bentuknya yang tidak lazim ini. Dia menawarkan kesegaran di tengah landskap yang mengesankan keseragaman.
Masjid Ar-Rahman KM 66 memberikan pengalaman ibadah yang berbeda dari umumnya. Bila biasanya kita sholat di dalam sebuah ruangan yang berdinding atau terpisah jelas dari dunia luar, di masjid ini tidak. Adanya jendela kaca di seluruh bagian tepi dan banyaknya bagian dinding yang terbuka membuat kita bisa melihat jauh ke bentang alam yang ada di sekitar masjid. Di masjid ini, ada kesan bahwa kita tidak terpisah dari sawah-sawah yang ada di luar jalan tol itu. Ibadah tak bisa dilepaskan dari hidup keseharian. Agaknya kesadaran semacam itu penting.
Yang lebih mengesankan lagi, Masjid Ar-Rahman ini memberi kita pilihan berbeda di tengah kubah-kubah yang mendominasi masjid-masjid di Indonesia saat ini. Seperti kita tahu, masjid-masjid yang dibangun akhir-akhir ini baik di tingkat kabupaten maupun di tingkat kelurahan banyak menggunakan kubah. Kubah baru datang ke Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, yang datang ke Indonesia lewat adaptasi gaya masjid India. Masjid-masjid di Jawa yang waktu itu masih menggunakan bentuk atap tumpang yang terinspirasi oleh bangunan era Hindu lama kelamaan mulai berkurang. Hari ini, masjid baru yang menggunakan atap limas atau piramida ini jarang.
Masjid Ar-rahman ini unik karena dia tidak menggunakan kubah tapi juga tidak kembali ke bentuk limas. Dia malah berbentuk seperti tenda pramuka jaman dulu. Tadi saya bilang, sekilas bentuknya seperti papan-papan beton yang disandarkan satu sama lain. Secara konstruksi, bangunan yang saling menyangga beban ini cenderung kuat daripada bangunan berdiri biasa. Kalau Anda ada di dalam dan melihat kolom-kolomnya yang miring dan berotot itu, saya yakin sobat pengguna tol akan merasakan bahwa masjid ini terbuat dari kolom-kolom yang menghunjam ke bumi, kokoh, seperti tak ada kesempatan untuk goyah. Semoga demikian adanya.

Berbeda dengan masjid berkubah yang cenderung mengajak kita menengadah, masjid ini justru membuat kita cenderung menunduk. Ketika memasuki masjid berkubah, pandangan kita tak urung akan tergiring untuk naik dan melihat kemegahan kubah dan merasakan kekecilan kita. Nah, di masjid ini, gaes, atapnya yang seperti prisma dipangkas itu terasa tidak sangat tinggi. Tapi, berkat permainan cahaya dari luas dan lantai granit mengkilap yang seolah tanpa cela, pandangan kita justru tergiring turun dan melihat pantulan benda-benda di lantai. Di sini kita menemukan kecocokan antara kolom-kolom yang menghunjam tadi dengan ajakan untuk menunduk, melihat ke dasar, memandang ke bawah. Ketika berada di dalam masjid, kita diajak untuk merenung, melihat ke bawah.
Masjid ini menawarkan sebuah momen merenung yang manis. Ketika berada di luar, kita digiring memandang ke atas, ke pucuk menara yang modern minimalis. Kita juga ingin terus-menerus melihat konstruksi dindingnya yang tinggi tapi berhenti. Di dalam, kita justru diajak untuk melihat ke bawah, melakukan refleksi, bercermin ke dalam diri. Pernah nggak kalian merasakan pengalaman seperti ini ketika berada di masjid?
Kalau kalian merasakan ini, maka klise-klise tulisan perjalanan “the journey is the destination” itu akan menemukan nyawa baru. Kalau biasanya masjid lebih banyak kita maknai sebagai perantara saja, masjid Ar-Rahman ini bisa berfungsi ganda, sebagai perantara saat berdoa, tapi juga sebagai tempat tujuan untuk merenung. Kalau sobat pembaca kebetulan beragama lain, saya pikir tidak ada salahnya sekadar mampir untuk mengapresiasi arsitekturnya. Toh bangunan ini dibangun oleh BUMN (baru diresmikan awal tahun ini) dan merupakan bangunan publik. Siapa tahu, siapa tahu, kita semua bisa lebih saling memahami karenanya.

Penulis dan Dosen Sastra Inggris Universitas Ma Chung Malang.
Apakah ada informasi terkait siapa arsitek yang bertanggung jawab dalam merancang Masjid Ar-Rahman KM 66 ini?
Halo, Mas Ariq.
Sayangnya saya tidak dapat informasi tentang arsitek masjid ini. Berita yang saya peroleh cuma tentang peresmiannya oleh PT. Jasa Marga. Kalau dapat informasi saya dikabari ya lewat Instagram. 😉
Sukses dengan skripsinya, Mas.
Salam,
WEY
[…] tepat ada di seberang Masjid Ar-Rahman yang arsitekturnya unik dan pernah saya bahas di Terakota ini. Meskipun belum sempat masuk, saya sempat melihat bagian luarnya dan sedikit mengintip ke bagian […]