Terakota.id – Provinsi Riau sampai sekarang masih didiami oleh beberapa suku adat yang hidup secara tradisional. Sejumlah masyarakat asli Riau itu antara lain Suku Talak Mamak, Petalangan, Bungai, Akin, Sakai dan Orang Laut.
Suku Orang Laut hidup di kawasan Indragiri Hilir. Mereka mengandalkan bintang untuk membaca arah dan penanda dalam melaut. Populasinya saat ini diperkirakan sekitar 16 ribu jiwa. Namun bencana kabut asap akibat pembalakan liar hutan Sumatera membuat mereka tak bisa melaut, lantaran bintang pedoman mereka membaca arah kerap tertutup asap pekat.
Sementara Suku Sakai, mendiami kawasan sekitar Sungai Mandau di Kabupaten Siak dan Bengkalis. Populasinya mencapai 20 ribu jiwa, hidup bergantung dengan hutan. Mereka membuka lahan pertanian secara berpindah untuk menanam aneka pangan. Menanam umbi beracun untuk diolah sebagai makanan utama.
Nasib Suku Sakai tak jauh berbeda dengan Suku Orang Laut, terus terpinggirkan. Sejak industri pertambangan masuk, lahan dikavling untuk lahan konsesi. Suku Sakai kini kesulitan bercocok tanam secara tradisional. Mereka terpaksa harus mengikuti pola pertanian modern.
Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, Al Azhar mengatakan, suku adat atau orang asli Riau terus terdesak akibat industri pertambangan dan industri kehutanan. Masyarakat asli Riau ini selalu jadi korban industrialisasi sejak pembukaan ladang minyak kali pertama di tanah Riau. Terus tergusur seiring pembukaan kawasan hutan tanaman industri dan perkebunan sawit.
“Suku Sakai terus terdesak. Mereka berada di kawasan pinggiran. Mereka seolah terbuang di tanah negeri sendiri. Terngah-engah di zaman sekarang,” kata Al Azhar.
Masyarakat adat asli Riau itu semakin terdesak, tak punya ruang gerak. Perubahan ekologis dari masa ke masa, disesalkan masyarakat suku asli Riau. Padahal masyarakat melayu, kata Al Azhar, hidup selaras dengan alam.
Direktur Eksekutif walhi Riau Rico Kurniawan menjelaskan jika kawasan konsesi di Riau, mencapai 8,9 juta hektare. Terdiri dari 3,4 juta lahan konsesi sawit, 2,1 juta konsesi industri, dan 1 juta untuk tambang. Sementara hutan lindung hanya tersisa 1 juta hektare. “Hanya 20 persen yang didiami penduduk,” ujarnya.
Selebihnya berupa lahan konsesi untuk industri. Menurutnya, masyarakat adat harus dilindungi karena mereka memiliki kearifan lokal. Selama ini mereka senantiasa hidup harmoni dengan alam. Kehadiran industri justru meminggirkan dan mematikan hidup mereka.
Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kemal Anas mengaku tetap akan memberikan perlidungan masyarakat adat dan penduduk asli. Serta memberikan sejumlah program dengan melibatkan para pihak terkait. “Masyarakat adat perusahaan harus terlibat bagian kerjasama,” katanya.
Jalan, baca dan makan