
Terakota.id-Sinar bulan temaram menyinari pelataran gedung Sasana Krida Budaya, Claket, Kota Malang kala tembang Purwojati mengalun merdu dari bibir Ki Ardhi Purboantono Sabtu malam, 7 Januari 2017. Ratusan orang meriung, khusyuk mendengar sekaligus menghayati bait demi bait.
Tembang dan orasi budaya Ki Ardhi disampaikan saat Haul Kiai Haji Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ke tujuh. Komunitas lintas agama, kelompok seni dan budaya khidmat mengikuti seluruh prosesi acara. “Tembang ini sudah di-sahih-kan Ketua Lesbumi NU sebagai salah satu karya Sunan Kalijaga,” kata Ki Ardhi membuka orasi budaya.
Banyak yang menghidup-hidupi ajaran para kekasih Allah, katanya, serta menyebarkannya. Salah satu buktinya, peringatan haul Gus Dur ini. “Spiritnya selalu menggaung ke segala penjuru,” katanya.
Romo Yudho mewakili Katolik, menyampaikan orasi budaya dalam Bahasa Jawa. Sambil jari tangan mengapit rokok kretek, Romo Yudho memulai bertutur. Dia menceritakan momentum cikal bakal negara bernama Indonesia. Pada 1908 lahir Boedi Oetomo dilanjutkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Sampai Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
“Indonesia berdiri dengan berbagai macam agama, budaya dan bahasa. Satu-satunya untuk mempertahankan NKRI ya dengan kerukunan,” tuturnya.
Pancasila sebagai dasar negara, katanya, jika diperas lagi menjadi eka sila dan isinya adalah gotong royong. Ini, katanya, menjadi ciri khas kemajemukan di Indonesia. “Mari melaksanakan dawuhe (ucapan) Gus Dur demi NKRI,” katanya.
Pakar Sastra dan Bahasa Universitas Negeri Malang Profesor Djoko Saryono membacakan puisi yang ditulis, dihadiahkan untuk Gus Dur. Bonsu Anton mewakili Khonghuchu, dan Mrs. Charlotte Blackburn dari Amerika juga berorasi di depan komunitas gusdurian.
Usai orasi budaya, tokoh perwakilan agama memimpin do’a besama. Mereka memimpin merapal doa memanjat harapan sesuai agama masing–masing. Peserta larut dalam doa, bait demi bait doa diucapkan. Memohon Tuhan menjadikan Indonesia negeri yang damai, rukun,dan sejahtera.
Syi’ir tanpo waton karya Gus Dur beberapa kali menyelingi orasi budaya para tokoh. Pertunjukan tari dan musik tradisi dari berbagai daerah menambah suasana makin kental dengan keberagaman atau kebhinekaan. Tarian singa atau barongsai ikut hadir, menyemarakkan haul Presiden ke empat Indonesia, Gus Dur.
Tari dari Sanggar Cendikia, Tari Sekar Sari, Sinden Vania Ayu, Desa Kota Akustik, Redy and Friends, Jamaah Thoreqiyah, Tari Sufi, Band Tuna Netra, dan musik gamelan tampil silih berganti.
Presidium Gusdurian Jawa Timur Pendeta Kristanto Budiprabowo berpesan haul Gus Dur selalu menjadi momen penting. Yakni untuk meyakinkan, meneguhkan, dan merayakan kebhinnekaan. Sekaligus menaburkan dan menyuarakan dengan lantang semangat perdamaian.
“Berdoa dan mengingat Gus Dur memberi semangat baru agar nilai-nilai yang diajarkan beliau menjadi spirit segenap anak bangsa untuk menjadi Indonesia seutuhnya,”ujarnya.
Koordinator Gusdurian Malang, Ilmi Najib menjelaskan tema ‘Merawat Kebhinnekaan, Menyuarakan Perdamaian’ sengaja diangkat untuk kembali menebar spirit nilai kerukunan, toleransi, dan gotong royong, yang telah diajarkan Gus Dur. Pentas rakyat, komunitas dan doa lintas iman ini turut meramaikan acara ini.
“Harapannya, masyarakat kembali menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan. Serta menjaga keberagaman,” kata Ilmi.
Awan hitam menghalangi sinar rembulan, seolah malu mneyapa. Bulan tampak separuh malam itu, syi’ir tanpo waton kembali mengalun mengawali pementasan Wayang Wolak Walik karya Lik Joem menutup acara. Para tokoh lintas agama dan para peserta haul gayeng menikmati pementasan wayang. Sembari ngobrol santai mereka saling mendoakan. Sebelum pulang saling bersalaman meneguhkan kebhinekaan yang diperjuangkan Gus Dur.
[…] sewindu Kiai Haji Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Pesantren Global Tarbiyatul Arifin, Lowoksuruh, Mangliawan, Pakis, Kabupaten Malang, 28-30 […]