Indonesia Negeriku, Orangnya Lucu-Lucu

indonesia-negeriku-orangnya-lucu-lucu
Penyidik senior KPK Novel Baswedan memberikan keterangan setelah diperiksa sebagai saksi di gedung KPK, Jakarta, Kamis 20 Juli 2019. (Foto : Antara)
Iklan terakota

Terakota.id-Orang Indonesia itu memang terkenal lucu-lucu. Sementara kodrat manusia itu mencari hiburan. Jadi cocok sudah. Manusia itu senang hiburan, sementara manusia itu sendiri bisa menjadi penghibur.

Namanya juga hiburan. Yang merasa tersindir tentu merasa tidak terhibur. Misalnya saat menjadi bahan guyonan. Para pelawak Indonesia ada yang menjadikan pemerintah sebagai bahan guyonan. Pemerintah tentu tidak terhibur. Bahkan akan dianggap melecehkan.

Dono, Kasino, Indro (DKI), Bagito Cs, Srimulat itu semua kelompok penghibur. Jika ada pejabat dijadikan bahan guyonan, pejabat itu akan terseyum kecut, sementara masyarakat umum akan sorak sorai. Kadang bangsa ini senang melihat penderitaan orang lain. Kalau perlu dirayakan. Cukup mudah mencari hiburan, bukan?

Dalam soal politik juga ada para penghibur. Bisa jadi  bukan politisi tetapi menjadikan bahan politik sebagai guyonan. Atau seseorang yang berperilaku layaknya politikus untuk memberikan hiburan. Namanya juga hiburan. Soal benar tidaknya apa yang dikatakan tidak jadi soal. Soal apakah yang dibicarakan itu menyinggung orang lain tak pernah dipikir. Yang penting bisa menghibur. Bukankah tujuan para penghibur itu memang mengibur? Bahkan mereka sah menggunakan kebohongan untuk menghibur?

Kalau penghibur itu harus diatur-atur tentu tidak lucu.  Misalnya, aturan bahwa isi pembicaraan harus nyata dan ada buktinya. Ya tentu ini tidak akan pernah lucu. Para penghibur itu menjadi lucu karena yang dikatakan bukan fakta nyata. Tetapi cukup menghibur bukan? Maka jangan terjebak membedakan para pelawak dengan bukan pelawak. Adakalanya informasi yang dikemukakan dibungkus layaknya pelawak. Jadi menghibur, bukan?

Dewi Tanjung

Setelah Pilpres 2019 selesai, aktor-aktor komedi tentu sudah mulai tiarap. Tapi mendadak dunia disibukkan dengan tingkah laku Dewi Ambarwati alias Dewi Tanjung. Dia ini terkesan lucu.  Hobinya melaporkan ke polisi. Boleh dilihat track record laporan-laporannya. Bahkan terhadap kasus  seriuspun dia bisa jadikan bahan guyonan. Jadilah jagad politik kita punya hiburan lagi. Minimal saya yang terhibur.

Ramai diberitakan jika Dewi Tanjung ini melaporkan Novel Baswedan ke Politsi. Bukankah ini kasus serius yang dia jadikan bahan guyonan? Anda boleh ketawa dulu soal ini.

Kejadiannya begini. Ia melaporkan Novel karena penyidik KPK itu dianggap merekayasa dan menyebarkan berita bohong.  Novel dituduh merekayasa penyiraman air keras. Kasus penyiraman air kerasdari orang yang tidak dikenal pada Novel sendiri (11 April 2017) sampai saat ini belum selesai. Sampai pelantikan kembali presiden. Bahkan juga sampai penggantian Kapolri. Seolah kasus ini akan “diuapkan”. Lain halnya jika kasus Novel ini menguntungkan mereka yang berada di lingkar kekuasaan.  Masalah bisa cepat selesai.

“Saya melaporkan Novel Baswedan penyidik KPK terkait dugaan rekayasa kasus penyiraman air keras. Ada beberapa hal yang janggal dari semua hal yang dialami, dari rekaman CCTV, bentuk luka, perban dan kepala yang diperban. Tapi, tiba-tiba malah mata yang buta, “kata Dewi di Polda Metro Jaya 6 November 2019.

Sontak pernyataan ini mendapat tanggapan beragam. Ada yang diam karena tidak suka kasus Novel selesai. Ada yang menuduh Dewi tidak punya perasaan. Kalau memang Dewi menganggap kasus penyiraman air keras itu rekayasa memangnya dia mau disiram air keras dulu? Biar dia merasakan betapa sakitnya disiram air keras?

indonesia-negeriku-orangnya-lucu-lucu
Mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil memperingati dua tahun Novel Baswedan disiram air keras di depan gedung KPK di Jakarta 17 Juli 2019. (Foto : Lontar.id).

Mungkinkah dia mengharapkan ada orang lain menyiram air keras biar bisa ikut merasakan? Betapa sakitnya disiram air keras sampai buta. Sakit kepala saja merepotkan bukan main. Ini sakit mata yang mengakibatkan buta. Kalau memang demikian keinginannya, tentu banyak orang yang mendukung dan mendoakan.

Mendukung dan mendoakan ini bukan lantas sebuah kebencian, tetapi agar Dewi lebih menjadi individu yang lebih mantap sisi manusiawinya. Lebih terbangun rasa empati. Karena rasa empati itu menjadi titik kulminasi tinggi bagi peradaban manusia. Rasa empati yang memang menjadi harapan semua individu untuk menjadi manusia sempurna. Tentu ini tidak mudah dilakukan. Barangkali Tuhan bisa memberikan jalan pintas untuk kesadaran dan hikmah jika Dewi kena siaraman air keras. Mau atau tidak disiram, hanya Dewi yang tahu.

Numpang Populer

Kita tidak usah berharap terlalu serius dan dalam atas kasus itu. Apakah Dewi mengharapkan dia disiram air keras atau tidak. Ini kan hanya berandai-andai.  Karena orang biasanya akan sadar diri atas suatu musibah jika dia mengalaminya sendiri. Kita juga tidak usah sewot berharap Dewi terkena siraman air keras. Tidak usah. Itu tidak baik.

Saat ini memang dunia politik serba ruwet. Siap yang memulai, siapa yang memperkeruh, siapa yang membuat ruwet serba tidak jelas. Masyarakat juga tidak jelas. Mereka hanya mendapatkan informasi dari sumber “kesekian”. Lalu dipercaya. Anehnya, kecenderungan masyarakat yang seperti ini dimanfaatkan oknum-oknum tertentu untuk memperkeruh suasana. Bukan untuk menjernihkan suasana, tetapi asal tujuananya tercapai.

Dewi Ambarwati atau Dewi Tanjung melaporkan Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais di Polda Metro Jaya pada Selasa, 14 Mei 2019, atas tuduhan makar lewat seruan people power. (Foto : Tempo.co).

Kembali ke soal Dewi. Kita harus maklum, Dewi tahun 2019 “njago” untuk lolos ke Senayan tetapi gagal. Tentu ini tamparan telak. Suara yang didapatkan hanya 7000-an, jauh dari harapan. Tentu Dewi berhitung. Sebagai politisi ia tentu jeli. Ia tentu cerdas bermain.

Laporan ke polisi atas rekayasa penyiraman air keras Novel Baswedan diharapkan bisa “mempopulerkan” lagi. Buktinya? Ia semakin dibahas, dikaji dan didiskusikan banyak orang. Jangan dikira jika seseorang benci pada Dewi membuat dirinya “jatuh”. Tidak. Ia malah tambah populer. Orang yang awalnya tidak mengenal dia, jadi kenal, bukan?

Awas Jantungan

Negara kita itu kan menganut ungkapan, “Makin dilarang, semakin tersebar”, “Makin dikekang, semakin beredar”, “Makin diprotes, semakin populer”. Soal ini kita harus paham. Semakin memprotes Dewi, ia akan semakin populer, bukan? Tapi bagaimana jika ia menggemaskan? Itulah politik. Ada kalanya dalam politik itu harus mendahulukan mengekang diri. Tetapi ini tidak mudah dilakukan. Karena orang-orang politik itu pemain. Katakanlah, Dewi sedang bermain. Bisa bermain agar ia populer. Atau ia bermain untuk menarik perhatian “pihak tertentu”. Ia juga rela jadi “martil” untuk meraih simpati pihak tertentu itu pula.

Tapi tindakan Dewi ini memang berbahaya. Berbahaya bagi orang lain yang menginginkan hukum ditegakkan dengan baik. Ia akan menjadi batu sandungan. Ia juga membahayakan dirinya sendiri. Ada kemungkinan karir politiknya akan tamat. Bisa jadi, saat ini masih populer jika mendukung kekuasaan. Dimanapun kekusaan itu bisa jadi tempat berlindungan dan mencari nafkah. Tetapi harus ingat, kekuasaan itu cepat atau lambat akan berganti. Tak heran jika para politisi itu seperti bunglon. Gampang berubah setiap saat tergantung ke arah mana angin bertiup.

Kenapa Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sekarang vokal? Karena tidak ada cara lain asupaya partai itu dikenal. Caranya? Dengan merebut “opini publik” caranya? Agak kritis-kritis sedikit. Perkara tidak ada kebenarannya, itu soal lain. Itu diurus nanti saja. Yang penting “berteriak” dulu.

Bagaimana dengan komentar-komentar pedas pada gubernur DKI Jakarta? Ini juga bagian dari permainan itu.  Masyarakat tidak usah ikut-ikutan. Tidak usah terpancing mendukung dan tidak mendukung. Daripada sewot sendiri. Semua akan dimainkan sesuai kepentingan. Sejak Prabowo merapat ke Jokowi, mereka yang memusuhi Prabowo sebelum dan sesudah Pilpres seolah kehilangan musuh. Apa yang dilakukan? Tentu mencari musuh. Siapa? Anies Baswedan adalah sasaran empuk yang dekat dan kongkrit.  Boleh percaya boleh tidak. Boleh baper boleh tidak. Namanya juga politik, bukan?

Jangan heran pula mengapa Prabowo ikut ke Jokowi? Itu soal kepentingan. Itu juga soal kepentingan keduanya yang masyarakat umum tidak banyak tahu. Tentu itu juga menyangkut oligarkhi kekuasaan yang selama ini diprotes mahasiswa. Politik itu penuh tipu daya. Jangan terjebak dengan sesuatu yang tampak. Mengapa Nasdem  mendadak bisa “satu irama” dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS)? Ya itu tadi, ini soal politik. Politik itu kaitannya hanya soal  merebut dan mempertahankan kekuasaan. Ini saja yang perlu kita pahami. Jadi tidak usah Baper, ya? Tidak usah fanatik berlebihan. Nanti bisa jantungan.

Ingat Trio Kwek Kwek

Orang Indonesia itu kan lucu-lucu. Apalagi orang-orang politik. Semua penuh drama. Namanya drama ada kalanya harus lucu. Jika tidak ia akan ditinggalkan penontonnya. Apalagi jika itu lakon komedi. Semua harus lucu. Semua harus menghibur. Percayalah, bahwa politik itu sekadar permainan drama. Ada pemainnya dan ada sutradaranya. Hanya penonton tidak cerdas saja menganggap bahwa drama itu cerita sebenarnya.  Mau-maunya juga digiring ke arah dukungan tertentu lewat media sosial.

Prabowo dan Jokowi itu hanya pemain. Siapa sutradaranya? Tentu ada. Dewi Tanjung itu juga pemain. Siapa sutradaranya? Tak terkecuali. Tetapi saya tidak tahu pasti. Ia hanya sekadar “melaksanakan” skenario yang sudah dibuat. Percayalah, politik di Indonesia itu harus ditanggapi dengan lucu juga. Mengapa? Daripada kita ikut bingung? Anggap saja para politisi itu sedang memainkan lakon komedi. Kita akan bisa tertawa terbahak-bahak. Jangan terjebak sesuatu yang tampak. Itu hanya permainan saja.

Jadi, mengamati politik Indonesia, ingatlah kelompok penyanyi Trio Kwek Kwek. Mereka terkenal dengan lagunya “Katanya”. Penggalan syairnya antara lain, “Indonesia Negeriku. Orangnya Lucu-Lucu”.

 

Â