
Oleh : Djoko Saryono*
Terakota.id—Ketika waktu benar-benar menjadi fana di hadapan kehidupan Pak Sapardi Djoko Damono (SDD) dan membiarkannya pulang ke rumah sejatinya, kabar merambat cepat melalui berbagai media massa dan media sosial. Kemudian aku mencoba mengumpulkan serpihan-serpihan ingatan dan kenangan yang terserak di sepanjang perjalanan waktu. Tentu, sebuah tanya menyeruak: Apakah aku pernah bertemu, bercakap, dan bersama dengan SDD?
Yang segera berebutan muncul justru ingatan dan kenangan bersama dan bercakap dengan orang tua dan dosen idolaku, di antaranya Pak Nunus Supardi, Pak Suyanto, Pak Taryono, Prof. Dr. Soedjijono, dan ayahku sendiri (Pak Soedjito). Mereka semua dosen IKIP Malang Cabang Madiun tahun 1960-an dan kemudian pindah ke IKIP Malang di Malang karena IKIP Malang Cabang Madiun dibubarkan.
Mereka semua adalah kawan atau kolega SDD saat menjadi dosen di Madiun dan Malang. Perlu, diketahui selepas lulus UGM, SDD menjadi dosen (bersama nama-nama di atas selain Pak Soedjarwo dan Pak Sudjati) di IKIP Malang Cabang Madiun (yang terletak di depan Stadion Wilis dan di sebelah timur Kolam Renang Purbaya, sekarang gedungnya ditempati oleh SMAN 5 Kota Madiun).
Dari merekakah aku samar-samar mendengar nama SDD — kemudian sosok SDD. Seingatku, yang paling banyak bercerita tentang SDD itu ayahku dan Prof. Soedjijono. Lebih-lebih ketika aku sudah SMP-SMA dan sering mengantar ayahku (naik sepeda onthel) bertemu kolega dosen dari Madiun tersebut, aku mengetahui berbagai serpihan kisah tentang SDD. Pasalnya, di tengah-tengah reriungan dan percakapan, mereka acap menyinggung nama dan saling berkisah tentang SDD. Bukan hanya SDD tentu, tetapi juga Pak Soedjarwo, Pak Sudjati, Pak Umar Junus, dan Pak Abbas Luthfi.

Perlu diketahui, semua nama tersebut dahulu sama-sama dosen IKIP Malang yang relatif satu generasi, tak jauh perbedaan umur. Pak Soedjarwo dan Pak Sudjati kemudian pindah ke Undip, dan lantas disusul oleh SDD (sebelum pindah ke UI). Pak Umar Junus (yang kemudian masyhur sebagai kritikus sastra) dan Pak Abbas Luthfi (yang masyhur sebagai linguis) kemudian hari pindah ke Malaysia (sampai akhir hayat).
Baik ketika di Madiun maupun di Malang, SDD bukan hanya mengajar, tetapi juga bersastra baik menulis puisi maupun kegiatan sastra. Pada tahun 1964-1968 SDD rutin mengadakan dan menjadi narasumber siaran sastra di RRI Madiun, bersama Sudono Adinotowidjaja. Demikian juga saat mukim dan bertugas di Malang SDD produktif menulis puisi. Cukup banyak puisinya dalam himpunan Duka-Mu Abadi digubah di Madiun dan Malang. Itu menandakan SDD tak pernah terlepas dari ingatan dan kenangan tentang Madiun dan Malang.
Madiun dan Malang tetap melekat dalam ingatannya. Itu sebabnya, mungkin, SDD tak pernah putus hubungan, senantiasa berkomunikasi, dengan kawan-kawannya di Departemen Bahasa Indonesia IKIP Malang. Oh ya, perlu diketahui juga, kendati SDD lulusan sarjana Sastra Inggris UGM, tetapi menjadi dosen Departemen Bahasa Indonesia di IKIP Malang Cabang Madiun.
Hubungan dan komunikasi yang tetap terjalin baik itulah yang membuat SDD sesekali ke Malang sesudah kepindahannya ke Undip dan kemudian ke UI. Lebih-lebih saat beberapa kolega dosennya dari Madiun menjadi pejabat jurusan dan atau fakultas, SDD acap kali diundang ke IKIP Malang untuk acara akademik. Tatkala diundang ke Malang, seingatku, SDD paling suka menginap di Hotel Splendid In, sebuah hotel tua dan bergaya Belanda.
Mungkin hotel itu penuh kenangan atau memudahkannya memandangi kenangan lama. Pasalnya, kampus pertama dan utama IKIP Malang saat berdiri berada tepat di depan Splendid In, yang dikenal dengan nama Wisma Tumapel, sebuah cagar budaya karena bangunan tua berarsitektur Belanda. Demikian juga kompleks sekolah Tugu (SMAN 5, SMAN 1 dan SMAN 3 Malang) yang melingkari Alun-Alun Bunder) dulunya juga kampus IKIP Malang.
Saat-saat berada di Malang (di Hotel Splendid In) kawan-kawannya dari IKIP Malang Cabang Madiun datang menyambangi. Tentu saja, ayahku juga dan aku mengantarkannya, sehingga aku bisa bertatap muka dengan SDD. Saat aku mahasiswa, malah sesekali diajak Pak Soedjijono dan Pak Suyanto menemui SDD di Splendid In — dan aku cuma menyimak perbincangan. Demikianlah, aku bukan hanya menjadi tahu, melainkan juga penasaran dengan orang bernama SDD.
Itu sebabnya, diam-diam aku mencari dan membaca karyanya. Sejak SMA aku sudah membaca puisi-puisi SDD — meski tak paham benar atau beda pemahaman dibanding sekarang — karena beruntung sekolahku (SMA PPSP IKIP Malang yang menggunakan sistem SKS dan sistem modul) menyediakan buku-buku karya sastra dunia dan nasional yang melimpah ruah. Meski tak paham, kubaca saja puisi-puisi SDD. Apalagi ketika sudah menjadi mahasiswa, rasanya tak kulewatkan puisi SDD dan karya ilmiah yang esaistis-prolifik.
Tatkala telah lulus kuliah pada akhir 1980-an dan menjadi calon dosen muda (sekaligus juga masih harus langsung kuliah magister) aku diajak oleh dosen-dosen muda terlibat dalam pendirian HISKI Komda Malang, yang saat itu HISKI juga baru berdiri, kalau tak salah baru 3 tahun umur HISKI. HISKI Komda Malang dikomandani dosen muda yang kukagumi, bernama Dr. Aminuddin, M.Pd, karena kemampuan intelektual-akademis dan kapasitasnya membangun jaringan, termasuk membangun jaringan dengan nama-nama besar di dunia sastra-budaya (menurutku) seperti Umar Junus, Subagio Sastrowardoyo, Toety Heraty Noerhadi, Sapardi Djoko Damono, dan Umar Kayam. Di HISKI Komda Malang aku diminta Pak Aminuddin menjadi pemimpin redaksi majalah HISKI bernama Puitika. Dengan dampingan dan dukungan Pak Aminuddin (meski grogi juga) aku berburu naskah, termasuk kepada begawan-begawan sastra di atas.
Ketika HISKI Komda Malang (kalau tak salah ingat) baru berumur 1 tahun, Pak Aminuddin memberanikan diri dan menyanggupi HISKI Pusat untuk menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) II dan Pertemuan Nasional (PILNAS) III HISKI se-Indonesia. Dalam Munas itu SDD sebagai Ketua HISKI perlu melaporkan dan mempertanggungjawabkan hasil atau pelaksanaan program kepengurusannya (HISKI baru 3 tahun). Di samping itu, dalam PILNAS diundang tokoh-tokoh sastra kaliber nasional dan internasional.
Singkat cerita, dengan persiapan yang sebegitu rupa, Munas dan PILNAS HISKI digelar di Hotel Purnama Batu pada akhir November 1990. Nama-nama besar di dunia sastra hadir dengan ‘kerasan’ (tak buru-buru pulang seperti zaman sekarang), di antaranya (yang kuingat) Umar Junus, Subagio Sastrowardoyo, Toety Heraty Noerhadi, dam Riris K Sarumpaet. Bahkan Mendikbud Fuad Hassan (yang seniman, sastrawan, budayawan, dan pemusik selain analisis politik luar negeri yang piawai) datang membuka acara. Masih kuingat, Pak Fuad berpesan kepada SDD agar HISKI ikut berperan memberantas buta sastra.
Malam sebelum pembukaan, SDD sudah hadir bersama pengurus pusat dan panitia pusat HISKI di Hotel Purnama. Sebagai panitia seksi makalah (kalau tak salah) aku dengan grogi bertanya kepada SDD apakah sambutan Ketua HISKI Pusat sudah dibuat, karena sampai H-1 sambutan Ketua HISKI Pusat belum ada, dan kuminta buat digandakan. Dengan berusaha sesopan-sopannya (karena SDD orang yang lembut dan tenang setenang puisi-puisi dan novelnya), aku minta sambutan tertulis SDD.
“Wah…durung tak gawe (belum saya buat). Enaknya buat apa ya?”, ucap SDD. Mak…deg… hati saya. Panik juga. Piye iki, bagaimana ini, kataku dalam hati. “Sebentar ya. Tunggu saja, temani saya, saya tuliskan sambutan. Lantas SDD mengajakku ke kamar dan di situ dia mengambil buku kosong berlogo Munas dan meraih bollpoint, lantas menulislah SDD. Menulis dengan lancar dan mengalir begitu tenang (tanpa coretan) sehingga dalam waktu singkat tulisan 3 halaman folio putih selesai.
Seperti terlihat di bawah, tulisan tangan SDD begitu rapi dan halus, nyaris tak ada tulisan, dan teratur. Ini menandakan pikiran jernih-bening mengalir begitu rupa di samping kelenturan jari-jemari yang luar biasa serta kemampuan menjaga keseimbangan saraf yang baik (sehingga tulisan tak naik turun, melainkan sejajar terus). Sesudah kufotokopi sejumlah keperluan, sambutan tertulis tangan yang asli kusimpan. Sampai sekarang.
Duhhh…kok udah capek ya jari-jemari…dilanjut nanti…sekian dulu.
Memperingati 7 Hari SDD
*Guru Besar Sastra Indonesia dan Kepala Perpustakaan Universitas Negeri Malang

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi