
Terakota.id–Pada akhir 1980-an, saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar, saya mulai gemar membaca. Salah satu buku yang saya baca berulang-ulang adalah karya Alinafiah Lubis yang diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Jaya, Jakarta. Saya membaca berulang-ulang buku tersebut bukan karena menyukainya, tetapi terutama karena koleksi buku saya sangat terbatas dan akses ke perpustakaan adalah sebuah kemewahan bagi seorang siswa SD Inpres di pedesaan semacam saya.
Buku karya Alinafiah Lubis yang sampai sekarang masih saya ingat ceritanya berjudul Si Parpodom (1978), bocah Tapanuli yang mungkin sepantaran dengan saya saat itu. Karena latar belakang kultural kami berbeda jauh—dia Tapanuli sementara saya mentaraman alias Jogja—sebenarnya dengan agak terbata-bata sajalah saya waktu itu dapat mencerna betul ceritanya. Tetapi, keterbata-bataan tersebut tidak mengurangi kenikmatan yang saya petik dari membacanya. Ada sebuah lanskap baru yang saya tamasyai dengan membaca buku tersebut.
Termasuk dalam tamasya itu adalah cerita tentang bagaimana Parpodom menyambut lebaran di kampungnya. Dikisahkan bagaimana Parpodom dan teman-temannya pergi ke surau untuk mengaji setiap sore hari, yang lantas diteruskan dengan berbuka bersama, dan, tentu saja, lengkap dengan tingkah usil mereka, termasuk membunyikan petasan bambu.
Dalam suatu kesempatan, terjadi sebuah kejadian ‘epik’ di mana api yang berasal dari petasan bambu alih-alih membakar mesiu, justru menyambar wajah Parpodom dan membuatnya mesti kehilangan jambul rambut dan alis matanya. Begitulah, lebaran pun berlangsung dengan Parpodom tidak mempunyai alis. Dan, dia menjadi bahan olok-olok anak sekampung.
Berpuluh tahun setelah kejadian ‘epik’ tersebut, sekiranya Parpodom adalah seorang manusia yang berdarah-daging alih-alih tokoh dalam cerita rekaan Alinafiah Lubis, saya yakin bahwa dia pasti tidak akan melupakan dan tetap terkenang akan peristiwa sepanjang Ramadan tersebut. Dalam hatinya, barangkali sesuatu yang hangat mengalir ketika dia mengingat-ingatnya.
Dia mungkin akan bisa menghidupkan kembali dalam kenangannya reriungannya dengan teman-temannya setiap sore menjelang buka puasa, dentuman petasan yang membuatnya kehilangan alis, aroma dan rasa kudapan yang emaknya siapkan menjelang lebaran, dan kakunya baju baru berkanji yang dibelikan bapaknya dari pasar. Seandainya telah meninggalkan Tapanuli dan hidup di belahan dunia yang lain, Parpadom mungkin akan sangat merindukan kampung halamannya itu dan bahkan berusaha pulang pada lebaran.
Ingatan akan Lebaran
Manusia bisa jadi bukan makhluk hidup dengan ingatan yang paling kuat. Menurut penelitian para ahli, diketahui bahwa di atas manusia terdapat hewan-hewan seperti gajah, simpanse, kuda, kucing, kambing, kura-kura, lumba-lumba, dan bahkan burung gagak dengan ingatan yang lebih kuat. Namun, bisa jadi karena manusia tidak dapat bercakap-cakap dengan hewan-hewan tersebut untuk mengorek kenangan mereka, ingatan mereka tidak begitu menarik bagi kita. Bisa jadi juga manusia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri, dengan egosentrisme yang membumbung sampai angkasa, untuk ‘mendengarkan’ ingatan makhluk-makhluk lain tersebut.
Bagi masyarakat Indonesia yang sebagian besar adalah muslim, terutama bagi mereka yang tinggal di pulau Jawa, lebaran bukanlah peristiwa sosial, budaya, dan ekonomi, apalagi tanda berakhirnya ritual puasa Ramadan belaka. Yang awalnya adalah acara keagamaan dan kultural tersebut telah merasuk ke dalam ingatan kolektif orang Indonesia sebagai ajang di mana orang-orang dekat, entah anggota keluarga atau sahabat, bertemu, saling melihat, saling membaui, saling menilai, saling berbagi makanan yang sama, dan seterusnya.
Lebaran bukan sekadar peristiwa biasa, seperti peristiwa yang kebetulan terjadi pada kita saat berada di atas bus AKAP. Apa yang kita alami di dalam bus AKAP biasanya akan terlupakan dan tidak kita ingat atau masukkan ke dalam memori jangka panjang ketika kita turun dari bus. Kecuali, di atas bus terjadi peristiwa yang sangat mengesankan, dramatis, traumatis, atau ketiga-tiganya.
Dalam peristiwa lebaran dan Ramadan, khususnya yang dialami ketika seseorang masih kecil, semua indera fisik dan segenap kepribadian ikut terlibat dan disentuh dengan sadar. Pengalaman tersebut dirasakan dengan intensitas yang jauh lebih kuat daripada pengalaman-pengalaman lain sehari-hari. Lebaran toh hanya terjadi sekali setahun.
Bagi generasi X atau sebelumnya, yang sekarang menyusun kelompok yang menjadi orang tua dan secara ekonomi mapan, itu berarti lebaran dan Ramadan merupakan hampir satu-satunya kesempatan untuk mendapatkan dari ayah-ibu mereka baju baru yang kerahnya masih kaku dan masih bau toko, satu-satunya masa dalam setahun untuk makan enak dengan opor dan ketupat dan berbagai-bagai camilan khasnya, satu-satunya waktu untuk bebas meledakkan mercon tanpa diserapahi tetangga, satu-satunya kesempatan bisa pulang sekolah lebih awal dan lantas tidur siang.
Lebaran menyediakan bahan ingatan yang tidak hanya menyentuh intelek tetapi juga fisik. Mereka tidak hanya tahu bahwa lebaran adalah tanda kemenangan setelah sebulan berpuasa sebagaimana dikotbahkan para ustaz dan kiai, tetapi juga bahwa lebaran itu khas karena bau baju baru, bau makanan enak, manis, dan mewah.
Lebaran juga menyediakan kesempatan langka di mana mereka dapat membangun dan merasakan keintiman dengan anggota keluarga yang lain. Mereka bersilaturahmi dan beranjang sana ke rumah kakek-nenek, ke rumah para paman dan bibi, juga ke rumah tetangga dan teman. Di sana, mereka diterima dengan hati yang lapang dan camilan yang enak dan menyegarkan. Pulangnya, mereka disangoni galak-gampil atau salam tempel. Semua pengalaman ini diingat dan disimpan dengan sangat baik untuk dibangkitkan kembali pada setiap momen lebaran.
‘Mudik’ adalah Pulang ke Sumber Ingatan
Edward Said (1935-2003), penulis Amerika berdarah Palestina yang buku karyanya yang berjudul Orientalism menjadi salah satu buku babon dalam kajian paskakolonialisme, pernah mengatakan bahwa hidup sebagai eksil atau terbuang membuat seseorang memiliki dan memelihara ingatan yang khas terhadap tanah air atau kampung halamannya. Ada romantisme yang kuat terhadap asal-usul atau rumah masa kecil.
Potongan-potongan ingatan, memorabilia, dan bahkan aroma masakan dari kampung halaman dikonstruksi sedemikian rupa sehingga menghasilkan narasi yang serba indah, wangi, dan nyaman tentang rumah. Jika ada lubang-lubang kosong yang tidak ada dalam ingatan atau tidak dapat diingat lagi, kekosongan tersebut diisi dengan rekaan yang convenient. Ini dinamakan fabulasi. Jadilah ingatan akan rumah sesuatu yang lebih indah daripada kenyataannya.
Orang yang meninggalkan kampung halaman untuk alasan apa pun, yang secara umum disebut perantau, pada umumnya mengalami romantisme yang serupa dengan yang dirasakan kaum eksil. Kampung halaman yang ditinggalkan dibayangkan sebagai tempat yang serba indah dan menyenangkan, di mana tangan-tangan dunia yang ruwet tidak sanggup menjangkaunya.
Jangkar-jangkar dengan masa lalu, entah masa lalu yang faktual atau benar-benar terjadi ataupun hanya dalam bayangan, ada di kampung dan perlu disambangi untuk dicerap ‘kekuatannya’. Maka, agar tidak benar-benar jatuh menjadi eksil, agar tidak sampai menjadi asing dan tercerabut dari akar, orang selalu mendambakan untuk mudik, pulang ke sumber ingatan, setahun sekali pada waktu lebaran di mana semua yang serba indah, serba enak, dan serba semarak ditemukan kembali atau diharapkan bisa dialami lagi.
Sayangnya, dua tahun terakhir, dikarenakan mengganasnya pandemi COVID-19, urusan menyambangi sumber ingatan ini harus ditangguhkan. Kekhawatiran menjadi pembawa virus atau terpapar virus membuat orang, khususnya mereka yang sadar krisis dan cukup peduli pada hidup orang-orang yang dikasihinya di kampung halaman, memutuskan untuk tidak mudik. Dan, keputusan untuk tidak mudik ini tidak berarti bahwa hubungan dengan sumber ingatan lantas terputus begitu saja.
Di dunia modern dewasa ini, kita dimanjakan dan difasilitasi oleh berbagai layanan dan produk yang memungkinkan kita untuk tetap terhubung dengan akar kita, dengan kampung halaman lengkap dengan sanak-saudara kita, berkat kemajuan teknologi dan segala hal lain yang dibawanya serta. Kalau kita ingin “bersitatap” dengan orang tua dan kerabat, kita tinggal menyalakan telepon pintar dan memencet tombol panggilan video. Kalau kita ingin mencicipi nikmatnya nasi goreng kambing buatan ibu, atau minimal mendekatinya, atau rendang emak kita, kita tinggal memencet layanan go-food atau grabfood.
Namun sejatinya ada satu hal yang mestinya juga menyertai keputusan untuk tidak mudik ke sumber ingatan. Edward Said, yang namanya sudah saya singgung di atas, juga menyatakan bahwa salah satu ciri utama kaum eksil adalah kreativitasnya yang tinggi (mungkin ini adalah semacam sublimasi atas ketidakmampuannya untuk kembali pulang). Said mengamati bahwa banyak dari kaum eksil di Amerika yang dikenalnya menjadi pemikir, novelis atau sastrawan, dan pemain catur.
Maka, siapa tahu, kalau kita tidak bisa mudik ke kampung halaman yang menjadi sumber ingatan dan akar kita, kita dapat menyublimasi keadaan tak menyenangkan ini dengan sesuatu yang positif, yaitu menjadi orang yang sangat kreatif. Barangkali tidak harus menjadi filsuf atau pujangga; cukup menjadi koki yang bisa memasak makanan seenak masakan emak sebagaimana kita ingat dalam ingatan lidah kita. Atau menjadi petani kecil-kecilan yang bisa menghasilkan sedikit sayur-mayur bagi dapur sendiri seperti kakek-nenek kita yang adalah petani. Tidak mudik tidak apa-apa; kita tetap bisa kreatif.

Dosen prodi Sastra Inggris Universitas Ma Chung, penerjemah buku, dan pembaca yang giat.