Foto : dokumentasi windy ariestanty
Iklan terakota

Terakota.id–Sekitar setahun yang lalu, seorang kawan membagikan tautan ke postingan Instagram Windy Ariestanty. Tujuan kawan ini menunjukkan dokumentasi dari acara Patjarmerah, sebuah festival kecil literasi dan pasar buku yang diadakan di bekas bioskop Kelud, sebuah gedung bioskop outdoors di kota Malang. Saya lihat postingan tersebut tapi sebentar kemudian saya langsung tersedot ke postingan-postingan lain Windy Ariestanty yang berisi foto-foto dan tulisan perjalanan.

Windy Ariestanty memang seorang penulis catatan perjalanan, tapi saya tidak menyangka dia tetap melakukan itu di Instagramnya. Saya pun bertanya-tanya: apakah bedanya tulisan perjalanan di Instagram dengan yang di buku? Apakah media Instagram ini memberikan sumbangan kepada bentuk tulisan perjalanan itu? Apa yang bisa kita dapatkan dari tulisan perjalanan di Instagram?

Saya pun mulai membaca dan mengikuti tulisan-tulisan perjalanan Windy di Instagram, sambil memfokuskan pada tulisan-tulisan yang mendapatkan reaksi paling banyak dari followers Windy. Alhasil, saya justru menemukan sejumlah pola menarik yang tidak hanya membuat saya lebih paham Windy Ariestanty, tapi juga tentang tulisan perjalanan di Instagram. Tentu tulisan ini tidak mungkin menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan tadi, tapi mari kita soroti beberapa saja yang mungkin bisa menunjukkan posisi tulisan perjalanan di Instagram dalam sejarah panjang tulisan perjalanan.

Genre yang Ulet

Sekadar mengingatkan, tulisan perjalanan termasuk genre tulisan yang paling tua yang masih dipraktikkan. Kita mengenalnya di masa Yunani kuno (ada Pausanias), Tiongkok Dinasti Song (Fan Chengda), Maroko Zaman Fatimiyah (Ibn Battuta), Masa Awal kedatangan orang Eropa di Amerika, Masa Eksplorasi Pengetahuan (Charles Darwin), Masa Perang Dunia I (Mark Twain), dan Dunia Islam era 80-an  (V.S. Naipaul). Dan ini semua baru tulisan perjalanan yang nonfiksi; tulisan perjalanan yang fiksi bisa lebih luas lagi, mulai Roman Alexander the Great sampai cerita-cerita Panji yang menyebar ke seluruh Asia T enggara.

Genre ini berubah-ubah selaras tuntutan zaman. Genre tulisan perjalanan pernah berfokus pada memperkenalkan dunia (seperti tulisan perjalanan klasik di Yunani Kuno dan Abad Pertengahan). Pada masa Yunani kuno, ketika perjalanan tidak semudah sekarang buat semua orang, deskripsi atas kebiasaan dan sejarah orang-orang dari berbagai penjuru Yunani (seperti yang dilakukan Pausanias) sangat berguna bagi orang Yunani di ibukota. Pada masa imperialisme, gambaran tentang Timur Tengah dan Hindia Timur maupun Hindia Barat, memberikan gambaran bagi bangsa-bangsa Eropa. Sayangnya, seperti dikritik Edward Said dalam Orientalism, gambaran-gambaran yang akhirnya dibaca dengan generalisasi ini akhirnya turut meneguhkan klaim Eropa atas imperialisme.

Kecenderungan genre ini terus berubah hingga pada hari ini.  Sekitar era 2000-an, banyak yang mengkritik tulisan perjalanan karena semakin dalam berkutat dengan perjalanan batin para penulis dan pelancongnya. Alih-alih memberikan gambaran tentang tradisi, sejarah, dan jiwa masyarakat nun jauh di sana, tulisan-tulisan perjalanan dianggap terlalu banyak berkutat dengan pencarian ke dalam diri para penulisnya ketika berada di negeri asing. Bagaimana lagi, tidak banyak lagi tersisa terra incognita yang membuat orang terpana ketika diceritakan.

Sementara itu, persoalan hidup manusia (termasuk hidup para pelancong) tetap ada dan tak kalah perlunya direnungkan. Namun, perlu juga diakui bahwa tulisan perjalanan sempat mencapai satu masa ketika ia bisa menyoroti keragaman budaya dan penghargaan terhadap negeri-negeri jauh. Selain itu, tulisan perjalanan di akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 juga banyak berbicara tentang pelancong perempuan yang berbagi pandangan tentang pengalaman perempuan di berbagai penjuru dunia.

Perubahan signifikan dalam tradisi tulisan perjalanan terjadi di awal era 2000-an. Ketika itu, dunia internet sedang merayakan Web 2.0, atau teknologi internet yang memfokuskan pada penggunaan situs web sebagai platform. Orang bisa memanfaatkan platform ini untuk berbagai kebutuhan yang bisa dilakukan sendiri dan mengajak orang lain berpartisipasi. Dari situ kita mulai kenal Wikipedia, blogger, WordPress, dan lain sebagainya.

Tidak perlu jadi ahli pemrograman dan jago desain web untuk bisa memiliki halaman web untuk mencurahkan gagasan Anda dan dibaca orang. Situs web pun tidak hanya untuk dikunjungi, tapi juga untuk dimiliki siapa saja. Web milik semua orang. Dalam bahasa Paul Graham,  fenomena Web 2.0 ini dicirikan dengan demokrasi dalam hal penggunaan internet.

Banyak orang yang suka melakukan perjalanan akhirnya juga membuat blog-blog yang berisi catatan-catatan perjalanan mereka. Muncullah kemudian istilah travel blogger untuk orang-orang yang menerbitkan tulisan-tulisan menarik dengan foto-foto menarik dari berbagai penjuru dunia. Sejak itu, kita tidak pernah kekurangan tulisan tentang perjalanan dan tempat-tempat eksotis di dunia dengan mudah.

Tentu ada juga ekses dari Web 2.0 ini terhadap tulisan perjalanan. Berkat monetisasi yang menguat, tulisan perjalanan di internet pun akhirnya menjadi apa yang disebut “listicle” atau bentuk tulisan yang berisi daftar atau list. Tulisan-tulisan perjalanan lebih banyak mendaftar tempat-tempat yang bisa dikunjungi di suatu daerah dan hal-hal apa saja yang bisa dilakukan di suatu daerah. Tren ini muncul sebagai respons para travel blogger atas tingginya kebutuhan orang akan informasi mengenai itu. Banyak travel blogger yang membuat tulisan khusus untuk mengundang pengunjung ke blog mereka karena semakin banyak pengunjung berarti semakin tinggi pendapatan iklan mereka.

Belakangan, bersama hadirnya telepon pintar dan terutama hadirnya aplikasi Instagram, kita mulai banyak melihat tulisan-tulisan perjalanan di sana. Instagram adalah aplikasi yang awalnya untuk berbagi foto tempat yang dikunjungi, tapi belakangan Instagram juga dipakai untuk platform bisnis dan berbagi kenangan. Travel blogger pun banyak yang bermigrasi ke Instagram. Maka yang kita dapatkan adalah tulisan perjalanan yang multimodal, gabungan antara teks tertulis, gambar, dan video. Begitulah ceritanya bagaimana akhirnya tulisan perjalanan sampai di Instagram.

Kritik Eksotifikasi

Namun, segala hal di dunia ini memiliki pengkritiknya sendiri. Pada tahun 2018, muncul sebuah kritik bahwa tulisan perjalanan Instagram adalah tulisan perjalanan yang regresif. Dalam artikel berjudul “Instagram Abroad: Performance, Consumption, and Colonial Narrative in Tourism” yang terbit di jurnal Postcolonial Studies, Sean P. Smith mendedahkan sejumlah masalah pada postingan Instagram perjalanan. Menurut Smith, postingan-postingan Instagram perjalanan (khususnya yang dilakukan oleh orang Barat ke negara berkembang) banyak menekankan kepada eksotisme alam, memandang tempat yang dikunjungi sebagai objek kunjungan, dan mendudukkan kelompok di tempat tujuan sebagai orang-orang yang tidak kunjung maju dan tidak berubah.

Smith memandang ini sebagai “kemunduran” tulisan perjalanan. Yang dimaksud dengan kemunduran di sini terkait dengan sifat tulisan perjalanan Instagram yang cenderung merendahkan dunia ketiga atau negeri non-barat. Hal ini terbilang mundur bila dibandingkan dengan tulisan-tulisan perjalanan di akhir abad ke-20. Seperti disinggung Carl Thompson dalam buku Travel Writing, yang merupakan pegangan kajian tulisan perjalanan, di akhir abad ke-20, pasca berakhirnya kolonialisme terbuka, banyak tulisan perjalanan yang menyoroti negara-negara non Barat dengan cara yang berhasil membangkitkan pemahaman lintas budaya. Pembaca Barat akan memiliki pemahaman dan sensitivitas lebih saat membaca tulisan perjalanan yang menggambarkan budaya-budaya lain dengan simpatik. Nah, tulisan yang disoroti Sean P. Smith itu justru sebaliknya, mereka kembali mendudukkan warga lokal sebagai objek dari kegiatan para subjek Barat. Tentu tidak salah bila Smith menganggap tulisan perjalanan Instagram yang dia amati sebagai kemunduran.

Windy Ariestanty: Dari Warga Lokal hingga Belajar

Tentu banyak yang bisa dipelajari dari artikel Smith yang saya bahas sekilas di atas, tapi bagaimana dengan tulisan perjalanan Instagram yang ditulis oleh penulis non-Barat? Di sini saya berpikir tentang tulisan-tulisan Windy Ariestanty yang saya bahas di awal tulisan ini. Apakah tulisan-tulisan Windy juga terjebak dalam eksotifikasi dan objektifikasi penduduk yang dikunjungi? Berdasarkan 40 postingan Windy yang paling banyak mengundang reaksi follower, saya mendapat yang lain.

Tulisan-tulisan Windy menunjukkan kecenderungan yang justru berlawanan dengan yang dituduhkan oleh Smith di atas. Alih-alih mengobjektifikasi destinasi, Windy justru mengajak pembacanya mengenal warga lokal, tidak terlalu tersedot mengeksotifikasi alam, dan menjadikan perjalanan sebagai ruang belajar.

Yang paling kuat menonjol adalah usaha sadar Windy untuk menghargai sentuhan manusia dalam perjalanan dan tulisan perjalanannya. Kita bisa dengan mudah menemukan postingan yang menyoroti warga lokal yang dia temui di tujuan perjalanannya. Warga lokal ini begitu beragam, mulai dari anak-anak, pemuda, lelaki dewasa, hingga seorang yang berusia lanjut.

Orang-orang ini tidak hanya dihadirkan sebagai objek foto, tapi juga sebagai sosok yang suaranya, pandangannya, dan kebijaksanaannya dia dengarkan. Satu contoh yang bisa kita ambil dari sini adalah postingan yang berjudul “Yellow Hand.” Pada postingan ini, kita mendapati kisah Windy ketika berkunjung ke Pasar Prawirotaman Yogyakarta. Di situ, Windy mendapat kisah Mbah Sis, penjual jamu yang “menjalani hidupnya dengan ikhlas.” Bagi Mbah Sis, “hidup ini sebenarnya tidak menuntut banyak… keinginan kita ini yang terlalu banyak.” Nada postingan yang serupa ini bisa kita temukan di posting-postingan lain, misalnya postingan “Secukupnya” yang berbicara tentang Pak Haup dan Pak Halap dari suku Korowai, dan postingan lainnya. Orang-orang yang ditemui Windy ini bukan sekadar objek berfoto yang melengkapi foto alam yang kita kunjungi.

Bicara tentang alam, Windy pun ternyata tidak hanya mengabadikan bentang alam yang elok “instagrammable.” Alam dalam perjalanan Windy adalah objek tujuan yang dia terima dengan apa adanya, sebagai satu bagian tak terpisahkan dari keseluruhan hidup di tempat tersebut. Maka, kita tidak selalu mendapatkan foto alam tropis nang mempesona. Dan, ketika yang muncul adalah gambar alam yang indah, yang dibicarakan justru bahwa keindahan alam bukanlah prioritas dalam perjalanannya. Di “Seni Jalan Bersendiri,” Windy berbicara bahwa ketika berada di Kepulauan Natuna, kawan lokalnya menawarkan melihat keindahan alam Windy justru menjawab bahwa keindahan alam itu nanti kalau sudah tidak ada lagi orang yang menarik untuk diajak berbicara. Tempat yang indah justru bukan tempat yang dia rencanakan, tapi dia temukan di tengah perjalanan.

Hal senada tapi agak berbeda bisa kita temukan ketika Windy berada di kepulauan Anamblas. Ada dua postingan yang bisa dibicarakan di sana. Yang pertama adalah “Akhir Tahun Bercerita,” Windy menghadirkan foto jembatan bambu dengan latar belakang senja. Pemandangan yang elok ini merupakan sebuah kebetulan karena dia diajak oleh anak-anak lokal mengunjungi tempat di mana mereka bisa mendapatkan sinyal 4G, yang dibutuhkan Windy untuk berkomunikasi.

Postingan lain berlatar alam justru muncul dengan judul “Zona (Tidak) Nyaman.” Foto yang menyertai postingan ini adalah Windy mengendarai motor Yamaha Byson dengan tas di depan dan belakang dengan latar belakang jalanan tanah yang tampak tidak ramah. Bisa ditebak dari judulnya, postingan ini justru berbicara tentang perjalanan sebagai “zona tidak nyaman” yang memungkinkan seseorang bisa belajar beradaptasi dengan hal-hal baru. Postingan kedua ini sama sekali tidak berbicara tentang alam tropis yang eksotis dan estetik yang dihadirkan terpisah dari manusia-manusia yang meninggalinya. Alam dan manusia adalah dua hal yang tak terpisahkan.

Nah, temuan terakhir tentang tulisan perjalanan Windy yang menampik tulisan perjalanan Instagram seperti yang dikritik Smith adalah perjalanan yang bukan pelarian dari rutinitas. Bagi Windy, perjalanan-perjalanan yang dikisahkannya dalam postingan-postingan Instagram ini bukanlah perjalanan yang dilakukan sebagai “vacation” (yang memiliki akar yang sama dengan kata “vacant” atau lowong). Banyak dari perjalanan yang dilakukan Windy adalah perjalanan untuk memberikan pelatihan menulis, perjalanan ke tempat orang tua, atau perjalanan yang terjadi ketika sedang menyelesaikan sebuah urusan (seperti mampir ke pasar buku ketika ada urusan ke Yogyakarta).

Alih-alih menggunakan perjalanan sebagai usaha untuk mengosongkan pikiran, yang terjadi justru perjalanan ini memberikan inspirasi dan pelajaran-pelajaran yang selanjutnya bisa direnungkan dan dituliskan. Untuk itu, ada satu postingan yang meskipun terkesan berlebihan sebenarnya mewakili kecenderungan umum tulisan perjalanan Windy sekaligus pandangan si penulis tentang perjalanan, yaitu postingan berjudul “Kelas itu Bernama Perjalanan.” Tulisan perjalanan Instagram semacam ini justru menjadi antitesis dari pelesiran di alam tropis nan eksotis.

Tentu ini hanya tiga hal saja yang bisa ditemukan dari tulisan-tulisan perjalanan yang ada di akun Instagram Windy Ariestanty. Masih banyak temuan-temuan menarik dari akun tersebut yang hendaknya perlu dihargai dalam tulisan yang lebih panjang tersendiri.

Dan, setelah melihat sekilas akun-akun Instagram dari beberapa veteran penulis perjalanan Indonesia lainnya, seperti misalnya Trinity dan Agustinus Wibowo, kita bisa cukup bangga karena kemungkinan tulisan perjalanan Instagram tidak hanya sebagai ruang mengobjektifikasi dunia ketiga dan mengeksotifikasi alam tropis. Tidak. Ada kekuatan lain di sana, dan itulah yang perlu dibuat lebih tampak. Kiranya, mereka ini merupakan wujud hasil survival kekuatan-kekuatan yang selama ini telah ada di tulisan perjalanan, kekuatan yang kadang muncul dan terkadang tidak dalam keuletan tulisan perjalanan mengikuti gerak zaman.

Ketika semangat menulis perjalanan di Instagram yang seperti itu menjadi lebih lazim, maka kita bisa benar-benar berkata bahwa perjalanan benar-benar bisa menjadi kelas. Dan yang seperti itu akan sangat penting, terutama nanti, ketika pandemi ini semakin reda dan orang-orang yang telah dibekap lebih dari setahun ini akhirnya bisa meninggalkan sarangnya layaknya sebuah balas dendam.