Greogorius Argo memainkan Sapek dalam Workshop dawai di Festival Dawai Nusantara #3. (Terakota.id/Zainul Arifin)
Iklan terakota

Terakota.id–Indonesia memiliki beragam alat atau instrumen musik, namun luput dari dokumentasi dan pendataan. Padahal alat musik itu merupakan kekayaan khasanah musik Indonesia yang tersebar di sejumlah daerah. “Banyak instrumen yang hanya menjadi pajangan di museum,” kata Etnomusukolog dan pengajar Istitut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Aris Setiawan.

Bahkan, ada alat musik yang tak ada musisi yang mampu memainkannya lagi. Tipikal instrumen musik, katanya, berbeda. Setiap suku bangsa memiliki ragam dan kekayaan musik yang berbeda.

Untuk itu harus dilakukan upaya merekam, mendokumentasikan ragam bunyi dawai yang dihasilkan instrumen nusantara. Setiap instrumen memiliki keunikan tersendiri. Instrumen dawai nusantara tak hanya sebatas dalam konstruksi organoliginya, namun juga pada nada dan bunyinya. Sehingga membedakan antara instrumen musik nusantara dengan negara lain.

“Instrumen barat cenderung memiliki harga mati terhadap nada,” ujarnya. Sedangkan instrumen dawai nusantara berada dalam kisaran semi absolud pitch, ada kebebasan untuk memilih ukuran nada secara personal. Sehingga tradisi musik antar suku bangsa di nusantara memikiki perbedaan yang tajam.

“Perbedaan ini merupakan berkah yang menunjukkan karakter sekaligus kekuatan instrumen nusantara,” ujarnya. Seperti di Jawa memiliki instrumen rebab, dan siter yang biasa digunakan dalam gamelan. Sedangkan Makassar memiliki kacaping dan sinrili, Sunda ada kecapi, di Nusa Tenggara ada Sasando, di Betawi ada teyang, di Suku Dayak ada sapek.

Semua instrumen, katanya, didendangkan dengan nyanyian yang berkisah tentang kehidupan tradisi, doa, alam dan cinta kasih. Instrumen nusantara telah melintasi zaman, menjadi simpul dan pengingat tentang apa, siapa dan di mana kita hidup. Instrumen dawai tak hanya dipetik, dan digesek tetapi setiap bunyi memiliki kisah.

“Kita akan menjadi saksi keindahan misik tradisi nusantara,” ujarnya. Tetapi instrumen nusantara kehilangan pamor, anak muda lebih piawai memainkan biola dan gitar. Sekolah musik tak ada yang mengajarkan instrumen tradisi nusantara. Sehingga instrumen nusantara menghadapi kisah kematian.

“Ada jejak yang hilang, ada pertautan sejarah, peradaban, kearifan lokal dan jati diri. Festival Dawai Nusantara menjadi upaya melawan keterasingan budaya di negeri sendiri,” ujarnya.

Sementara, Misbach Daeng Bilok memilih sawangan atau sendaren berbahan bambu berbentuk melengkung dilengkapi pita untuk menghasilkan suara nyaring. Sendaren biasa dipasang di layang-layang untuk menghasilkan bunyi dari hembusan angin. Di tangan Misbach Daeng Bilok menjadi sebuah instrumen musik yang estetik dan juga berfungsi sebagai pengusir hama.

Misbach bermain seruling diiringi sendaren. (Foto : dokumen pribadi).

“Secara ekologis Sendaren bisa mengusir hama, ramah lingkungan,” kata Misbach. Sehingga petani tak lagi membutuhkan pestisida untuk mengusir hama dan penyakit. Sendaren sebagai pengusir hama telah diterapkan di areal pertanian tanaman padi di Pacitan.

Setiap hektare dipasang 10 tiang, masing-masing tiang terdiri dari lima Sendaren. Saat angin bertiup sendaren berbunyi merdu, sehingga hama tanaman padi seperti tikus dan burung takut. Hasilnya, produksi padi lebih banyak 40 persen. “Petani tak perlu bergantung pestisida,” ujarnya.

Pria kelahiran Pulau Selayar, Sulawesi Selatan ini beberapa kali menampilkan musik angin atau Indonesia wind harp dengan koreografer yang menarik. Sendaren dimainkan dengan gerak seperti menebas alang-alang dan mendayung. Gerak atau koreografi ini diciptakan dari riset jika warga Sulawesi selain melaut juga bertani.

Kesenian ini digarapnya saat menempuh pendidikan seni di Institut Seni Indonesia Surakarta. Dia juga membuat pelatihan membuat sendaren dan mengajak masyarakat untuk memainkan alat musik bunyi ini dengan suka cita. Musik angin bernyanyi terasa suasana alam yang indah dan merdu.